Delapan tahun lalu saya mampir di toko buku yang ada di Bandara Hong Kong. Saya terkejut karena ada terjemahan buku dalam bahasa inggeris yang di tulis oleh Wang Tai Yu, judulnya " Chinese Gleams of Sufi Light". Wang adalah ulama dan juga intelektual islam di China abad 17. Saya langsung beli. Mengapa? Karena menurut cerita teman di China yang sudah baca, buku ini bisa membuka tabir bagaimana sebetulnya orang china memandang Islam. Sebelum abad 17, para ulama besar China menulis buku berisi tentang bagaimana memahami ajaran Islam, bukan bagaimana Islam bisa melahirkan semangat kemandirian ditengah masyarakat. Bagaimana mentranformasi dari masyarakat yang nrimo, apatis , pesimis, korup menjadi masyarakat yang progressive, passion, berikhsan. Komunitas Islam di CHina tumbuh seperti itu dan Wang menangkap bahaya untuk eksitensi Islam. Karena itulah dia terpanggil menulis.
Buku tersebut mengubah prakonsepsi - prakonsepsi tentang peran Islam di China. Seorang perwira Militer China, ketika saya tanya mengenai buku Wang, dia mengatakan bahwa apa yang ditulis oleh Wang tentang islam, menyimpulkan bahwa islam adalah ajaran yang luar biasa. Dan kami mengakui itu. Kehebatan Wang dalam menyapaikan ajaran islam itu, dia tidak sama sekali menghilangkan ajaran konfusian, namun dia menyebut dengan Neo Konfusian. Cara dia menyampaikan ajaran itu tidak menggunakan bahasa arab tapi menggunakan padanan bahasa yang ada pada konfusiasisme, taoisme dan budhisme. Tradisi China yang memang tidak melanggar Tauhid ya tidak dihapus atau tidak dikatakan bidaah. Dan kalaupun dinilai melanggar Tauhid maka di luruskan dengan modifikasi yang tetap tidak menghilangkan tradisi China. Seperti cara Walisongo menyiarkan islam di tanah jawa. Tradisi jawa tidak di hilangkan namun di perbaiki sesuai dengan prinsip tauhid.
Walau Partai komunis selama revolusi kebudayaan melarang umat islam melaksanakan ritual agama secara bebas namun hakikat islam tetap hidup di dalam jiwa orang china. Mengapa ? Karena Agama dan budaya melekat dalam diri mereka. Sehingga tidak sulit menyebar kepada non islam. Mungkin sebagian besar orang China tidak mengucapkan dua kalimasahadat. Tapi mereka paham konsep Tuhan dalam Islam dan mengakui bahwa Nabi Muhammad itu utusan Allah dan tiada tuhan selain Allah. Tentu mereka tidak menyebut seperti bahasa Arab, yaitu Allah tapi dalam bahasa China seperti Chen Chu atau Tuhan sejati atau Chen-I atau Esa sejati, atau Chen Tsai atau Penguasa sejati .Ya sama seperti orang jawa menyebut Allah, gusti pangeran, dan lain sebagainya. Sementara sebutan rasul adalah Sheng -Hsien atau orang orang arif dan berguna. Sama seperti orang jawa menyebut Rasul, Kanjeng Nabi.
Sementara ajaran islam itu mereka sebut Ch'ing- Chen Chiao atau kalau diterjemahkan ajaran yang suci dan sejati. Mereka tidak membaca AL Quran tapi buku yang ditulis ulama China mereka baca dan pahami. Mereka tidak perlu pertanyakan apakah tafsir itu benar atau salah. Selagi tidak bertentangan dengan budaya atau tradisi mereka ya itu dianggap sudah benar. Bagi mereka, Agama selain bagai elang yang terbang dengan idealisme spiritual yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan pribadi, tetapi juga membumi bagai induk ayam yang terlibat secara etis pragmatis dalam keseharian. Paham neo konfusian itu sebagai lampu rakyat China bagaimana mereka membangun peradaban.
Melihat islam di China jangan hanya liat suku Urghu yang pakai baju gamis dan berjenggot tapi anda harus melihat tradisi China lainnya yang memang Islami. Karena bersumber dari islam itu sendiri. Mereka pekerja keras, patuh kepada orang tua, setia kawan, patuh pada negara, berpikir positip, menghindari konplik, dan suka memberi dan jujur , rendah hati dan lain sebagainya. Mereka cerdas menyikapi fenomena zaman. Mereka menerima komunisme tapi tidak menjalankan cara berpikir Karl Mark. Komunisme hanya di pakai sebagai metodelogi mengelola masyarakat. Mereka gunakan sosialisme untuk melindungi rakyat yang lemah dan menjadikan kapitalisme untuk lahirnya kemampuan bersaing bagi mereka yang kuat. Dan negara ada di tengah tengah sebagai hakim untuk keadilan sosial. Lantas apa sebetulnya kunci dari ajaran neo Konfusian itu? ya Akhlak.!
Dalam konteks transedental sebetulnya hakikat manusia itu bukan raga tapi Ruh. Artinya agama itu dimaknai dari sisi kejiwaan, bukan materi sebagai ukuran. Gordon W. Allport sang akhli psikologi punya pendapat, bahwa agama dipandang sebagai 'comprehensive commitment' dan 'driving integrating motive', yang mengatur seluruh hidup seseorang secara kejiwaan. Artinya, Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifying factor), menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat. Tapi kalau memandang agama sebagai something to use but not to live, sebaliknya outputnya adalah kebencian, iri hati, dan fitnah, munafik, anti perbedaan. Mengapa? Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama. Ia puasa, Sholat, naik haji dsb, tetapi tidak di dalamnya. Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa beragama seperti ini adalah beragama yang ghurur (tertipu). Tertipu, karena dikira sudah beragama, ternyata belum. Tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang.
Lantas apa agama itu sendiri? Seorang lelaki menemui Rasulullah Saw dan bertanya,
” Ya Rasulullah, apakah agama itu?”
“Akhlak yang baik.”
Kemudian ia mendatangi Nabi Saw dari sebelah kanannya dan bertanya,
“Ya Rasulullah, apakah agama itu?”
“Akhlak yang baik.”
Kemudian ia mendatangi Nabi Saw dari sebelah kirinya,
“Apa agama itu?”
“Akhlak yang baik.”
Kemudian ia mendatangi Nabi Saw dari belakang dan bertanya,
”Apa agama itu?”
Rasulullah menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? (Agama itu akhlak yang baik). Sebagai misal, janganlah engkau marah.”(Al-Targhib wa Al-Tarhib 3: 405).
No comments:
Post a Comment