Teman saya yang kebetulan adalah salah satu direksi diperusahaan raksasa disuatu Negara tetangga. Dia nampak bingung dan tidak habis piker dengan menyaksikan keadaan perusahaannya dari tahun ketahun terus menurun kinerjanya. Padahal perusahaan ini menguasai resource yang sangat besar. Juga pasar yang sangat besar dan bahkan hampir menguasai 70 % pasar domestic. Tapi mengapa sangat lemah sekali menghadapi kompetisi. “Apakah SDM yang tidak berkualitas ?” tanya saya. Dia jawab bahwa “ hampir semua lini meneger S2 bahkan ada yang S3. Soal SDM kita terbaik “ Terus saya coba bertanya lagi dengan teman ini “ apakah anda sudah melakukan management audit dan financial audited secara menyeluruh “ ? Dia jawab bahwa “ sudah dan hasilnya selalu ada solusi untuk perbaikan namun nyatanya perbaikan tidak pernah terjadi. “ Memang perusahaannya belum bangkrut tapi sedang menuju kebangkrutan total. Dia resah.
Secara pribadi dia meminta saya untuk membaca seluruh data keuangan perusahaan dan memberikan kesempatan saya untuk meninjau lingkungan perusahaannya. Saya bersama team saya tidak membutuhkan waktu berlama lama untuk mencari tahu tentang kondasi perusahaan ini dan juga tidak butuh waktu lama untuk memberikan terapi agar perusahaan dapat keluar dari krisis. Hasilnya saya sampaikan kepeada teman ini bahwa hampir dua pertiga resource perusahaan terpakai untuk kegiatan operasional yang tidak ada hubungannya dengan pengembangan perusahaan. Seperti research, Pengembangan technology produksi, pelatihan , perluasan sinergi investasi. Perusahaan dengan resource yang besar memang mampu meningkatkan penjualan namun biaya operasional semakin meningkat dan harga juga terus turun karena factor kompetisi.Akibatnya laba semakin terkuras. Lambat namun pasti pesaing semakin kuat dan penjualan menurun sementara harga tidak bisa dikoreksi karena sudah terlanjur jatuh. Perusahaanpun semakin terjebak dengan high cost, low selling price. Ini jebakan mematikan. Jalan keluarnya hanya satu , yaitu restructurisasi dan rasionalisasi. Nah inilah yang sulit karena para petinggi perusahaan sudah terlanjur senang dengan segala facilitas yang ada dan malas untuk mengambil resiko untuk tujuan restucturisasi dan rasionalisasi. Mereka terus asik dengan berbagai strategy tanpa melihat kenyataan dimana structure perusahaan sudah tidak sehat untuk bersaing dan eksis.
Apa yang dialami oleh teman saya ini , sebetulnya juga banyak dialami oleh perusahaan raksasa. Memang diluar mereka nampak hebat. Apalagi dengan fasilitas direksi dan managemern,yang berstandard international. Tapi mengapa berbagai perusahaan raksasa yang tadinya terdaftar dalam 500 fortune dan akhirnya rontok dimakan banyak skandal. Dan itu terjadi sangat cepat. Jawabnya sederhana bahwa mereka para penangggung jawab terjebak dengan permainan akuntasi dalam mengotak atik neraca keuangan perusahaan. Juga didukung oleh Financial analysis yang gemar memasukkan data data prediksi dengan segala asumsi asumsi yang dipaksakan agar hasilnya memuaskan pemegang saham dan akhirnya tetap memberikan kesempatan direksi untuk terus memburu impiannya. Ini disebut dengan penyakit fundamental , yang tidak mau melihat data fundamental. Asumsi dan rasio keuangan selalu dijadikan acuan untuk menilai kinerja perusahaan. Dari sinilah banyak celah terjadinya skandal dikala perusahaan diambang kehancuran.
Keadaan tersebut diatas tidak jauh berbeda dengan situasi negara kita sekarang. Walau begitu banyak analisa makro dibuat dan digambarkan dengan berbagai asumsi untuk rencana kedepan namun nyatanya negara tidak pernah keluar dari masalah. Rasio pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat tidak ada hubungannya. Semua itu hanya ada dalam catatan pejabat otoritas moneter. Padahal senyatanya fundamental negara kita memang sangat lemah. Coba bayangkan pada tahun 2007, APBN mncapai Rp. 763 triliun. Dari sejumlah ini 70% habis untuk biaya operasional yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia, research dan tekhnology , perluasan infrastructure., dll. Hanya 30% dari total APBN dipakai untuk tujuan pembangunan. Namun dari 30% ini daya serapnya hanya 70% atau 21 % dari total APBN. Artinya Seluruh pegawai negara baik itu xecutive, legislative, yudikatif menghabiskan anggara sebesar 70% dari APBN dengan kinerja hanya 21% dari total APBN. Ini artinya bila asumsi satu berbanding satu maka kemampuan organisasi negara adalah sebesar minus 300% dari hasil yang dicapai.
Kondisi diatas sangat tidak efisien. Jalan keluarnya hanyalah melalui restructurisasi dan rasionalisasi. Tapi banyak restucturisasi dan rasionalisasi mengalamai kegagalan karena tidak didukung oleh perbaikan system dan pengembangan budaya yang beroirientasi kepada hasil dan tanggung jawab. Restructure hutang adalah mutlak apapun resikonya. Walau akan diembrgo oleh luar negeri. Mengalokasinya untuk peningkatan sumber daya manusia dan perbaikan lingkungan. Reorientsi kebijakan investasi dari investor private kepada investor financial untuk memperkuat pasar uang / modal domestik sebagai financial resouce dalam negeri. Reorientasi kebijakan industri dalam negeri yang mendorong pertumbuhan industri pengolah hasil pertanian dan tambang. Reorientasi pasar dalam negeri dengan memberikan ruang dan akses seluas mungkin bagi UKM untuk eksis. Reorientasi kebijakan privatisasi BUMN melalui standard Public Service Obligation. Disisi hukum adalah memberikan kekuatan penuh kepada president untuk mengambil kebijaksanaan dengan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara sebagai ketetapan MPR, yang merupakan payung dari semua UU tentang kebijakan dibidang moneter, fiskal, budaya, sosial. Law enforcement secara systematis untk mengikis pratek korupsi disegala bidang. Reorganisasi birokrasi yang sesuai dengan demokratisasi pelayanan.
Disinilah dituntut keberanian dan tekad dari semua eksponen bangsa untuk menerima ini sebagai suatu kenyataan untuk kemudian melakukan restorasi secara menyeluruh. Walau terapi ini sangat menyakitkan dan penuh dengan penderitaan , tidak akan masalah kalau itu bertujuan untuk kehormatan dan harga diri sebagai negara berdaulat. Masalahnya adakah keberanian dari elite politik untuk melakukan ini ? Selagi tidak ada keberanian maka negeri ini tidak akan pernah bisa keluar dari masalah. Siapapun kelak yang jadi president.
Secara pribadi dia meminta saya untuk membaca seluruh data keuangan perusahaan dan memberikan kesempatan saya untuk meninjau lingkungan perusahaannya. Saya bersama team saya tidak membutuhkan waktu berlama lama untuk mencari tahu tentang kondasi perusahaan ini dan juga tidak butuh waktu lama untuk memberikan terapi agar perusahaan dapat keluar dari krisis. Hasilnya saya sampaikan kepeada teman ini bahwa hampir dua pertiga resource perusahaan terpakai untuk kegiatan operasional yang tidak ada hubungannya dengan pengembangan perusahaan. Seperti research, Pengembangan technology produksi, pelatihan , perluasan sinergi investasi. Perusahaan dengan resource yang besar memang mampu meningkatkan penjualan namun biaya operasional semakin meningkat dan harga juga terus turun karena factor kompetisi.Akibatnya laba semakin terkuras. Lambat namun pasti pesaing semakin kuat dan penjualan menurun sementara harga tidak bisa dikoreksi karena sudah terlanjur jatuh. Perusahaanpun semakin terjebak dengan high cost, low selling price. Ini jebakan mematikan. Jalan keluarnya hanya satu , yaitu restructurisasi dan rasionalisasi. Nah inilah yang sulit karena para petinggi perusahaan sudah terlanjur senang dengan segala facilitas yang ada dan malas untuk mengambil resiko untuk tujuan restucturisasi dan rasionalisasi. Mereka terus asik dengan berbagai strategy tanpa melihat kenyataan dimana structure perusahaan sudah tidak sehat untuk bersaing dan eksis.
Apa yang dialami oleh teman saya ini , sebetulnya juga banyak dialami oleh perusahaan raksasa. Memang diluar mereka nampak hebat. Apalagi dengan fasilitas direksi dan managemern,yang berstandard international. Tapi mengapa berbagai perusahaan raksasa yang tadinya terdaftar dalam 500 fortune dan akhirnya rontok dimakan banyak skandal. Dan itu terjadi sangat cepat. Jawabnya sederhana bahwa mereka para penangggung jawab terjebak dengan permainan akuntasi dalam mengotak atik neraca keuangan perusahaan. Juga didukung oleh Financial analysis yang gemar memasukkan data data prediksi dengan segala asumsi asumsi yang dipaksakan agar hasilnya memuaskan pemegang saham dan akhirnya tetap memberikan kesempatan direksi untuk terus memburu impiannya. Ini disebut dengan penyakit fundamental , yang tidak mau melihat data fundamental. Asumsi dan rasio keuangan selalu dijadikan acuan untuk menilai kinerja perusahaan. Dari sinilah banyak celah terjadinya skandal dikala perusahaan diambang kehancuran.
Keadaan tersebut diatas tidak jauh berbeda dengan situasi negara kita sekarang. Walau begitu banyak analisa makro dibuat dan digambarkan dengan berbagai asumsi untuk rencana kedepan namun nyatanya negara tidak pernah keluar dari masalah. Rasio pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat tidak ada hubungannya. Semua itu hanya ada dalam catatan pejabat otoritas moneter. Padahal senyatanya fundamental negara kita memang sangat lemah. Coba bayangkan pada tahun 2007, APBN mncapai Rp. 763 triliun. Dari sejumlah ini 70% habis untuk biaya operasional yang tidak ada kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia, research dan tekhnology , perluasan infrastructure., dll. Hanya 30% dari total APBN dipakai untuk tujuan pembangunan. Namun dari 30% ini daya serapnya hanya 70% atau 21 % dari total APBN. Artinya Seluruh pegawai negara baik itu xecutive, legislative, yudikatif menghabiskan anggara sebesar 70% dari APBN dengan kinerja hanya 21% dari total APBN. Ini artinya bila asumsi satu berbanding satu maka kemampuan organisasi negara adalah sebesar minus 300% dari hasil yang dicapai.
Kondisi diatas sangat tidak efisien. Jalan keluarnya hanyalah melalui restructurisasi dan rasionalisasi. Tapi banyak restucturisasi dan rasionalisasi mengalamai kegagalan karena tidak didukung oleh perbaikan system dan pengembangan budaya yang beroirientasi kepada hasil dan tanggung jawab. Restructure hutang adalah mutlak apapun resikonya. Walau akan diembrgo oleh luar negeri. Mengalokasinya untuk peningkatan sumber daya manusia dan perbaikan lingkungan. Reorientsi kebijakan investasi dari investor private kepada investor financial untuk memperkuat pasar uang / modal domestik sebagai financial resouce dalam negeri. Reorientasi kebijakan industri dalam negeri yang mendorong pertumbuhan industri pengolah hasil pertanian dan tambang. Reorientasi pasar dalam negeri dengan memberikan ruang dan akses seluas mungkin bagi UKM untuk eksis. Reorientasi kebijakan privatisasi BUMN melalui standard Public Service Obligation. Disisi hukum adalah memberikan kekuatan penuh kepada president untuk mengambil kebijaksanaan dengan menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara sebagai ketetapan MPR, yang merupakan payung dari semua UU tentang kebijakan dibidang moneter, fiskal, budaya, sosial. Law enforcement secara systematis untk mengikis pratek korupsi disegala bidang. Reorganisasi birokrasi yang sesuai dengan demokratisasi pelayanan.
Disinilah dituntut keberanian dan tekad dari semua eksponen bangsa untuk menerima ini sebagai suatu kenyataan untuk kemudian melakukan restorasi secara menyeluruh. Walau terapi ini sangat menyakitkan dan penuh dengan penderitaan , tidak akan masalah kalau itu bertujuan untuk kehormatan dan harga diri sebagai negara berdaulat. Masalahnya adakah keberanian dari elite politik untuk melakukan ini ? Selagi tidak ada keberanian maka negeri ini tidak akan pernah bisa keluar dari masalah. Siapapun kelak yang jadi president.