Pendapat Lois berkaitan dengan CORONA, terkesan melecehkan profesi dokter. Kalau boleh saya kelompokan ada tiga. Pertama, dia menentang adanya Pandemi. Kedua, dia percaya adanya COVID-19. Ketiga, dia menentang otoritas dokter menerapkan SOP penanganan pasien COVID-19. Dari tiga hal itu yang membuat saya ragu dengan Lois adalah dia melecehkan otoritas dokter atau yang ketiga. Saya tidak segera menerima atau menolak pendapatnya. Saya lakukan desk riset terhadap semua pendapatnya itu. Google menuntun saya. Tidak sulit untuk mengetahui referensi pendapat Lois.
Ternyata 100% pendapat dia itu bukanlah pendapat pribadi dia, tetapi itu pendapat pegiat anti pandemi COVID, termasuk anti Vaksin. Mereka ini kalau saya perhatikan adalah pegiat yang ada dibalik teori konspirasi. Terkesan cocoklogi. Artinya , memang pendapatnya berdasarkan referensi sains dan fakta namun disimpulkan dengan salah atau semaunya saja. Akibatnya jadi menyesatkan. Saya bisa katakan itu, karena saya juga lakukan desk riset melalui jurnal ilmiah khusus tentang Pandemi dan COVID.
Makanya saya sarankan kepada dokter dan ahli virus untuk tampil debat di depan publik dengan Lois. Tujuannya untuk mendidik masyarakat agar tidak terjebak dengan HOAX. Karena pegiat anti COVID ini memanfaatkan sosial media dan internet untuk menebarkan informasi. Kegiatan mereka di sosial media selama Pandemi massive sekali. Telah meningkatkan traffit acitve pengguna sosmed dan memberikan peningkatan iklan bagi facebook sebesar 32% atau total revenue tahun lalu saja mencapai lebih dari Rp. 300 triliun.
Mau tahu pengaruh mereka? Terbukti hasil survey, sebagian besar orang terdidik justru tidak percaya vaksin. Jadi adalah tugas dokter kaum terpelajar untuk melawan perang hoax ini. Tentu dengan cara terpelajar. Artinya jangan serang pribadi mereka yang berbeda tetapi lawan dangan sains juga. Sampaikan dengan bahasa sederhana agar orang awan paham. Itu akan lebih efektif. Ingat, dalam pandemi ini virus yang jauh lebih berbahaya adalah virus HOAX yang ditebarkan lewat sosial media dan media massa.
Namun dokter dan para ahli juga harus jujur bahwa COVID-19 ini belum ada obatnya. Vaksin bukan obat tetapi hanya meningkatkan kemampuan response antibodi kita terhadap COVID-19. Dengan demikian kalau ada pendapat pengobatan alternatif berupa herbal dan tradisional jangan pula cepat sekali bilang itu hoax. Hanya obat pharmasi yang benar. Padahal obat Virus ( apapun itu) belum ada. Yang ada adalah obat untuk mengobati gejala yang timbul terhadap organ tubuh, itupun sifatnya trial and error.
Masyarakat juga harus dididik untuk paham arti RS. Tidak harus apapun gejala COVID harus ke RS. Anda harus percaya bahwa resiko fatal virus COVID itu hanya 3% saja. 97% aman. Tidak mematikan. Apalagi kalau sudah vaksin, praktis sudah sama saja itu seperti influenza. Jadi kalau positif ya tenang. Jangan panik. Anda perlu RS kalau ada komorbit. Apa itu? hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, dan penyakit paru obstruksi kronis. Kalau tidak ada komorbit. tidak perlu ke RS. Tahan saja dengan isolasi mandiri dan istirahat cukup dengan makan vitamin. Itu akan sembuh sendiri. Paling lama 14 hari selesai.
Juga harus diakui bahwa dengan adanya pandemi ini menguntungkan big pharma yang mengontrol produksi obat obatan dan harga, termasuk RS dengan sederet SOP yang berpihak kepada big Pharma. Jadi tradisi lokal yang mandiri mengobati sendiri penyakit lewat herbal dan lainya, itu juga harus dihormati oleh dokter dan sains. Karena selama ini baik baik saja. Dan lagi toh VIRUS belum ada obatnya. Jangan pula marah kalau anda menentang pengobatan alternatif lantas orang tuduh anda sebagai agent promosi produksi Big Pharma. Itu wajar saja. Jadi mari semua kita berusaha bijak di tengah pandemi ini. Tetap jaga prokes dan gembirakan hati selalu. Semoga semua baik baik saja.
No comments:
Post a Comment