Selama bulan ramadhan sebagian besar
waktu saya di luar negeri. Ditengah kesibukan bersama orang orang tak seiman,
tentu setiap hari saya melihat teman dan relasi business saya makan dan merokok
dihadapan saya. Belum lagi kadang saya harus bertemu dengan relasi yang bila
wanita pakaiannya ( maklum summer ) sexy yang menggoda mata dan hati. Dari itu semua saya harus tetap istiqamah
menjalankan ibadah puasa. Hampir dipastikan saya jarang makan sahur seperti
layaknya bila ada dirumah. Sahur saya hanya makan buah dan minur air putih,
kemudian membaca buku sampai datang waktu sholat shubuh. Disamping itu karena pekerjaan saya
mengharuskan saya melakukan perjalanan kenegara dengan zona waktu berbeda, maka
kadang saya harus melewati puasa lebih dari jam puasa pada umumnya. Ya, saya
harus tetap kering ditengah hujan deras. Saya harus tetap bersih ditengah percikan
lumpur. Saya harus tetap mekar ditengah terik matahari. Kalaulah bukan karena ketaqwaan
rasanya hampir sulit diterima dengan akal sehat ibadah puasa dapat dilaksanakan
dengan sempurna. Mengapa ? puasa adalah ibadah atas dasar keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah. Tidak mungkin
puasa dapat dilaksanakan bila hanya didasarkan kepada keimanan semata. Puasa
adalah ibadah Tauhid.
Saya bukanlah ahli agama. Namun
prinsip Tauhid saya kenal dengan baik. Ilmu Tauhid adalah Ilmu utama dari
segala ilmu yang ada. Itu sebabnya hukum dalam agama mempelajari Ilmu Tauhid
adalah fardhu ’ain bagi setiap umat islam. Sedangkan mempelajari ilmu lainnya
adalah fardhu kifayah. Dari sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad, masalah
tauhid selalu yang utama dibahas. Hampir semua isi AL Quran yang diturunkan
sebelum hijrah (ayat-ayat Makkiyyah) berisi tauhid dan yang terkait dengan
tauhid. Tauhid berhubungan dengan Aqidah dan setiap umat islam harus
menempatkan aqidah diatas segala galanya. Setinggi apapun ilmu yang digapai
maka haruslah tidak keluar dari aqidah. Harus sebagai penguat aqidah untuk
semakin dekat kepada Allah dan mencintai Allah. Karena bila ilmu dunia sampai
mengaburkan aqidah maka rusaklah agama pada diri manusia dan sesatlah jalan
pulang. Karenanya Ilmu Tauhid harus diperdalam ,sebagaimana layaknya kompas
kehidupan. Dengan memahami ilmu Tauhid, hati akan damai dan tentram ditengah
gelombang kehidupan yang kadang bisa membuat kita tergelincir dalam kubangan
maksiat. Dari Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu, beliau berkata: Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dalam
keadaan mengetahui bahwa tidak ada yang sesembahan -yang benar- selain Allah,
niscaya masuk surga.” (HR. Muslim).
Ramadhan telah berlalu. Kini kita
melaksanakan hari Raya Idul Fitri. Idul
Fitri adalah hari raya yang datang berulangkali setiap tanggal 1 Syawal, yang
menandai puasa telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang
hari. Artinya kata fitri di sini diartikan “berbuka” atau “berhenti puasa” yang
identik dengan makan minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri disambut dengan
makan-makan dan minum-minum yang tak jarang terkesan diada-adakan oleh sebagian
keluarga. Tapi itu sebetulnya tidak
tepat. Idul Fitri seharusnya dimaknai
sebagai ‘Kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci‘ sebagaimana ia
baru saja dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini
berarti seorang muslim selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam,
dan segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri,
dengki, serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan. Jadi Idul Fitri berarti
kembali kepada naluri kemanusiaan yang murni, kembali kepada keberagamaan yang
lurus, dan kembali dari segala kepentingan duniawi yang tidak Islami.
Ketika merayakan Idul Fitri
setidaknya ada tiga sikap yang harus kitapunyai, yaitu1) Rasa penuh harap
kepada AllahSWT (Raja’). Harap akan diampuni dosa-dosa yang berlalu. Janji
Allah SWT akan ampunan itu sebagai buah dari “kerja keras” sebulan lamanya
menahan hawa nafsu dengan berpuasa. 2). Melakukan evaluasi diri pada ibadah
puasa yang telah dikerjakan. Apakah puasa yang kita lakukan telah sarat dengan
makna, atau hanya puasa menahan lapar dan dahaga saja Di siang bulan Ramadhan
kita berpuasa, tetapi hati kita, lidah kita tidak bisa ditahan dari perbuatan
atau perkataan yang menyakitkan orang lain. Kita harus terhindar dari sabda
Nabi SAW yang mengatakan banyak orang yang hanya sekedar berpuasa saja: “Banyak
sekali orang yang berpuasa, yang hanya puasanya sekedar menahan lapar dan
dahaga“. 3). Mempertahankan nilai kesucian yang baru saja diraih. Tidak
kehilangan semangat dalam ibadah karena lewatnya bulan Ramadhan, karena
predikat taqwa seharusnya berkelanjutan hingga akhir hayat. Firman Allah SWT:
“Hai orang yang beriman, bertagwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa
kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan
ber-agama Islam ” (QS. Ali Imran: 102). Ya puasa dibulan ramadhan adalah sikap
dan perbuatan akan ke Taqwaan kepada Allah dan hanya Allah yang akan
membalasnya.