Mari ikut larut dalam imaginasi
kehidupan muram. Sebuah keluarga, dua
anak dan istri. Penghasilan tidak tetap. Rumah menyewa dengan harga Rp. 450.000
per bulan. Harga sewa sebesar itu hanya bisa tinggal di pinggir
kali atau diatas status tanah yang tak legitimate. Bentuk rumahpun seadanya
untuk sekedar berteduh dikala hujan dan berlindung dari terik matahari ketika
panas, dan beristirahat ketika lelah. Bila datang hujan , praharapun datang.
Rumah digenangi air sampai pada batas tidak bisa lagi untuk tidur dan
beristirahat. Akhirnya anda harus tinggal di tempat penampungan. Begitu banyak
yang membantu namun pada kenyataanya tetap saja tidak bisa makan tiga kali
sehari dipenampungan. Termasuk beruntung bila bisa makan dua kali dengan mi dan
telor rebus. Ketika hujan reda. Banjir telah menyurut. Anda tidak bisa kembali
ketempat tinggal anda. Rumah anda sudah dinyatakan terlarang untuk dijadikan
tempat tinggal. Apa yang harus anda perbuat. Rumah tak ada, pekerjaan tidak
jelas. Yang dihadapi adalah anak dan istri yang butuh perlindungan dari anda. Hmm..mari
buka mata pelan pelan. Anda sedang bermimpi. Tapi itulah yang sebetulnya sedang
dialami oleh saudara kita yang miskin yang terkena musibah banjir di Jakarta.
Mereka adalah komunitas muram
yang ada di Jakarta. Umumnya mereka adalah pendatang yang bukan penduduk asli Jakarta. Tapi bagaimanapun
mereka adalah anak bangsa yang butuh keadilan dari sebuah rumah bernama
Indonesia. Sejak sebelum merdeka sampai setelah merdeka, komunitas muram ini
selalu ada dan selalu bertambah komunitasnya seiring bertambahnya jumlah
penduduk ,seiring bertambahnya ABPN dan seiring tingginya GNP nasional. Kaum
muram seakan luka bernanah yang sengaja disembunyikan dibalik kebanggaan
sebagai negara yang tergabung dalam G20. Dibalik menterengnya Mall di Ibukota.
Dibalik berseliwerannya mobil mewah dijalanan kota Jakarta. Namun bagaimanapun
tidak bisa menghilangkan luka bernanah itu. Aromanya tetap membaui siapa saja.
Bagi Jokowi dan Ahok, luka tidak harus disembunyikan. Luka bernanah itu adalah
penyakit sosial yang harus disembuhkan. Caranya ? tidak melalui seminar dan
retorika. Tapi tindakan nyata. Beri mereka rumah dengan sewa lebih murah dari
tempat sebelumnya. Beri mereka perabotan standar orang modern. Beri mereka
lingkungan rumah yang bersih. Kalau mereka tidak punya pekerjaan , beri mereka
pekerjaan.
Di Rusun Marunda semua impian
kaum muram menjelma menjadi kenyataan. Mereka antusias mendapatkan rumah dan
kesempatan tinggal ditempat yang layak. Benarlah bahwa Rakyat sangat ingin sejahtera,
Ingin RUSUN. Dan Jokowi memenuhi keinginan rakyat itu, karena begitulah amanah
APBD , amanah rakyat melalui DPRD. Padahal
RUSUN ini dibangun sejak zaman Foke. Dan keadaannya terbengkalai tanpa terawat
dengan baik. Alasan pengelola (unit pelayanan teknis/ UPT) RUSUN bahwa
rakyat tidak mau tinggal disana karena kejauhan dari pusat kota. Banyak
yang kosong karena peminatnya kurang. Katanya Rakyat tidak biasa tinggal
dirumah susun. Begitu banyak alasan dari pengelola. Akibatnya ongkos membangun dari APBD/APBN untuk program
penyediaan rumah untuk rakyat miskin hanya jadi dalam bentuk bangunan saja tapi
tidak berfungsi ideal untuk rakyat
miskin. Yang sejahtera adalah Pimpro dari uang mark up project, Pengelola dari
uang rente juragan re-lease,pegawai dari uang perawatan yang tidak digunakan
untuk merawat bangunan. Semua itu tidak terjadi begitu saja dilevel bawah tapi
sudah merupakan bagian dari budaya korup dari level teratas sampai kebawah. Hari
hari kemarin telah lewat. Pengelola RUSUN sudah diberhentikan seiring
terpilihnya Jokowi-Ahok sebagi pemimpin. Kini yang bekerja adalah team Jakarta
baru.
Apakah keistimewaannya JOKOWI dan
Ahok? Demikian tanya saya kepada teman yang merasa senang karena supirnya
mendapatkan kesempatan tinggal di RUSUN Marunda. Menurutnya secara tekhnis antara Foke dan Jokowi tidak ada perbedaan.
Kedua gubernur sebagaimana mantan Gubernur lainnya mempunyai sumber dana sama ,
yaitu dari APBD yang setiap tahun jumlahnya terus meningkat. Semua gubernur
menjalankan blue print pembangunan kota yang disusun oleh orang terdidik dan di
syahkan oleh DPRD. Tapi yang membedakan sosok Jokowi dan Ahok dibanding yang
lain adalah terletak pada hal yang prinsip, yaitu niatnya untuk bekerja demi
kepentingan rakyat. Bagi Jokowi-Ahok, prestasi bukan diukur dari data
rasio penggunaan dana APBD tapi rasio
kesejahteraan rakyat terhadap setiap sen dana APBD yang dikeluarkan. Semua
bawahan harus mengikuti paradigma itu. Sebagai pemimpin mereka berusaha
memberikan keyakinan kepada bawahannya untuk berubah. Memang tidak mudah,
Apalagi korup dan malas itu sudah
menjadi budaya bulukan. Tapi dengan keteladanan dan kesederhanaan, serta niat
baik, mereka berhasil menjadi inspirasi bagi semua bawahannya untuk berubah dari
yang dilayani menjadi yang melayani.
Dari Rusun Marunda, saya
berimaginasi tentang Rumah Indonesia yang memberikan lingkungan yang bersih,
tetangga yang toleran , pekerjaan yang tersedia, mencari rezeki mudah, bila
sakit tak dibingungkan ongkos berobat, bila anak sekolah tidak dibingungkan biaya. Ya, Rakyat tak butuh bangunan marcuasuar yang membut kota menjadi METRO atau Kosmos. Rakyat tidak menuntut keinginan yang tak terpuaskan kepada pemerintah. Rakyat hanya butuh kebutuhan dasar yang tersedia dan terjangkau dengan penghasilan terendah mereka. Karena itulah mereka butuh pemimpin. Kini untuk masa depan , untuk Indonesia baru, yang
diperlukan pemimpin yang amanah , yang mau bekerja untuk rakyat tanpa perlu
berbicara banyak tapi berbuat untuk cinta dan kasih sayang...