Walau begitu banyak cerita sumbang tentang derita pekerja Indonesia diluar negeri namun tidak mengurangi minat orang Indonesia untuk mengadu nasip di negeri orang. Alasannya hanya satu “ Mereka merasa dihargai sebagai manusia dan diperlakukan dengan sepantasnya atas semua jerih payahnya. “. Dengan ini dapat dimengerti bahwa hubungan antara kebutuhan hidup dan kualitas kerja selalu ada kaitan langsung. Hingga produktifitas bukan lagi menjadi harus dipaksakan ketika tingkat kesejahteraan sudah menjadi standard bagi pekerja. Di Indonsia , posisi pekerja ditempatkan sebagai pihak yang membutuhkan dan bukan yang dibutuhkan. Kususnya dibidang pemerintahan. Recruitment dilakukan didasarkan oleh kebijakan untuk meningkatkan dukungan politik bagi pemerintah. Atau dimasa sekarang recruitment dilakukan dalam koriidor Kesejahteraan rakyat. Artinya pemerintah memberikan sumbangan kesejahteraan kepada rakyat melalui penampungan angkatan kerja. Padahal seharusnya kebutuhan pekerja didasarkan oleh kebutuhan real operasional. Dimana factor kualitas SDM menjadi prasyarat utama.
Makanya tidak aneh jurnal Economic Development and Cultural Change, Theodore Smith dari Yayasan Ford menulis artikel "Stimulating Performance in the Indonesian Bureaucracy: Gaps in the Administrator’s Tool Kit". Dalam artikel itu disebutkan, di antara pegawai pemerintah sedunia, PN Indonesia termasuk yang paling murah dibayar. Gaji bulanan, menurut tulisannya, tak sanggup menutup biaya hidup lebih dari separuh bulan. Biaya hidup belum dijadikan pembanding dalam penetapan gaji PN. Kesan yang kuat mengemuka, gaji pegawai melulu disandarkan pada kalkulasi beban belanja dan dampak APBN. Kalau ia drastis dipompa, akan terjadi kompetisi belanja dengan sektor lain. Dilema lain yang juga mencuat ialah announcement effect, muncul pada inflasi, yang boleh jadi lebih besar daripada efek kenaikan permintaan riil atas barang dan jasa akibat kenaikan gaji. Sudah lazim, harga-harga merangkak lebih dulu, sementara kenaikan gaji baru diumumkan. Announcement effect juga perlu perhatian secara serius. Hal serupa terjadi saat ada permintaan tambahan akibat kenaikan gaji.
Mengapa setiap peningkatan gaji atau kejahteraan PN menimbulkan dilema terhadap kebijakan ekonomi makro. Karena masalahnya terletak pada tidak ada hubungan langsung antara kesejahteraan dan produktifitas. Akibatnya setiap sen yang diterima oleh PN adalah bersifat inflasi. Disektor swasta juga hampir sama. Kecuali disebagian perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Namun bila dibandingkan dengan kesejahteraan pekerja di Asia maka Indonesia masih menempati urutan terendah. Kebijakan pemerintah disektor riel sangat berperan besar menentukan prilaku dunia usaha terhadap pekerja nya. Disadari semua bahwa sebagian besar dunia usaha tumbuh dan berkembang berkat koneksi penguasaan pasar , pendanaan dari loby dengan penguasa. Hinga keberhasilan perusahaan diyakini bukan karena kemampuan SDM diperusahaan. Makanya sangatlah beralasan bila posisi pekerja sangat kecil perannya dihadapan pengusaha. Mereka hanyalah pelengkap status berdirinya perusahaan. Pengusaha tidak begitu peduli dengan produktifitas. Mereka hanya butuh kuantitas pekerja dilingkungan usahanya agar mempunyai posisi tawar menawar dihadapan pemerintah maupun bank untuk mendapatkan dukungan business dan pendanaan.
Ada satu temuan menarik hasil survei lewat internet yang dilakukan oleh Watson Wyatt (WW), sebuah lembaha konsultan sumber daya manusia (SDM) beberapa waktu lalu. Ini penelitian WW pertama kali yang berkaitan dengan komitmen, keselarasan kerja, dan pemberdayaan karyawan di Indonesia dan Asia. Selama ini penelitian WW lebih berfokus pada perusahaan. Penelitian yang disebut sebagai WorkIndonesia 2004/2005 itu diikuti oleh lebih dari 8.000 responden dari 46 perusahaan yang mewakili 14 bidang industri di Indonesia. Mereka menyumbang sembilan persen suara dari total sampel penelitian di asia. Materi pertanyaan yang diajukan antara lain menyangkut kompensasi, benefit, komunikasi, pelatihan, pengembangan karyawan, kepuasan kerja, lingkungan, dan inovasi. Semua itu dikelompokkan dalam tiga indeks, yakni komitmen, keselarasan kerja, dan pemberdayaan karyawan.
Hasilnya? Selain komitmen yang rendah, kompensasi dan keuntungan yang rendah juga menjadi persoalan di Indonesia. Karyawan Indonesia merasa kurang mendapat pengarahan dalam pengembangan karier mereka. Padahal masalah ini paling didambakan mereka. Penelitian itu mencatat hanya 23 persen responden yang puas dengan penyelia atau atasan mereka. Angka ini lebih rendah 18 persen di bawah rata-rata angka untuk Asia Pasifik. Angka ketidakpuasan karyawan di Indonesia itu terendah untuk kawasan Asia Pasifik. Hanya 23 persen karyawan yang menyatakan atasan mereka telah menjalankan kebijakan dan prosedur secara adil. Mereka yang diperlakukan secara hormat hanya 30 persen. Riset itu juga berhasil mengungkap bahwa 82 persen karyawan Indonesia memahami apa yang mereka kerjakan memberikan sumbangan bagi kinerja perusahaan. Hanya 19 persen karyawan Indonesia yang puas dengan kompensasi yang terima. Sebanyak 29 persen percaya mereka mendapat gaji yang adil dibanding orang lain dengan pekerjaan yang sama di perusahaan lain. Karyawan Indonesia paling tidak mau dipotong gajinya untuk membantu perusahaan yang sedang sulit. Hanya 15 persen yang bersedia dipotong gajinya.
Dengan situasi tersebut diatas maka sulitlah bagi para pekerja atau calon pencari kerja untuk mendapatkan tingkat kesejahteraan yang tulus dari pemberi kerja. Entah itu dari swasta maupun pemerintah. Selagi kebijakan disektor riel dan pengelolaan pemerintahan yang bersih tidak terbangun maka jangan diharapkan kesejahteraan pekerja dapat terpuaskan. Dan jangan berharap adanya loyalitas pekerja baik untuk PN maupun swasta. Korupsi dan penyelewangan procedur , pelanggran aturan kerja akan terus terjadi. Itu semua karena peran pekerja hanya ditempatkan sebagai alat pelengkap dan bukan sebagai modal.