Didepan saya, terjadi perdebatan
sengit antar teman. Awalnya mereka berbicara masalah ringan dan santai namun akhirnya
bertengkar. Saya pening mendengar mereka
berdebat dengan dalilnya masing masing dan auranya sudah menampakan kebencian
satu sama lain. Saya teringat tulisan wall dari sahabat saya di Dumay
mengatakan begini. Pertanyaannya begini, “Sejahat apa sih orang yang kamu benci
itu?”, “Sebiadab apa sih orang yang kamu laknati itu?”,”Sekufur apa sih orang
yang kamu tuduh sesat itu?”. Apa dia sejahat Abu Lahab yang menyiksa Sahabat
Rasulullah? Apa dia sebiadab Abu Jahal yang mengubur anaknya hidup-hidup? atau
dia sekufur Firaun yang mengakui dirinya Tuhan? Sebiadab Abu Lahab, Rasulullah
masih mendoakan kebaikan untuknya saat beliau berdoa agar Islam dimenangkan dengan
salah satu dari dua Umar. Sekufur-kufurnya Firaun, Allah masih menyuruh dua
Nabinya yang mulia, Musa dan Harun untuk berbicara pada Firaun dengan lemah
lembut. Sekarang, pertanyaannya, “Apa kamu sebaik Nabi Muhammad sehingga dengan
mudahnya mencaci orang lain?”, “Apa kamu semulia Nabi Muhammad, sehingga dengan
mudahnya melaknat orang lain?”, “Apakah kamu setaat Nabi Muhammad sehingga
dengan mudahnya menuduh orang lain sesat?”. Kalau orang yang kamu benci, kamu
laknat dan kamu sesatkan tidak selevel dengan Firaun, Abu Lahab atau Abu Jahal,
dan kamu sendiri tidak sebaik, setaat dan semulia Nabi Muhammad, maka jagalah
perbuatan dan perkataanmu, hargailah orang lain, hargailah perbedaan. “Karena tidak semua jari itu sama panjang”,
begitu kata orang Syria, maka wajar kalau dalam hidup ada perbedaan, perbedaan
pasti ada, kalau kita punya 1000 kesamaan, kenapa harus mempermasalahkan 1,
atau 10 ataupun 100 perbedaan?
Memang yang sangat mengkawatirkan
selama ini adalah sulitnya golongan dalam islam itu bersatu. Masing masing
merasa paling benar dan merasa paling pantas berbicara atas nama Islam. Itu
sebabnya bendera Partai Islam ada banyak sesuai dengan golongannya masing
masing. Namun kemarin ada secercah harapan bahwa islam akan bisa bersatu. Ada
wacana yang dilontarkan oleh tokoh Islam untuk mempersatukan Partai Islam. Apalagi melihat NU dan Muhammadiah tampil
bareng dalam acara memperingati kematian Kiyai Sahal,ini suatu tanda baik untuk
masa depan islam di Republik ini. Mungkinkah kelak akan berdiri negara Islam di
Indonesia? Kalau bicara negara Islam maka akan muncul lagi perdebatan. Mengapa
? masing masing golongan punya pendapat berbeda lagi. Apakah Islam tidak punya
manual handbook tentang bagaimana politik itu sendiri harus dijalankan? Menjawab
ini , saya teringat dengan pendapat Buya
Syafii Maarif yang mengatakan bahwa disebabkan dua alasan; pertama , Al-Qur’an
pada prinsipnya adalah petunjuk etik bagi umat manusia, bukanlah sebuah kitab
ilmu politik, kedua, sudah merupakan kenyataan bahwa institusi-institusi sosio
politik dan organisasi manusia selalu berubah dari masa ke masa. Dengan
demikian, diamnya Al-Qur’an dalam masalah ini dimaksudkan agar tidak terjadi
kebekuan hukum-hukum kenegaraan dalam setiap periode sejarah umat manusia. Apa
yang dikatakan oleh Buya Safii Maarif adalah sesuatu yang membuat hati dan akal
saya bisa berdamai. Bagaimanapun Buya adalah tokoh agama berkelas
dunia.Kearifan beliau sebagai pemimpin ulama dan pemimpin Umat tak perlu
diragukan.
Sahabat saya dalam Dumay mengatakan bahwa Isi kandungan Al Quran yang berupa hukum, hampir 80% berkaitan dengan individu, tidak ada hubungannya dengan Negara dan pengadilan.Artinya 80% itu dilakukan oleh individu tanpa harus melalui Negara. sisanya 20% yang berhubungan dengan Negara dan pengadilan serta perundang-undangan. Bagaimana kita menuntut Negara untuk membuat undang-undang dan menegakkan 20% isi Quran sedangkan 80% lagi kita sia-siakan! kita ribut memperjuangkan 1 ayat potong tangan, dan melupakan 80 ayat zakat dan sedekah! Itu sebabnya kalau kita ingin membangun peradaban Islam yang dirahmati Allah maka bukannya negara islam yang harus jadi prioritas tapi bagaimana membangun akhlak Islam itu kepada seluruh umat islam. Ini tugas Dakwah yang menjadi prioritas. Dakwah yang efektif adalah melalui keteladanan para ulama, cerdik pandai,tokoh agama. Bagaimana berdamai dan bijak dengan pluralisme, bagaimana hidup rendah hati berbuat dan bersikap, bagaimana hidup mandiri tanpa mengandalkan hidup dari syiar atau dakwah tapi menghidupi syiar islam dengan keringatnya sendiri. Ya, apabila individu islam baik maka khilafah akan muncul dengan sendirinya sebagai sebuah sunatullah.Tapi selagi umat islam masih kemaruk soal harta, jabatan , pemalas,tidak mandiri maka wacana khilafah akan disikapi dengan sinis , dan bukan tidak mungkin disikapi dengan fitnah , bahwa khilafah hanyalah cara pintar untuk berkuasa dengan memanfaatkan emosi spiritual umat islam.
Sahabat saya dalam Dumay mengatakan bahwa Isi kandungan Al Quran yang berupa hukum, hampir 80% berkaitan dengan individu, tidak ada hubungannya dengan Negara dan pengadilan.Artinya 80% itu dilakukan oleh individu tanpa harus melalui Negara. sisanya 20% yang berhubungan dengan Negara dan pengadilan serta perundang-undangan. Bagaimana kita menuntut Negara untuk membuat undang-undang dan menegakkan 20% isi Quran sedangkan 80% lagi kita sia-siakan! kita ribut memperjuangkan 1 ayat potong tangan, dan melupakan 80 ayat zakat dan sedekah! Itu sebabnya kalau kita ingin membangun peradaban Islam yang dirahmati Allah maka bukannya negara islam yang harus jadi prioritas tapi bagaimana membangun akhlak Islam itu kepada seluruh umat islam. Ini tugas Dakwah yang menjadi prioritas. Dakwah yang efektif adalah melalui keteladanan para ulama, cerdik pandai,tokoh agama. Bagaimana berdamai dan bijak dengan pluralisme, bagaimana hidup rendah hati berbuat dan bersikap, bagaimana hidup mandiri tanpa mengandalkan hidup dari syiar atau dakwah tapi menghidupi syiar islam dengan keringatnya sendiri. Ya, apabila individu islam baik maka khilafah akan muncul dengan sendirinya sebagai sebuah sunatullah.Tapi selagi umat islam masih kemaruk soal harta, jabatan , pemalas,tidak mandiri maka wacana khilafah akan disikapi dengan sinis , dan bukan tidak mungkin disikapi dengan fitnah , bahwa khilafah hanyalah cara pintar untuk berkuasa dengan memanfaatkan emosi spiritual umat islam.
Bagaimanapun Negara Islam atau
Khilafah itu harus ada. Sebagai umat islam kita harus percaya bahwa khilafah
adalah cara yang paling diridhoi Allah. Ingat Firman Allah “Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu.
Kemudian jika diantara kamu berlainan pendapat tentang sesuatu kembalikanlah kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)”. Saya
sependapat dengan itu namun yang utama bagaimana memastikan semua pihak yang
terlibat dalam suatu urusan atau negara itu bersedia kembali kepada AL Quran
dan Hadith bila terjadi perselisihan diantara mereka. Kembali kepada Allah dan Rasul itu bukanlah
kembali kepada dalil AL Quran dan Hadith yang
bisa saja terus diperdebatkan tapi
kembali kepada niat untuk semata mata beribadah kepada Allah. Niat
ikhlas karena Allah. Apabila semuanya dikembalikan kepada Allah maka tidak akan ada
pertengkaran dan perdebatan salah benar. Yang ada adalah musyawarah untuk mencapai mufakat dengan mengedepankan ruh kasih sayang dan melupakan nafsu untuk superior
dihadapan orang lain dan mendapatkan keuntungan materi dari superioritas itu. Ya
, kembali kepada Al Quran dan Rasul artinya kembali kepada niat untuk beribadah
kepada Allah dan intinya adalah ikhlas. Lupakan harta dan kekuasaan. Bisakah ?
inilah yang paling sulit untuk umat akhir zaman.
Wallahualam.
Wallahualam.