Namanya Bill Gates. Sehari hari dipanggil ‘Gates”. Pada tahun 1975 Gates mendirikan Microsoft. Kerja keras penuh kreatifitas telah berhasil menjadikan perusahaannya bernilai 260 miliar dolar AS .Kini Mircosoft merupakan perusahaan computer raksasa dan menguasai system piranti lunak computer yang ada diseluruh pelosok planet bum ini. Gates telah berhasil meraih segala inpiannya. Dia sukses dan menjadi salah satu orang terkaya didunia. Pada usia 52 tahun , dia mengumumkan kepada khalayak tentang pengunduran dirinya sebagai CEO di Microsoft. Kini Bill Gates memutuskan untuk fokus di bidang kerja amal yang ditujukan memperbaiki perawatan kesehatan dan memberantas kemiskinan di dunia ketiga. Selanjutnya Bill Gates akan menjadi pimpinan Yayasan Bill and Melinda Gates.
Berkat bantuan orang terkaya di dunia Warren baffet ( Investment banker ), Yayasan Bill and Melinda Gates sekarang menjadi badan amal terbesar di dunia dengan aset hampir 40 miliar dolar AS. Kedua orang kaya itu telah berjanji untuk menyumbangkan seluruh kekayaannya ke yayasan itu sebelum mereka meninggal. Yang menarik adalah yayasan ini mengajak pula masyarakat berduit untuk ikut terlibat menyokong programnya tapi tidak meminta minta . Berkat dukungan Berkshire Hathaway Inc. (BRK ) salah satu fund manager raksasa dengan turnover market capital per tahun USD 120 Billion, Yayasan ini sebagai gateway untuk BHG e-Investment yang memberikan akses yield kepada orang kaya dan sekaligus beramal. Merupakan kombinasi kreatifitas dan inovasi gemilang dalam menciptakan resource untuk raise fund melalui emosi para orang kaya yang kikir. Nampaknya Gates and Warren sadar dan tahu betul bagaimana meneteskan uang dari pundi pundi tuan juragan kaya yang terkunci rapat di brankas bank untuk didistribusikan kepada mereka yang tidak mampu.
Ditengah puncak karirnya pada usia 52 tahun atau usia yang masih sangat produktif bagi ukuran orang Indonesia karena belum masuk usia pension. Maka Bill Gates menentukan sikap untuk memilh jalur pengabdian kemanusiaan. Ini merupakan langkah yang sangat ekstrim bagi ukuran manusia pada masa kini. Dimana orang berlomba lomba untuk mengejar kesenangan diri dan menumpuk harta. We shoul live and labor in our time that what came to us as seed may go to the next generation as blossom, and that what came to us as blossom may go to them as fruit. This is what we mean by progress. Demikian yang ditulis oleh Henry Ward Beecher dalam bukunya. Mungkin ini pula yang menggerakkan hati seorang Gates untuk keluar dari kehidupan yang menjanjikan kemewahan kepada kehidupan yang lebih banyak menuntut pengorbanan. Dia ingin membentuk masa depannya dengan lebih berarti. Setidaknya dengan kemampuan yang dimilikinya dia bisa memberikan semangat bagi Negara Negara miskin tentang pentingnya membangun masa depan dengan cara yang lebih baik.
Sikap Gates tersebut mengingatkan saya tentang seoranag sahabat yang dalam satu kesempatan pernah mengungkapkan kepada saya bahwa masa depan tidak mencuatkan paralelisme antara ruang, jarak, dan waktu. Tentu masa depan bukan reproduksi kehidupan kelampauan dan kemasamendatangan yang unpredictable. Bagaimanapun masa depan merupakan kausalitas perjalanan tentang substansi ''keberadaan'' (eksistensi) dan beraktualisasi tentang hidup itu sendiri. Pun rekonseptualisasi mengenai masa depan, tiadalah nilai kesejarahan hidup masa silam yang diterima. Sebagai masa depan, manusia dituntut -mengutip Dr Zhivagonya dalam novel Boris Pasternak- untuk membentuk kembali hidup. Itulah yang dilakukan oleh Gates yang meng “nol” kan dirinya untuk memulai sesuatu yang baru dalam dimensi baru.
Sikap Gates seakan menegaskan tentang semangat juang untuk berbuat lebih untuk orang lain , yang diyakininya sebagai wahana yang lebih bernilai dari apa yang sudah dicapainya. Memang bahwa manusia dilahirkan buat Hidup, bukan untuk bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya. mempertimbangkan masa depan adalah membentuk kembali hidup. Berdasarkan pertimbangan semacam itulah, permenungan masa depan dimulai agar tidak menghadapi kecemasan, dus merugi. Bukankah dalam rentang waktu, kehidupan manusia senantiasa merugi, ''Wal ashr. Innal insaana lafii khusrin.''
Bangsa Indonesia sebagai komunitas dunia , seharusnya memandang masa depan dengan mata hati dan bukannya mata gelap. Di tengah kepayahan yang menimpa bangsa ini diperlukan kearifan tersendiri untuk memandang masa depan. Setidaknya bagi mereka yang sudah terlalu kaya karena korupsi atau manipulasi tanpa tersentuh hokum untuk meng “nol” kan dirinya ; memulai sesuatu yang baru dan lebih bernilai. Agar masyarakat bangsa ini memandang masa depan bukan sebagai penantian waktu yang tak kunjung selesai. Kalau tidak , maka waktu yang makin absurd seperti diperlihatkan tokoh Estragon dan Vladimir dalam lakon Menunggu Godot (Waiting for Godot) Samuel Beckett. Atau, memang masa depan bangsa ini seperti lentingan Bob Dylan dalam lagu ballada Blowing in the Wind: How many times must a man turn his head/and pretend that he just doesn't see/How many ears must one have/before he can hear people cry/How many deaths will it take till he knows/that too many people have died.
Berkat bantuan orang terkaya di dunia Warren baffet ( Investment banker ), Yayasan Bill and Melinda Gates sekarang menjadi badan amal terbesar di dunia dengan aset hampir 40 miliar dolar AS. Kedua orang kaya itu telah berjanji untuk menyumbangkan seluruh kekayaannya ke yayasan itu sebelum mereka meninggal. Yang menarik adalah yayasan ini mengajak pula masyarakat berduit untuk ikut terlibat menyokong programnya tapi tidak meminta minta . Berkat dukungan Berkshire Hathaway Inc. (BRK ) salah satu fund manager raksasa dengan turnover market capital per tahun USD 120 Billion, Yayasan ini sebagai gateway untuk BHG e-Investment yang memberikan akses yield kepada orang kaya dan sekaligus beramal. Merupakan kombinasi kreatifitas dan inovasi gemilang dalam menciptakan resource untuk raise fund melalui emosi para orang kaya yang kikir. Nampaknya Gates and Warren sadar dan tahu betul bagaimana meneteskan uang dari pundi pundi tuan juragan kaya yang terkunci rapat di brankas bank untuk didistribusikan kepada mereka yang tidak mampu.
Ditengah puncak karirnya pada usia 52 tahun atau usia yang masih sangat produktif bagi ukuran orang Indonesia karena belum masuk usia pension. Maka Bill Gates menentukan sikap untuk memilh jalur pengabdian kemanusiaan. Ini merupakan langkah yang sangat ekstrim bagi ukuran manusia pada masa kini. Dimana orang berlomba lomba untuk mengejar kesenangan diri dan menumpuk harta. We shoul live and labor in our time that what came to us as seed may go to the next generation as blossom, and that what came to us as blossom may go to them as fruit. This is what we mean by progress. Demikian yang ditulis oleh Henry Ward Beecher dalam bukunya. Mungkin ini pula yang menggerakkan hati seorang Gates untuk keluar dari kehidupan yang menjanjikan kemewahan kepada kehidupan yang lebih banyak menuntut pengorbanan. Dia ingin membentuk masa depannya dengan lebih berarti. Setidaknya dengan kemampuan yang dimilikinya dia bisa memberikan semangat bagi Negara Negara miskin tentang pentingnya membangun masa depan dengan cara yang lebih baik.
Sikap Gates tersebut mengingatkan saya tentang seoranag sahabat yang dalam satu kesempatan pernah mengungkapkan kepada saya bahwa masa depan tidak mencuatkan paralelisme antara ruang, jarak, dan waktu. Tentu masa depan bukan reproduksi kehidupan kelampauan dan kemasamendatangan yang unpredictable. Bagaimanapun masa depan merupakan kausalitas perjalanan tentang substansi ''keberadaan'' (eksistensi) dan beraktualisasi tentang hidup itu sendiri. Pun rekonseptualisasi mengenai masa depan, tiadalah nilai kesejarahan hidup masa silam yang diterima. Sebagai masa depan, manusia dituntut -mengutip Dr Zhivagonya dalam novel Boris Pasternak- untuk membentuk kembali hidup. Itulah yang dilakukan oleh Gates yang meng “nol” kan dirinya untuk memulai sesuatu yang baru dalam dimensi baru.
Sikap Gates seakan menegaskan tentang semangat juang untuk berbuat lebih untuk orang lain , yang diyakininya sebagai wahana yang lebih bernilai dari apa yang sudah dicapainya. Memang bahwa manusia dilahirkan buat Hidup, bukan untuk bersiap-siap menghadapi hidup. Hidup senantiasa memperbarui, menciptakan kembali, mengubah, dan meningkatkan dirinya. mempertimbangkan masa depan adalah membentuk kembali hidup. Berdasarkan pertimbangan semacam itulah, permenungan masa depan dimulai agar tidak menghadapi kecemasan, dus merugi. Bukankah dalam rentang waktu, kehidupan manusia senantiasa merugi, ''Wal ashr. Innal insaana lafii khusrin.''
Bangsa Indonesia sebagai komunitas dunia , seharusnya memandang masa depan dengan mata hati dan bukannya mata gelap. Di tengah kepayahan yang menimpa bangsa ini diperlukan kearifan tersendiri untuk memandang masa depan. Setidaknya bagi mereka yang sudah terlalu kaya karena korupsi atau manipulasi tanpa tersentuh hokum untuk meng “nol” kan dirinya ; memulai sesuatu yang baru dan lebih bernilai. Agar masyarakat bangsa ini memandang masa depan bukan sebagai penantian waktu yang tak kunjung selesai. Kalau tidak , maka waktu yang makin absurd seperti diperlihatkan tokoh Estragon dan Vladimir dalam lakon Menunggu Godot (Waiting for Godot) Samuel Beckett. Atau, memang masa depan bangsa ini seperti lentingan Bob Dylan dalam lagu ballada Blowing in the Wind: How many times must a man turn his head/and pretend that he just doesn't see/How many ears must one have/before he can hear people cry/How many deaths will it take till he knows/that too many people have died.