Minggu lalu teman saya di New York telp bahwa dia mau datang ke jakarta untuk urusan business dengan relasinya. Saya tahu tiga tahun lalu dia bangkrut. Mungkin ini peluang bagi dia untuk bangkit lagi. Jarang jarang dia telp saya. Tapi saya tahu diri. “ Jhon, kirim passport kamu. Saya akan suruh orang saya untuk siapkan akomodasi untuk kamu” Kata saya.
“ Thanks so much, my friend.” Katanya senang.
Tadi sore saya ketemu dia di Hotel Grand Hyatt. Tentu setelah dia usai dengan kesibukannya. “ B, luar biasa. Jakarta sangat jauh beda di banding 18 tahun lalu. Tadi siang saya ketemu dengan relasi saya di hotel Fairmont Senayan. Teman saya sempat ajak saya makan siang di Plaza Senayan. Wah saya liat masyarakat Indonesia sudah naik kelas. Beda dengan kami di AS. Mereka percaya diri sekali dengan resto yang menurut kami ukuran AS tidak semua bisa menikamati itu. “ Katanya.
“ Dulu..” Katanya dengan nada prihatin. “ Kami pernah merasakan kemakmuran seperti Indonesia ini. Tapi itu sudah masa lalu, B. “ Katanya dengan raut sedih.
“ Bagaimana Indonesia bisa bangkit dari keterpuruk krisis 1998 dan terakhir tahun 2008? Tanyanya.
“ Kami rakyat tidak pernah tahu ada krisis. Yang krisis itu ya pemerintah.Toh ekonomi booming era Soeharto, rakyat tidak merasakan. Rakyat biasa saja. Kami tetap sibuk. Ada uang berbagi engga ada uang ya bersabar aja. Tetap bersukur saja”
“ Ya bagamana bisa melewati krisis itu. Padahal tahun 1998 rasio hutang terhadap PDB diatas 100% dan Devisa tidak cukup untuk belanja. Belum lagi kena bencana Alam tsunami di Aceh. “
“ Ya para elite itu disaat krisis mereka kompak. Saling mengalah dan memberikan peluang siapa yang mampu untuk memimpin. Dari situ kami bisa selesaikan krisis moneter dengan jenial. Masalah BLBI diselesaikan lewat MSAA. “
“ gimana dengan debitur BLBI dan KLBI”
“ Apa peduli kami. Mereka mampu bayar 20% ya itu aja diambil untuk ongkosi APBN yang tekor. Puji Tuhan, karena harga komoditas melambung dipasar dunia. Kami tertolong. Dari sana ekonomi bergerak.”
“ tapi kan engga cukup untuk pembangunan?
“ Ya utang lagi.”
“ Kok utang?
“ Selagi ada yang percaya, utang ditambah. “
“ Apa engga mikir soal masa depan?
“ Dari dulu kalian selalu berhitung dan berpikir soal masa depan. APakah kalian baik baik saja sekarang? engga kan. Nah kami engga hidup soal masa depan. Kami hidup soal hari ini. Ada asing yang mau beli SBN, ya kami jual. Engga ada asing yang mau beli ya rakyat yang beli SBN itu. Gitu aja”
“Sesederhana itu ya”
“ Ya memang sederhana. Sangking sederhananya. Jadi pemimpin negeri ini mudah. Orang buta aja bisa jadi presiden. Ibu rumah tangga bisa jadi presiden. Jenderal yang doyan nyanyi juga bisa. Bahkan tukang kayu juga bisa.”
“ Mengapa ?
“ Karena rakyat engga merasa perlu banget pemimpin. Mungkin juga rakyat tidak paham perlu negara. “
“ Tapi mengapa ekonomi bisa perkasa begini?
“ Itulah miracle of Indonesia. PNS gaji dibawah Rp. 10 juta bisa punya rumah mewah dan tabungan miliaran. APBN defisit, selalu bisa ditutupi dari utang. Selalu ada yang kasih pinjam. Itu hanya ada di Indonesia. Mereka jago capitalisasi jabatan dan retorika. Jago leverage kekuasaan untuk recovery ekonomi dan karena itu ekonomi bergairah oleh kekuatan konsumsi domestik. “
“ oh…Hebat ya..”
Saya senyum aja. Ketemu bule kere, memang bebas ngonong apa saja. Dasar pedagang sempak
***
“ Mengapa sampai begitu buruknya ekonomi AS. Sampai begitu banyak homeless di sana.” Tanya saya. Jhon terdiam. Mungkin dia sedang berusaha memilih kata yang tepat untuk menjawab fakta. Maklum dia lulusan Harvard. Sebelum bangkrut. Dia pernah jadi partner private equity di New York. Dia kini berhadapan dengan saya. Tahun 2010 dia pernah berkata kepada saya “ rakyat indonesia itu seperti monyet. Punya kemauan tapi dungu” Saat itu saya diam saja. Maklum dia memang diatas istana dengan setelan jas mahal. Saya hanyalah orang Indonesia yang terbuang di negeri orang. Sama seperti buruh migra di Luar negeri.
“ B, perumahan sangat besar stok nya di AS. Tetapi dari 10 rumah dibangun, 9 rumah dikuasai 1 orang. Mereka punya akses kepada pembiayaan investasi. Mereka menahan rumah untuk meningkatkan value aset mereka. Apalagi saat inflasi semakin menggila. Investasi di property itu semacam safe haven. Membuat harga rumah tidak lagi terjangkau bagi orang miskin. Bahkan untuk ukuran yang sederhana saja, rakyat tidak mampu mengaksesnya
Awalnya para elite politik kami selalu beralasan bahwa homeless itu karena penyakit mental. Kemiskinan struktural karena low educated, kecanduan obat obatan, budaya migran yang lemah bersaing. Itu homeless yang mereka maknai. Tetapi sejak crisis lehman, kelas miskin sudah tidak mampu lagi bayar cicilan rumah. Dan akhirnya, berlanjut merambah ke kelas menengah. Mereka juga tidak mampu bayar cicilan rumah. Tesis homeless karena low educated dan penyakit mental, terbantahkan. Fakta penyebabnya adalah sistem kapitalis yang sedari awal menyimpan masalah.
B, kamu tahu, setiap jengkal tanah kamu kuasai, ada hak orang lain yang kamu rampas. Akses kepemilikan itu memang brutal. Sistem memberikan pelonggaran kepada konglomerat wallstreet, tetapi juga memberikan peluang menyingkirkan banyak orang. Melewati batas hati nurani. Sementara pihak otoritas tidak punya banyak pilihan untuk mengatasi, Kalau dipaksa maka pilihannya adalah kapitalisme harus runtuh di jantung pusat peradaban dunia. Termasuk demokrasi juga akan runtuh sebagai derivat liberalisme pasar. Kami dibusukan oleh jargon utopia kebebasan pasar.
B, Pada tahun 2020, sekitar 1 dari 6 anak, hidup dalam keluarga dengan pendapatan di bawah garis kemiskinan resmi. Tahun 2020 tingkat kemiskinan mencapai 11.4%. Padahal tahun 2019 hanya 10.5%. Tahun ini melayang sudah tingkat kemiskinan. Engga bisa lagi bicara soal tingkat kemiskinan. Jutaan homeless. Pemandangan homeless ada disemua kota besar. Sejak krisis Lehman, kami kehilangna 1/3 PDB kami. Kami gagal dan sedihnya, sebagian besar kami tidak mengerti, dan mungkin tidak percaya bahwa ini semua terjadi pada negara kami yang dikenal sebagai super power” Kata Jhon dengan wajah miris.
Saya tidak hendak membahasnya. Rakyat Amerika sudah menentukan pilihan tentang sistem yang cocok untuk mereka. Sistem itu pernah membuat AS jaya dan sangat perkasa dan kini mereka jatuh. Hidup memang begitu. Tidak ada pilihan yang benar dan paling ideal. Semua adalah proses bagi setiap bangsa untuk belajar dari setiap krisis. Apakah mereka akan semakin kuat atau hancur. Itu juga pilihan.
Sebelum pulang saya beri Jhon uang USD 10,000. Dia berlinang airmata “ Pintu SIDC terbuka untuk kamu. Kerjalah di Shanghai. Engga usah sungkan. Kita sahabat. Nanti kalau keadaan ekonomi normal, kamu bisa pulang ke New York “ Kata saya. Dia rangkul saya. AS memang dilanda resesi. Tetapi tidak menghingkan fakta bahwa SDM mereka memang hebat. Jhon adalah sahabat saya dan juga sumber daya bagi bisnis saya.
No comments:
Post a Comment