Thursday, June 25, 2020

Resiko dan pilihan



Saya menikah usia 22 tahun. Waktu itu semua teman menasehati agar saya punya rencana yang matang sebelum menikah. Setidaknya harus selesai dulu kuliah. Harus punya kerjaan pasti. Kalau bisa punya rumah dulu. Karena resikonya sangat besar kalau tanpa persiapan. Apalagi hidup di kota besar. Sementara saya, kuliah belum selesai. Jangankan punya rumah, kerjaan aja engga pasti. Tetapi sekali  niat terucapkan, sekali layar terkembang, bahtera rumah tangga tetap melaju menuju samudera lepas. Istri saya juga tidak pernah mengkawatirkan resiko apapun walau dia tahu saya pria miskin. Padahal kalau dia mau memilih, banyak pria yang mau. Tetapi karena yang mau itu mungkin terlalu panjang rencananya, sementara saya langsung action. Dia lebih memilih yang serius saja walau resiko ada. 

Apakah setelah menikah, hal buruk yang dibayangkan oleh sebagian orang terjadi pada kami ? Tidak. Memang kami tidak punya penghasilan pasti tetapi kami tidak kelaparan. Memang saya tidak sarjana, tetapi saya tetap bisa cari uang walau tanpa titel. Memang saya tidak punya harta tetapi saya tidak harus mengemis untuk hidup. Tanpa disadari waktu berlalu, anak hadir melengkapi keluarga kecil kami. Dulu tidak pernah terbayangkan kami bisa punya rumah, namun setelah berumah tangga justru dapat beli rumah. Tidak pernah terbayangkan bisa punya kendaraan, setelah berumah tangga justru kami bisa beli kendaraan. Tak pernah bisa membayangkan bisa sekolahkan anak sampai perguruan tinggil, toh akhinya semua anak kami bisa selesai kuliahnya.  

Tahun 2003 saya membawa istri saya menunaikan rukun islam ke lima di tanah Makkah. “ Ingat engga waktu kita belum menikah, abang tanya apa impianku berumah tangga. Kemudian aku jawab, pergi ke mekkah bersama suamiku.”

“ Mengapa kamu tidak bercita cita punya harta ?tanya saya.

“ Harta itu soal pilihan. Banyak sedikit, itu hanya ukuran. Yang hanya sampai pada rasa. Kalau tak bersyukur berapapun harta tidak akan membuat kita bahagia. Tetapi melaksanakan rukun islam adalah kewajiban. Tentu Tuhan melengkapi pertolongan manakala Dia mewajibkan kepada kita. Kalau aku engga berdoa, kepada siapa lagi aku  berharap. Dan kini Tuhan kabulkan.” katanya tersenyum indah. Kini kami menua bersama.  Tinggal  berdua saja di rumah. Anak anak sudah punya kehidupan sendiri. Banyak kenangan suka duka yang telah kami lewati. Namun itu hanya tinggal cerita. Tapi intinya kebersamaan itu terjadi karena kami tidak saling merasa memiliki tapi saling berbagi. Pemilik sejati tetaplah Tuhan.

Apa hikmah dari perjalanan hidup kami itu? hidup memang penuh resiko. Kita bisa saja menghindari resiko agar aman dari kesulitan dan penderitaan. Sementara dengan menghadang resiko, mungkin saja kita menghadapi badai kesulitan, penderitaan, kegagalan namun dengan itu kita bisa berproses melewati hidup, dan tahu arti mencintai dan bersyukur. Rencana hebat tanpa tindakan,  tidak akan menjadikan kita apa apa. Tetapi dengan tindakan kita punya hope.

No comments:

Pria minang...

  Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. ...