Saya tidak tahu mengapa sampai
ada istilah “pemerintah “ pada
bahasa Indonesia untuk menyebut kelompok Pelaksana konstitusi negara. Karena menurut saya “pemerintah “itu
terkesan seperti raja bertitah kepada rakyatnya. Perintah raja adalah UU itu
sendiri. Tidak ada kebenaran selain perintah Raja. Makanya penguasa yang duduk disinggasana
adalah pemerintah alias tukang perintah. Sementara para hulu balang dan cerdik
pandai dibawahnya disebut dengan pemerintahan atau birokrasi. Tapi , dalam
sistem demokrasi tak jauh berbeda dengan sistem khiilafah Islam bahwa dimana
Kekuasaan itu ada karena UU ( dalam islam karena Al Quran dan hadith ). Karena kekuasaan
memberi legitimasi kepada penguasa untuk memerintah namun bukan perintah yang
tak bisa dibantah atau dianulir. Ada lagi sederet UU yang membatasi
penguasa untuk berkata satu. Ada Lembaga MK yang bisa membatalkan produk
UU yang tidak sesuai dengan UUD. Ada Pengadilan TUN yang bisa membatalkan
perintah pemerintah kepada rakyat. Dalam islam
penguasa atau pemerintah diawasi oleh dewan syuro yang bisa menganulir
kebijakan pemerintah bila melanggar Al
Quran dan hadith. Tapi entah mengapa “pemerintah” masih lekat dibenak rakyat
kecil bahwa pemerintah tidak boleh
disalahkan dan tidak boleh dilawan.
Bagi bangsa Eropa dan AS, Government adalah lembaga setan yang
dipaksakan ada oleh karena konsesus bahwa kekuasaan harus dibagi diantara
mereka yang kuat , kaya dan terdidik. Rakyak yang lemah hanyalah endorsement
untuk legitimasi berbagi diantara yang kaya, terdidik dan kuat. Namun ketika ekonomi
runtuh , yang kaya berteriak bangkrut,
yang terdidik berteriak kehilangan pekerjaan, yang kuat berteriak kehilangan
amunisi,mereka mulai paranoid dengan yang namanya “ Government “. Seharusnya
tidak perlu ada lagi Government bila mata uang semakin kehilangan nilai, bila
tentara terus menghabiskan anggaran untuk membunuh, bila elite politik
memperkaya diri lewat korupsi sistematis , bila partai ikut mendukung
terciptanya UU untuk meminggirkan hak rakyat berdaulat secara ekonomi. Para
birokrat telah kehilangan reputasi untuk bicara atas nama humanitarian. Betahun tahun mereka telah lalai melaksanakan
amanah rakyat demi kemakmuran buat
semua. Ternyata semua hanya ilusi yang sengaja ditiupkan disetiap menjelang
Pemilu dan berakhir nothing ketika Pemilu usai. Tapi bagaimanapu pemerintah
tetap harus ada untuk sekedar meyakinkan bahwa kita komunitas modern yang tahu
mengelola komplik untuk hari esok yang lebih baik.
Namun bagaimanapun Pemerintahan
paska kejatuhan lehman brother tidak sama dengan pemerintahan era tumbuhnya
dot.com. Era kini pemerintah membuka
diri untuk melibatkan masyarakat untuk terlibat aktif dalam distribusi
keadilan dan kemakmuran. DI inggeris dan di AS dibentuk UU berdirinya Badan
Usaha yang bertujuan sosial. Penyertaan saham pada perusahaan non profit ini
dapat dianggap sebagai pengurangan pajak.
Dengan demikian mendorong kegiatan beramal menebar pancing untuk
mendapatkan ikan bagi mereka yang tidak beruntung. Ketentuan mengenai CSR
diperluas peruntukannya.Tidak hanya terbatas kepada pihak yang terkait dengan
bidang usaha tapi bisa kepada siapapun yang membutuhkan. Dari ketentuan
tersebut , secara legitimasi negara memberikan kanal kepada publik untuk
mengorganisir dirinya sendiri dan negara hanya bertindak sebagai “pengawas”
bukan lagi “pemerintah”. Eropa dan AS
belajar dari kesalahan masalalu dan mereka sadar bahwa rakyat tidak lagi bodoh
dan resource semakin terbatas untuk terus membohongi rakyat. Berkompromi demi
masa depan agar hari kini chaos tidak terjadi. Itu adalah sikap bijak dan
smart.
Fenomena yang terjadi di Eropa
dan AS, tidak dilihat dengan mata dan pikiran jernih oleh elite polik di
Indonesia. Para elite politik masih meng claim bahwa hanya pemerintah satu
satunya lembaga yang boleh dipercaya dan legitimasi mengelola resouce
publik. Ustad Yusuf Mansyur yang dikenal
reputasinya sebagai motivator zakat , sadaqah,berhasil menggalang dana umat
untuk tujuan sosial namun dalam konsep
sustainable , dilarang oleh pemerintah. Alasannya melanggar hukum. Padahal
program BAZIS Depag kalah pamor dibandingkan program Ustad YM , hanya karena
publik tahu bahwa Depag tukang KORUP. Tapi bagaimanapun YM tetap kalah dan
dikalahkan oleh pemerintah. Apakah ada solusinya untuk YM? Kita tidak lagi
mendengar kelanjutannya. Tapi saya yakin apabila YM mengikuti aturan Pemerintah
maka programnya tidak akan sehebat sebelum pemerintah ikut campur. Basuki atau Ahok , wagub DKI menciptakan
program yang memungkinkan dana CSR melalui
Pemda dapat tersalurkan langsung kepada rakyat namun pengawasan diserahkan
kepada publik , dalam hal ini “Ahok Center”. Hanya karena melibatkan konsituen
sebagai pengawas, Ahok kena hujan fitnah dari elite politik. Itu semua karena
keterlibatan publik ( Ahok Center )
dalam pengawasan langsung dinilai melecehkan kekuasaan. Mengapa ? karena para elite dinegeri ini tidak mau dicurigai rakyat dan tidak mau kekuasaanya dibagi kepada
rakyat, apalagi soal distribusi uang.
Ahok tidak menjadikan Pemerintah
sebagai Tuhan yang selalu benar.Tidak menjadikan Aparat suci sehingga tidak
perlu dicurigai. Dia berpikir realistis bahwa Rusun Marunda itu sudah ada
sebelum dia jadi Wagub dan dalam kondisi terabaikan karena dikelola dengan cara
korup. Ketika dia duduk sebagai Wagub
maka Rusun Marunda itu dikembalikan fungsinya untuk menampung rakyat yang tidak
mampu beli rumah atau mereka yang terkena program relokasi. Untuk mengembalikan
ini , tidak ada lagi anggaran tersedia.Karena sudah habis dimakan oleh Gubernur
sebelumnya. Ahok , tidak menyalahkan siapapun. Dia hanya focus menyelesaikan
masalah didepan. Dia meminta perusahaan
besar untuk menyalurkan dana CSR ke program unggulan DKI. Saya yakin relawan
Ahok juga berperan melobi perusahaan besar itu dan tentu juga karena reputasi
Ahok yang dikenal bersih sehingga dana CSR mengalir deras. Jadi wajar kalau para relawan Ahok ikut
mengawasi karena tidak ingin nasip RUSUN Marunda sama seperti Gubernur
sebelumnya. Hampir semua perusahaan yang
memberikan dana CSR itu adalah perusahaan Publik yang pengawasannya sangat ketat.
Jadi tidak mungkin dana CSR disalurkan diluar procedure yang diatur oleh UU. Artinya relawan Ahok Center tidak pernah
menerima dana CSR. Disamping itu penggunaan dana CSR disampaikan secara
transfarance , yang berbeda dengan
gubernur sebelumnya dimana rakyat tidak pernah tahu ada dana CSR
untuk PEMDA.
JOKOWI AHOK memaknai demokrasi
secara nilai. Bahwa demokrasi adalah kebersamaan untuk mencapai tujuan
bersama. Tanggung jawab kemakmuran tidak
hanya ada pada pemerintah tapi juga semua pihak harus ikut bertanggung jawab. Seharusnya Ahok
Center adalah seluruh rakyat DKI. Siapapun itu yang mencintai JOKOWI-AHOK dan
cinta kepada kebenaran, kebaikan , keadilan maka harus menjadi bagian dari
relawan Gubernur terpilih. Kita percaya kepada Aparat pemerintah tapi itu bukan
berarti kita menyatakan mereka tidak boleh dicurigai. Itulah gunanya
system demokrasi bahwa semua berhak ikut
mengawasi sebagai bentuk tanggung jawab sebagai warga negara. Selagi paham
demokrasi dimaknai berbagi kekuasaan diantara yang kuat, terdidik, kaya maka
selama itupula demokrasi tidak akan punya nilai untuk alat mencapai kemakmuran
bagi semua. Akan selalu mereka yang kuat, atau kaya, atau terdidik yang akan
menjadi penjarah dan membuat kubangan masalah tak berujung. Selagi rakyat ikut berperan
tidak hanya datang kebilik suara ketika pemilu tapi juga ikut aktif dalam
perubahan dalam azas kebersamaan , maka demokrasi akan punya nilai bahwa yang
kuat melindungi yang lemah, yang kaya berbagi kepada yang miskin, yang terdidik
mendidik kepada mereka yang bodoh. Dari itu semua perbedaan menjadi kekuatan,
bukan biang keretakan karena kecemburuan kelas.