Hari ini saya mendapatkan kirim email dari dua sahabat saya. Entah mengapa email yang dikirim satu sama lain saling berhubungan. Satunya menyampaikan kisah Nabi Ibrahim yang berusaha mengetahui rahasia Illahi. Satunya lagi menyampaikan tentang sifat ihsan yang sesuai tingkatannya seperti mukmin, mutaqin, muhsin dan muchlas.Mereka memberikan pencerahan tentang hakikat manusia diciptakan didunia. Dua email ini kembali memaksa saya membuka Al Quran ( Alhamdulillah software AL Quran juga dikasih Mas Hend, sehingga memudahkan saya melakukan search sesuai dengan topiknya). Saya tergugah ketika mencoba menghayati firman Allah "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud". (QS Al Hijir 28-29)"
Firman Allah itu membuat saya termenung lama. Ada pencerahan seperti melesat dalam kalbu saya. Ditengah tekanan berbagai masalah yang menyesakan , dua sahabat ini membuat saya tergiring untuk memahami ayat tersebut diatas. Bahwa benarlah manusia itu diciptakan dari dua dimensi. Dimensi pertama adalah phisik ( tanah liat kering ) dan kemudian setelah dalam keadaan sempurna , ditiupkan "Ruh ". Ayat itu ditutup dengan kata kata yang membuat saya tersentak " Maka tunduklah kamu (seluruh makhluk ) kepadanya dengan sujud. " Masya Allah. Begitu tingginya derajar manusia. Begitu mulianya kedudukan penciptraan manusia. Lantas mengapa akhirnya manusia kebanyakan menjadi hina lebih dari mahkluk lainnya? Mengapa manusia tak pernah lelah membuat tesis tentang keberadaan Allah. Padahal didalam manusia itu ada Allah ( Ruh)?.
Ayat tersebut menyadarkan saya tentang hubungan Raga dan Ruh. Raga manusia adalah sisi terlemah dari manusia itu sendiri. Raga terjebak oleh ruang dan waktu. Dibalik raga ada Akal dan Rasa. Dua ini berperan menyetir raga untuk bergerak atau diam, merasakan lapar, sakit, birahi, sedih, bahagia dan lain sebagainya. Mengapa dikatakan rendah derajat karena Raga itu renta oleh Akal dan Rasa. Berbagai penyakit Raga datang karena Akal dan Rasa. Namun disisi lain ada derajat tertinggi yang memiliki kekuatan tak tertandingi oleh apapun ,yaitu Ruh yang ada pada manusia. Ruh ini suci dari segala kebohongan , kecurangan. Ia tidak pernah dapat ditembus oleh kekuatan mahluk apapun, termasuk oleh ilmu akal manusia. Ruh tidak mengenal ruang dan waktu. Dia kekal , abadi. Kekuasaan menyelimuti seluruh alam semesata beserta isinya. Dan Ruh adalah "Aku" bersemayam pada manusia. Namun karena hakikat manusia diciptakan terdiri dari dua dimensi tersebut maka interaksi dengan “Aku” haruslah melalui raga. Itu adalah fitrah manusia, sebagai proses untuk mencapai kesempurnaan ;menyatu dengan "Aku"
Makanya manusia selalu diminta oleh Allah "dekatlah kepadaku", karena aku dekat dari urat nadimu". Rahasia 'Aku" ini tidak akan pernah terjawabkan bila manusia tidak mempercayai alquran dan hadith. Walau sebetulnya Alquran itu hanyalah secuil rahasia kehadiran "Aku" yang hanya diberikan kepada mahluk yang berujud "manusia”. Namun secuil rahasia itu menggiring manusia kembali kepada esensi “Aku”. Itupula sebabnya ilmu pengetahuan modern yang mengabaikan kehadiran “Aku” akan selalu menimbulkan paradox. Padahal dari sisi derajat terendah raga yang dibungkus oleh akal dan rasa ini terselip untaian mutiara tentang kehadiran Allah yang maha perkasa; Banyak buku dibaca tapi kurang bijak. Banyak obat dibuat tapi semakin banyak penyakit, Besar rumah dibuat tapi kurang kenyamanan. Mengejar kebahagiaan tapi miskin waktu. Jabatan tinggi tapi rendah kebijakan. Istri cantik tapi menyebalkan. Semakin manusia menempatkan raganya sebagai hal yang esensi maka sebetulnya dia lebih memilih sisi terendah derajatnya, hina dan zolim. Akan selalu menimbulkan paradox. Padahal esensis eksistensi manusia itu bukan raga tapi Ruh!. Buktinya Allah menempatkan manusia sebagai mahkluk yang "harus disembah oleh mahluk lainnya. Dia khalifah dimuka bumi.
Dari pemahaman ini maka siapakah kita? . Apakah kita lebih memanjakan raga kita , yang notabene adalah materi terendah derajatnya atau kita mengutamakan Ruh ( bashirah) kita dalam berbuat sebagai dimensi tertinggi derajatnya dibandingkan seluruh makhluk ciptaan Allah. Itulah yang membuat saya terharu ketika Mas Hend mengirim SMS untuk memberikan dukungan sikap saya dengan kalimat "BISMILLAHIRAHMANIIRAHIM, dia mengharapkan saya kembali kepada esensi saya diciptakan , dimana setiap perbuatan haruslah mendahulukan kehadiran Allah untuk berbuat karena cinta dan kasih sayang. Ungkapan hakikat cinta ini seperti email Mas Edi " mencintai anak dia akan meninggalkan kita dan akan mati. Mencintai istri yang ketika muda cantik segar, bila sudah tua sering sakit ,rewel , kadang menjengkelkan kemudian mati, mencintai gelar, S1, S2, S3 selanjutnya Professor, bila tua akan menjadi pikun. Mencintai pangkat letnan, kolonel, jendral , jendral bintang lima stroke sakit perut, dan satunya terjerat sarung jatuh dan mati. Mencintai diri muda cerdas mata awas, tenaga perkasa, ketika senja rambut memutih, mata kabur, suara melemah, tenaga loyo gampang mengantuk, diringgalkan teman-teman kemudian mati juga..." ternyata yang abadi adalah Allah dan tentulah setiap apapun kecintaan kita didunia ini karena didasarkan kecintaan kepada Allah.Karena itulah yang abadi.
Maha suci Allah. Dari dua orang sahabat ini saya dikembalikan setelah terjebak sesaat dengan raga saya.
Firman Allah itu membuat saya termenung lama. Ada pencerahan seperti melesat dalam kalbu saya. Ditengah tekanan berbagai masalah yang menyesakan , dua sahabat ini membuat saya tergiring untuk memahami ayat tersebut diatas. Bahwa benarlah manusia itu diciptakan dari dua dimensi. Dimensi pertama adalah phisik ( tanah liat kering ) dan kemudian setelah dalam keadaan sempurna , ditiupkan "Ruh ". Ayat itu ditutup dengan kata kata yang membuat saya tersentak " Maka tunduklah kamu (seluruh makhluk ) kepadanya dengan sujud. " Masya Allah. Begitu tingginya derajar manusia. Begitu mulianya kedudukan penciptraan manusia. Lantas mengapa akhirnya manusia kebanyakan menjadi hina lebih dari mahkluk lainnya? Mengapa manusia tak pernah lelah membuat tesis tentang keberadaan Allah. Padahal didalam manusia itu ada Allah ( Ruh)?.
Ayat tersebut menyadarkan saya tentang hubungan Raga dan Ruh. Raga manusia adalah sisi terlemah dari manusia itu sendiri. Raga terjebak oleh ruang dan waktu. Dibalik raga ada Akal dan Rasa. Dua ini berperan menyetir raga untuk bergerak atau diam, merasakan lapar, sakit, birahi, sedih, bahagia dan lain sebagainya. Mengapa dikatakan rendah derajat karena Raga itu renta oleh Akal dan Rasa. Berbagai penyakit Raga datang karena Akal dan Rasa. Namun disisi lain ada derajat tertinggi yang memiliki kekuatan tak tertandingi oleh apapun ,yaitu Ruh yang ada pada manusia. Ruh ini suci dari segala kebohongan , kecurangan. Ia tidak pernah dapat ditembus oleh kekuatan mahluk apapun, termasuk oleh ilmu akal manusia. Ruh tidak mengenal ruang dan waktu. Dia kekal , abadi. Kekuasaan menyelimuti seluruh alam semesata beserta isinya. Dan Ruh adalah "Aku" bersemayam pada manusia. Namun karena hakikat manusia diciptakan terdiri dari dua dimensi tersebut maka interaksi dengan “Aku” haruslah melalui raga. Itu adalah fitrah manusia, sebagai proses untuk mencapai kesempurnaan ;menyatu dengan "Aku"
Makanya manusia selalu diminta oleh Allah "dekatlah kepadaku", karena aku dekat dari urat nadimu". Rahasia 'Aku" ini tidak akan pernah terjawabkan bila manusia tidak mempercayai alquran dan hadith. Walau sebetulnya Alquran itu hanyalah secuil rahasia kehadiran "Aku" yang hanya diberikan kepada mahluk yang berujud "manusia”. Namun secuil rahasia itu menggiring manusia kembali kepada esensi “Aku”. Itupula sebabnya ilmu pengetahuan modern yang mengabaikan kehadiran “Aku” akan selalu menimbulkan paradox. Padahal dari sisi derajat terendah raga yang dibungkus oleh akal dan rasa ini terselip untaian mutiara tentang kehadiran Allah yang maha perkasa; Banyak buku dibaca tapi kurang bijak. Banyak obat dibuat tapi semakin banyak penyakit, Besar rumah dibuat tapi kurang kenyamanan. Mengejar kebahagiaan tapi miskin waktu. Jabatan tinggi tapi rendah kebijakan. Istri cantik tapi menyebalkan. Semakin manusia menempatkan raganya sebagai hal yang esensi maka sebetulnya dia lebih memilih sisi terendah derajatnya, hina dan zolim. Akan selalu menimbulkan paradox. Padahal esensis eksistensi manusia itu bukan raga tapi Ruh!. Buktinya Allah menempatkan manusia sebagai mahkluk yang "harus disembah oleh mahluk lainnya. Dia khalifah dimuka bumi.
Dari pemahaman ini maka siapakah kita? . Apakah kita lebih memanjakan raga kita , yang notabene adalah materi terendah derajatnya atau kita mengutamakan Ruh ( bashirah) kita dalam berbuat sebagai dimensi tertinggi derajatnya dibandingkan seluruh makhluk ciptaan Allah. Itulah yang membuat saya terharu ketika Mas Hend mengirim SMS untuk memberikan dukungan sikap saya dengan kalimat "BISMILLAHIRAHMANIIRAHIM, dia mengharapkan saya kembali kepada esensi saya diciptakan , dimana setiap perbuatan haruslah mendahulukan kehadiran Allah untuk berbuat karena cinta dan kasih sayang. Ungkapan hakikat cinta ini seperti email Mas Edi " mencintai anak dia akan meninggalkan kita dan akan mati. Mencintai istri yang ketika muda cantik segar, bila sudah tua sering sakit ,rewel , kadang menjengkelkan kemudian mati, mencintai gelar, S1, S2, S3 selanjutnya Professor, bila tua akan menjadi pikun. Mencintai pangkat letnan, kolonel, jendral , jendral bintang lima stroke sakit perut, dan satunya terjerat sarung jatuh dan mati. Mencintai diri muda cerdas mata awas, tenaga perkasa, ketika senja rambut memutih, mata kabur, suara melemah, tenaga loyo gampang mengantuk, diringgalkan teman-teman kemudian mati juga..." ternyata yang abadi adalah Allah dan tentulah setiap apapun kecintaan kita didunia ini karena didasarkan kecintaan kepada Allah.Karena itulah yang abadi.
Maha suci Allah. Dari dua orang sahabat ini saya dikembalikan setelah terjebak sesaat dengan raga saya.