Pemilu kali in berbicara tegas. Bahwa sosialisme telah kalah dinegeri ini. Agama dipinggirkan dan tak laku dijual diranah politik. Demokrat tetap unggul diatas kanvas bursa, pasar , serta dunia iklan. Ada yang mengharukan ketika sebagian berbicara tentang masa depan Indonesia yang penuh kekeluargaan dan gotong royong, kita memandang ruang kosong dimana singgah sebuah nostalgia : gema lagu “ padamu negeri, barisan buruh , tani, nelayan yang mengibarkan bendera dan menuntut hak, seperti dalam film documenter “rebut Irian “ , orang yang berkorban dalam komune bela negara. Kini semua itu tak lagi nampak dalam berita sehari hari. Heroisme punah. Solidaritas berkutat pada kekuatan modal dan media massa.
Ada yang ganjil rasanya. Dulu dilukiskan Bung Karno Indoesia kedepan adalah kejayaan nusantara. Hatta berteguh hati masa depan Indonesia adalah kemerdekaan ekonomi yang tidak berbaiat pada sosialis ,apalagi kapitalis. Kecuali namanya Ekonomi Pancasila. Adakah masa depan kini sebuah masa lampau ? Saya tidak tahu. Soekarno meninggal dalam keterasingan dengan ide idenya. Hatta meninggal dalam impiannya yang tak terwujud. Seakan kematian itu mencerminkan padadox pemikirannya. Soeharto ingin melanjutkan impian itu namun tersungkur oleh tesis kebingungan antara social dan kapitalis. Tak ada yang selesai. Semua masa lampau adalah kebingungan , hari kini kita masih tetap bingung.
Sebetulnya yang membingungkan adalah kebencian kita tentang tidak adanya keadilan ekonomi. Biang persoalan itu lebih disebabkan oleh kapitalisme yang tak pernah mati. Kapitalisme mencangkokkan dirinya ketubuh perawan, dan marak di koloni koloni kampus sekuler dan kaum elite partai. Kapital belum mati. Ia masih sibuk menghimpun lebih banyak capital lagi lewat cara cara lain ditengah keterpurukannya akibat ulahnya sendiri. Pemilu kali ini membuktikan bahwa Indonesia bukan Venezuela atau Bolivia. Disini darah revolusi telah habis. Semangat sudah layu. Yang tersisa adalah penyakit lama, berharap uluran tangan asing menyelesaikan masalah APBN. Selebihnya adalah kosong.
Padahal kalau kita diam sebentar dan menutup mata dengan semua tesis diluar. Maka kita akan bertemu dengan “subjectivitas”, pengembangan diri, dan menjadi bagaimana dirimu sendiri”. Dengan ringkas, sesuatu yang punya kemerdekaan buat tumbuh dan menjadi. Kapiltasime meringkus itu dan membuat manusia merasa dirinya hanya hadir diluar kerjanya, dan kerjanya…berada diluar dirinya. Proses aliensi itulah yang menyebabkan kerja dan rakyat lemah kehilangan martabat. Tapi bagi rakyat itu tak lagi dipikirkan. Mereka hanya tahu bahwa pemerintah yang kini berkuasa mampu membagikan uang tunai langsung. Itu lebih mengena daripada janji kedepan, apalagi mengangkat pemikiran masa lalu yang hanya ada dalam konsep tanpa ada bukti sejarah kemakmuran.
Pemilu telah terlaksana. Hasilnya untuk sementara pemerintah yang kini berkuasa menguasai mayoritas suara rakyat. Pemikiran tentang masa lalu terbukti tak laku dijual. Gema revolusi system ketinggalan jaman. Gema agama kehilang ruh. Lagi lagi, rakyat bersikap untuk tak mau lagi berpikir tentang masa depan. Siapapun yang bisa menawarkan sesuatu yang kongkrit masa kini maka dialah pemenang. Rakyat tak peduli bila semua itu didapat dari hutang luar negeri yang menjebak. Sumber daya alam yang tergadaikan kepada asing dengan segala jargon kapitalisme penghisap darah.
Pilihan rakyat adalah cermin realitas kita semua. bahwa tak ada lagi nostalgia , juga tak ada impian masa depan. Itulah harga dari demokrasi yang kita pilih. Jangan kecewa !
Ada yang ganjil rasanya. Dulu dilukiskan Bung Karno Indoesia kedepan adalah kejayaan nusantara. Hatta berteguh hati masa depan Indonesia adalah kemerdekaan ekonomi yang tidak berbaiat pada sosialis ,apalagi kapitalis. Kecuali namanya Ekonomi Pancasila. Adakah masa depan kini sebuah masa lampau ? Saya tidak tahu. Soekarno meninggal dalam keterasingan dengan ide idenya. Hatta meninggal dalam impiannya yang tak terwujud. Seakan kematian itu mencerminkan padadox pemikirannya. Soeharto ingin melanjutkan impian itu namun tersungkur oleh tesis kebingungan antara social dan kapitalis. Tak ada yang selesai. Semua masa lampau adalah kebingungan , hari kini kita masih tetap bingung.
Sebetulnya yang membingungkan adalah kebencian kita tentang tidak adanya keadilan ekonomi. Biang persoalan itu lebih disebabkan oleh kapitalisme yang tak pernah mati. Kapitalisme mencangkokkan dirinya ketubuh perawan, dan marak di koloni koloni kampus sekuler dan kaum elite partai. Kapital belum mati. Ia masih sibuk menghimpun lebih banyak capital lagi lewat cara cara lain ditengah keterpurukannya akibat ulahnya sendiri. Pemilu kali ini membuktikan bahwa Indonesia bukan Venezuela atau Bolivia. Disini darah revolusi telah habis. Semangat sudah layu. Yang tersisa adalah penyakit lama, berharap uluran tangan asing menyelesaikan masalah APBN. Selebihnya adalah kosong.
Padahal kalau kita diam sebentar dan menutup mata dengan semua tesis diluar. Maka kita akan bertemu dengan “subjectivitas”, pengembangan diri, dan menjadi bagaimana dirimu sendiri”. Dengan ringkas, sesuatu yang punya kemerdekaan buat tumbuh dan menjadi. Kapiltasime meringkus itu dan membuat manusia merasa dirinya hanya hadir diluar kerjanya, dan kerjanya…berada diluar dirinya. Proses aliensi itulah yang menyebabkan kerja dan rakyat lemah kehilangan martabat. Tapi bagi rakyat itu tak lagi dipikirkan. Mereka hanya tahu bahwa pemerintah yang kini berkuasa mampu membagikan uang tunai langsung. Itu lebih mengena daripada janji kedepan, apalagi mengangkat pemikiran masa lalu yang hanya ada dalam konsep tanpa ada bukti sejarah kemakmuran.
Pemilu telah terlaksana. Hasilnya untuk sementara pemerintah yang kini berkuasa menguasai mayoritas suara rakyat. Pemikiran tentang masa lalu terbukti tak laku dijual. Gema revolusi system ketinggalan jaman. Gema agama kehilang ruh. Lagi lagi, rakyat bersikap untuk tak mau lagi berpikir tentang masa depan. Siapapun yang bisa menawarkan sesuatu yang kongkrit masa kini maka dialah pemenang. Rakyat tak peduli bila semua itu didapat dari hutang luar negeri yang menjebak. Sumber daya alam yang tergadaikan kepada asing dengan segala jargon kapitalisme penghisap darah.
Pilihan rakyat adalah cermin realitas kita semua. bahwa tak ada lagi nostalgia , juga tak ada impian masa depan. Itulah harga dari demokrasi yang kita pilih. Jangan kecewa !