Anda boleh bicara apa saja soal program pembangunan , termasuk idealism anda tapi tidak ada artinya dihadapan rakyat. Pada akhirnya yang dihormati rakyat adalah siapa yang bisa member mereka uang disaat mereka sangat membutuhkannya. Itulah kata kunci kalau ingin menjadi pemenang dalam putaran pemilu atau pilkada. Sebagai orang lapangan, saya tahu précis berapa harga per kapala pemilik disetiap daerah. Dari situlah anggaran kampanye dibuat dan akhirnya menjadikan rakyat seperti kerbau di tusuk hidupnya ketika berada dibilik suara. Kira kira seperti itu kata teman saya yang juga salah satu Pimpinan Partai. Saya sempat tersentak dengan kata katanya. Karena ini ungkapkan jujur dari politisi lapangan yang tahu précis bagaimana menjadi pemenang. Itulah sebabnya tokoh agama tidak laku dijual, pencipta socialism tidak laku dijual, pendukung pancasila tidak laku dijual. Ini era semua ada harga dan instant.
Namun saya tidak akan membahas soal politik. Saya ingin membahas dari perspektif “ memberi”. Saya tidak tahu apakah ini hanya berlaku di Indonesia. Yang pasti , orang Indonesia, siapapun dia, akan mudah sekali larut dalam emosinya ketika ada orang lain datang memberinya. Serta merta orang yang memberi itu akan dianggapnya sebagai dewa penolong. Dia akan dipuji dan dilupakan semua kesalahannya. Bahkan pihak pemberi akan didengar apa katanya dan dihormati secara berlebihan. Seperti bila ada sengketa maka perdamaian diaktualkan dalam bentuk pemberian. Urusan selesai. Para pejabat tidak bisa bersikap tegas bila ada pengusaha yang begitu royal memberi. Tak ada sedikitpun curiga bahwa pengusaha itu akan memanfaatkannya. Ketika dia menerima pemberian maka secara otomatis sebagian jiwanya sudah tergadaikan kepada pihak pemberi.
Tanpa disadari sikap memberi tidak lagi melulu didasarkan oleh keikhlasan tanpa kondisi. Memberi sudah menjadi seni tersendiri untuk menguasai situasi. Bagi pengusaha , memberi dan melayani sepuh hati keinginan pejabat adalah seni untuk membeli jiwa pejabat. Ini disebut suap dan korupsi. Para politisi memberi uang receh kepada rakyat adalah seni untuk mendapatkan suara. Ini disebut money politic.. Para pria memberikan hadiah kepada wanita sebagai seni menguasai wanita, ini disebut pelacuran. Bahkan dalam dakwah sebagian ustandz menjadikan pemberian pengetahuan agama sebagai seni mendapatkan uang dan terkenal layaknya selebritis. Ini disebut menjual ayat Allah. Ya seni memberi sudah menjadi budaya akhir zaman. Semuanya berujung pada satu philosophy, “ nothing to free lunch. Tidak ada yang gratis. Tentu pasti tidak ada yang disebut dengan ikhlas.
Ini seni capitalism! Memberi pun menjadi bagian dari seni berkompetisi. Ketika orang memberi, tidak membuat dirinya bahagia tapi justru membuat dia cemas. Cemas karena takut pemberiannya tidak menghasilkan apa yang diharapkannya. Pengusaha merasa cemas ketika memberi karena takut pemberiannya kalah besar dibandingkan pengusaha lain yang ingin menguasai pejabat itu. Politisi mereka kawatir ketika memberikan bantuan langsung kepada rakyat karena kawatir pesaingnya dari partai lain memberi lebih dari itu. Akibatnya, maka memberi bukan hanya menjadi sebuah seni tapi juga menjadi sebuah kalkulasi. Ketika ia menjadi sebuah kalkulasi maka strategi dan taktik juga di gelar. Pada moment ini, kepentingan yang diberi tidak lagi dilihat tapi kepentingan pemberi diatas segala galanya.
Jangan kaget bila pada akhirnya sesama pemberi bekerja sama untuk menjadikan sang diberi sebagai pencundang. Mengapa ? hokum capitalism mengenal apa yang disebut dengan berkorban sekecil kecilnya dengan manfaat sebesar besarnya. Semakin kuat jalinan kerjasama antar sesama pemberi semakin kuat daya cangkramnya kepada pihak yang diberi. Memang dahysat sekali pengaruh buruk akibat memberi tidak ikhlas. Karena pemberian ini tak ubahnya senjata tajam dalam bentuk intimidasi mental kepada mereka yang membutuhkan uang. Bagi pejabat kebutuhan uang karena keinginan yang tak terpuaskan. Bagi rakyat kecil, kebutuhan uang karena tuntutan kebutuhan dasar untuk hidup. Namun keduanya terjebak oleh situasi dan kondisi akan keinginan atau kebutuhan.
Itulah sebabnya Allah menggaris bawahi konsep memberi atas dasar keikhlasan. ”Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat. Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” (Al-Baqarah [2]: 265). Ikhlas berarti tanpa syarat kecuali mengharapkan keridhoan Allah. Keikhlasan itu hanya dapat dirasakan nikmatnya oleh manusia itu sendiri. Karena ini merupakan hubungan batin antara manusia dengan Tuhannya. Ia kuat teramat kuat tanpa bergantung apapun karena dia dekat kepada Allah dan cinta akan Allah. Orang yang ikhlas memberi, dia akan sehat lahir batin. Adakah nikmat lebih hebat didunia ini selain sehat lahir dan batin ?