Adakah pembelajaran tentang sebuah realitas yang terbentang dihadapan kita. Tentang kaya dan miskin. Apakah islam tida boleh kaya ? Mengapa umat islam lebih banyak miskin? demikian tanya teman saya ketika kami berdialogh dalam kesempatan makan malam. Saya teringat dengan cerita lama , cerita sufi. Ini hanyalah cerita analogis untuk mengaktualkan ilmu hakikat islam. Suatu saat, seorang guru merekomendasikan kepada muridnya untuk berguru kepada seorang sufi ternama. Setelah melewati perjalanan yang amat panjang, sang Murid akhirnya bisa berjumpa dengan guru yang dimaksud. Betapa kagetnya setelah ia mengatahui rumahnya yang mewah bak istana raja. Ia bertanya kepada para tetangganya, apakah betul bahwa istana itu tempat tinggal sang Sufi sebagaimana yang direkomendasikan oleh gurunya. Semuanya menjawab “Ya”. Lebih kaget lagi setelah si pemilik istana itu datang dengan pakaian yang mewah dan kendaraan yang luar biasa bagusnya. Sang murid bertanya-tanya dalam hatinya, apakah benar yang dimaksudkan oleh gurunya. Akan tetapi karena telanjur sudah menempuh perjalanan jauh yang sangat melelahkan, iapun menjumpai Sufi yang kaya raya tersebut. Setelah menyampaikan salam dari gurunya, ia pun menyampaikan maksud dan tujuannya. Betapa kagetnya sang murid setelah mendengar kata-kata yang keluar dari lisan Sufi yang kaya raya itu. Ia berkata, “Tolong sampaikan salam saya kembali kepada gurumu. Aku berpesan agar dia tidak selalu sibuk dengan urusan dunia.”
Bak disambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin orang kaya raya itu memberi nasehat kepada gurunya yang jauh dari kehidupan dunia agar tidak sibuk dengan urusan dunia. Bukankah yang lebih sibuk mengurus dunia adalah orang kaya tersebut? Ia pamit pulang, tidak jadi berguru kepada orang yang direkomendasikan oleh gurunya. Sesampai di padepokan gurunya, ia melaporkan semua kejadian yang dialaminya, termasuk nasihat orang kaya itu kepada gurunya. Sang murid lebih tidak mengerti lagi setelah sang guru yang sangat dihormati itu ternyata menangis dan membenarkan nasihat orang kaya raya tersebut. Sang guru akhirnya menjelaskan bahwa orang kaya raya yang dijumpai oleh muridnya itu memang memiliki istana yang mewah, kendaraan yang bagus, dan selalu berpakaian indah. Tanah perkebunannya luas serta memiliki pabrik yang mempekerjakan banyak karyawan. Namun demikian, harta yang melimpah itu tidak menyebabkannya lalai dan lupa kepada Allah Swt. Hartanya tidak mengganggu dzikirnya kepada Allah Swt. Ia tidak sombong karena hartanya dan jika sewaktu-waktu hartanya diambil oleh pemiliknya, Allah Swt, ia pun tidak merasa terhina karenanya. Ia memandang harta biasa-biasa saja.
Sementara saya, kata sang Guru, biar tidak punya harta yang melimpah, tapi hari-hari masih disibukkan untuk memikirkan harta. Bahkan bisa jadi saya, kata sang guru, lebih sibuk memikirkan urusan harta dari pada si sufi yang kaya raya tersebut. Kepada orang yang diberi karunia rizki yang lebih oleh Allah swt, hendaknya mereka dapat mengelola hartanya sebagai sarana untuk mendapatkan harta kekayaan yang lebih besar kelak di akhirat. Tak perlu bersikap kontra produktif dengan meninggalkan kehidupan dunia. Janganlah mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah Swt. Ingatlah bahwa dengan harta ditangan , banyak hal yang bisa diperbuat untuk meninggikan kalimat Allah.Tak ubahnya dengan kisah Rasyid Nikaz, seorang muslism, miliarder Francis yang tampil didepan hukum untuk membayar denda bagi wanita yang menggunakan cadar. Di Francis pemakai Cadar dilarang oleh konsitusi dan pelanggarnya harus membayar denda. Sikap Rasyid ini mendapat perhatian luas dari media massa. Ketika media massa minta pendapatnya atas sikapnya itu maka keluarlah kata kata syiar islam, dan membuat lunak sikap Pemerintah Francis, Syekh Al-Khuwainy mengibaratkan Rasyid Nikaz sebagai “Satu orang yang mengalahkan satu Negara". Dengan hartanya dia berjihad untuk syariah Islam. Tidak dengan kata kata tapi dengan hartanya. Tak ubahnya dengan Abu Bakar Ash Shiddiq yang menggunakan hartanya untuk membebaskan budak. Dengan hartanya membantu perjuangan Rasul. Begitulah Ustman, yang kaya raya namun menggunakan hartanya demi tegaknya syiar Islam.
Memang ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk hidup sederhana (zuhud ) Namun tidak berarti Islam melarang kita kaya. Bahkan Islam menganjurkan agar umatnya kaya dan memiliki harta. Sebab dengan kekayaan, seorang Muslim bisa melakukan jenis ketaatan yang terkadang tidak bisa dilakukan oleh orang miskin. Orang berharta bisa haji, umrah, infak dan lain-lain. Mencari harta kekayaan dalam Islam adalah bagian dari ibadah. Karenanya, sarana dan cara mencarinya tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Faktor pembuka atau kunci itu ada dua jenis; faktor lahir, kasat mata, atau material causal dan faktor batin. Faktor lahiriyah misalnya; bertani, nelayan, berdagang, berprofesi, mengajar, dan lain-lain. Faktor batin rizki bersifat spiritualitas, ibadah dan perwujudan nilai-nilai dan ajaran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Faktor ini menghubungkan seseorang dengan Maha Pemberi rizki, Allah secara langsung. Kedua faktor di atas harus ditempuh oleh seseorang. Seseorang tidak boleh mengandalkan faktor pertama dengan mengesampingkan faktor kedua. Sebab hal itu bisa menjadikan seseorang menyekutukan Allah. Di sisi lain, faktor pertama hanyalah usaha manusia. Sementara faktor kedua bersifat faktor penentuan yang diserahkan kepada Allah Maha Pemberi rizki. Jika seseorang ingin memaksimalkan perolehan rizki maka dia harus memaksimalkan keduanya. Kedua faktor dengan bagian-bagian yang terkait ibarat modal, aset dan investasi untuk mendapatkan ‘keuntungan’ materi dan non materi dari Allah. Semakin banyak dan berkualitas modal-modal itu kita tanam, maka makin besar pula incomenya.
Rasulullah Sallalahu Alaihi Wassalam bersabda, “Sebaik-sebaik harta adalah harta orang shalih.” (HR. Ahmad). Karena banyak hal yang sulit dilakukan oleh orang miskin, ia dapat lakukan dengan mudah. Namun bukan berarti miskin itu salah.Adapun terhadap orang-orang yang belum mendapatkan rizki lebih dari Allah Swt, hendaklah tetap menjalankan ketaatan kepada Allah Swt dengan tulus dan ikhlas. Nikmati kemiskinan dengan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt. Akhirnya, tidak ada halangan bagi orang kaya untuk menjadi shalih dan dekat dengan Allah swt. Demikian juga tidak ada alasan bagi orang miskin untuk tidak mendekat kepada Allah karena kemiskinannya. Orang kaya dan orang miskin mempunyai kesempatan yang sama untuk mendekati Allah Swt. Jadi bagi orang islam yang saleh, miskin atau kaya , dia akan menjadi sebaik baiknya umat karena dia berbuat bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk orang lain, untuk cinta dan kasih sayang..
Bak disambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin orang kaya raya itu memberi nasehat kepada gurunya yang jauh dari kehidupan dunia agar tidak sibuk dengan urusan dunia. Bukankah yang lebih sibuk mengurus dunia adalah orang kaya tersebut? Ia pamit pulang, tidak jadi berguru kepada orang yang direkomendasikan oleh gurunya. Sesampai di padepokan gurunya, ia melaporkan semua kejadian yang dialaminya, termasuk nasihat orang kaya itu kepada gurunya. Sang murid lebih tidak mengerti lagi setelah sang guru yang sangat dihormati itu ternyata menangis dan membenarkan nasihat orang kaya raya tersebut. Sang guru akhirnya menjelaskan bahwa orang kaya raya yang dijumpai oleh muridnya itu memang memiliki istana yang mewah, kendaraan yang bagus, dan selalu berpakaian indah. Tanah perkebunannya luas serta memiliki pabrik yang mempekerjakan banyak karyawan. Namun demikian, harta yang melimpah itu tidak menyebabkannya lalai dan lupa kepada Allah Swt. Hartanya tidak mengganggu dzikirnya kepada Allah Swt. Ia tidak sombong karena hartanya dan jika sewaktu-waktu hartanya diambil oleh pemiliknya, Allah Swt, ia pun tidak merasa terhina karenanya. Ia memandang harta biasa-biasa saja.
Sementara saya, kata sang Guru, biar tidak punya harta yang melimpah, tapi hari-hari masih disibukkan untuk memikirkan harta. Bahkan bisa jadi saya, kata sang guru, lebih sibuk memikirkan urusan harta dari pada si sufi yang kaya raya tersebut. Kepada orang yang diberi karunia rizki yang lebih oleh Allah swt, hendaknya mereka dapat mengelola hartanya sebagai sarana untuk mendapatkan harta kekayaan yang lebih besar kelak di akhirat. Tak perlu bersikap kontra produktif dengan meninggalkan kehidupan dunia. Janganlah mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah Swt. Ingatlah bahwa dengan harta ditangan , banyak hal yang bisa diperbuat untuk meninggikan kalimat Allah.Tak ubahnya dengan kisah Rasyid Nikaz, seorang muslism, miliarder Francis yang tampil didepan hukum untuk membayar denda bagi wanita yang menggunakan cadar. Di Francis pemakai Cadar dilarang oleh konsitusi dan pelanggarnya harus membayar denda. Sikap Rasyid ini mendapat perhatian luas dari media massa. Ketika media massa minta pendapatnya atas sikapnya itu maka keluarlah kata kata syiar islam, dan membuat lunak sikap Pemerintah Francis, Syekh Al-Khuwainy mengibaratkan Rasyid Nikaz sebagai “Satu orang yang mengalahkan satu Negara". Dengan hartanya dia berjihad untuk syariah Islam. Tidak dengan kata kata tapi dengan hartanya. Tak ubahnya dengan Abu Bakar Ash Shiddiq yang menggunakan hartanya untuk membebaskan budak. Dengan hartanya membantu perjuangan Rasul. Begitulah Ustman, yang kaya raya namun menggunakan hartanya demi tegaknya syiar Islam.
Memang ajaran Islam menganjurkan umatnya untuk hidup sederhana (zuhud ) Namun tidak berarti Islam melarang kita kaya. Bahkan Islam menganjurkan agar umatnya kaya dan memiliki harta. Sebab dengan kekayaan, seorang Muslim bisa melakukan jenis ketaatan yang terkadang tidak bisa dilakukan oleh orang miskin. Orang berharta bisa haji, umrah, infak dan lain-lain. Mencari harta kekayaan dalam Islam adalah bagian dari ibadah. Karenanya, sarana dan cara mencarinya tidak boleh bertentangan dengan syariat Islam. Faktor pembuka atau kunci itu ada dua jenis; faktor lahir, kasat mata, atau material causal dan faktor batin. Faktor lahiriyah misalnya; bertani, nelayan, berdagang, berprofesi, mengajar, dan lain-lain. Faktor batin rizki bersifat spiritualitas, ibadah dan perwujudan nilai-nilai dan ajaran Allah dalam kehidupan sehari-hari. Faktor ini menghubungkan seseorang dengan Maha Pemberi rizki, Allah secara langsung. Kedua faktor di atas harus ditempuh oleh seseorang. Seseorang tidak boleh mengandalkan faktor pertama dengan mengesampingkan faktor kedua. Sebab hal itu bisa menjadikan seseorang menyekutukan Allah. Di sisi lain, faktor pertama hanyalah usaha manusia. Sementara faktor kedua bersifat faktor penentuan yang diserahkan kepada Allah Maha Pemberi rizki. Jika seseorang ingin memaksimalkan perolehan rizki maka dia harus memaksimalkan keduanya. Kedua faktor dengan bagian-bagian yang terkait ibarat modal, aset dan investasi untuk mendapatkan ‘keuntungan’ materi dan non materi dari Allah. Semakin banyak dan berkualitas modal-modal itu kita tanam, maka makin besar pula incomenya.
Rasulullah Sallalahu Alaihi Wassalam bersabda, “Sebaik-sebaik harta adalah harta orang shalih.” (HR. Ahmad). Karena banyak hal yang sulit dilakukan oleh orang miskin, ia dapat lakukan dengan mudah. Namun bukan berarti miskin itu salah.Adapun terhadap orang-orang yang belum mendapatkan rizki lebih dari Allah Swt, hendaklah tetap menjalankan ketaatan kepada Allah Swt dengan tulus dan ikhlas. Nikmati kemiskinan dengan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt. Akhirnya, tidak ada halangan bagi orang kaya untuk menjadi shalih dan dekat dengan Allah swt. Demikian juga tidak ada alasan bagi orang miskin untuk tidak mendekat kepada Allah karena kemiskinannya. Orang kaya dan orang miskin mempunyai kesempatan yang sama untuk mendekati Allah Swt. Jadi bagi orang islam yang saleh, miskin atau kaya , dia akan menjadi sebaik baiknya umat karena dia berbuat bukan hanya untuk dirinya tapi juga untuk orang lain, untuk cinta dan kasih sayang..