Saturday, November 16, 2019

konsepsi beragama.

Dari kecil saya sudah belajar mengaji dari guru ngaji. Di rumah saya belajar ilmu hikmah dari Ibu saya. Saya bersyukur karena ibu saya lulusan pondok pesantren moderat ( Diniyah Putri). Jadi dia paham bagaimana menjelaskan makna tersurat dan tersirat dari setiap Firman Allah yang ada dalam Al Quran. Cara ibu saya menyampaikannya selalu dengan cerita yang menggiring logika saya terpancing untuk berpikir. Buku bacaan saya yang terdapat di rak buku, sebagian besar buku Agama. Sampai sekarang kalau saya bertemu ibu saya, selalu saya gunakan kesempatan membahas buku yang telah saya baca.

Kitab Suci itu dipercaya merupakan firman Tuhan. Kalau kita pelajari dengan seksama. Kita akan kagum akan kehebatan Tuhan mendidik kita untuk berakhlak yang baik. Coba perhatikan. Kebaikan dan keburukan itu disampaikan dalam bentuk kisah kaum sebelum kita. Ada kisah para nabi dan rasul, ada pula kisah tentang para pendurhaka, seperti Qarun, Firaun, serta umat atau kaum lainnya. Dari keseluruhan surah Alquran, maka ada 35 surah yang memuat kisah sejarah, jumlah ayatnya lebih kurang 1600 ayat dari keseluruhan ayat Alquran yang berjumlah 6342 ayat. Atau 1/3 isi Al Quran adalah kisah masa lalu. Cara Al Quran mendidik memang mudah dan tidak rumit. Siapa yang engga paham cerita. ? Semua mudah paham dipahami. Tetapi mengapa berbeda persepsi  tentang agama?

***

Persepsi beragama
Revolusi kebudayaan di China itu sebenarnya revolusi perubahan mental orang China. Maklum budaya China itu semua dipengaruhi oleh agama. Sikap mental mereka dipengaruhi oleh patron mereka. Akibatnya hilang daya kritis dan hilang akal sehat. Mereka mudah dimanfaatkan untuk tujuan politik. Yang lebih miris adalah mereka yang memanfaatkan ini adalah kaum feodal. Kaum terpelajar yang ingin hidup senang diatas kebodohan orang awam. Ya penjajahan secara intelektual melalui transendental. Mao sebagai bapak China, punya mimpi lompatan china jauh kedepan. Dan itu hanya bisa terealisir apabila ada perubahan budaya. Revolusi kebudayaan adalah jawabannya.

Sebetulnya jauh sebelumnya, Wang Tai Yu ulama ulama besar dan juga intelektual islam di China abad 17, telah melakukan hal yang sama. Dia tidak melalui revolusi yang bau amis darah tetapi melalui cinta. Sebelum abad 17, para ulama besar China menulis buku berisi tentang “bagaimana memahami syariat Islam”. Komunitas Islam di CHina tumbuh seperti itu. Wang menangkap bahaya untuk eksitensi Islam bagi tujuan kemajuan peradaban. Karena itulah dia terpanggil menulis.

Tulisan Wang tersebut mengubah prakonsepsi - prakonsepsi tentang Islam. Kehebatan Wang dalam menyapaikan ajaran islam itu, dia tidak sama sekali menghilangkan ajaran konfusian, namun dia menyebut dengan Neo Konfusian. Cara dia menyampaikan ajaran itu tidak menggunakan bahasa arab tapi menggunakan padanan bahasa yang ada pada konfusiasisme, taoisme dan budhisme. Tradisi China yang memang tidak melanggar Tauhid ya tidak dihapus atau tidak dikatakan bidaah. Dan kalaupun dinilai melanggar Tauhid maka diluruskan dengan modifikasi yang tetap tidak menghilangkan tradisi China.

Wang memperkenalkan, bagaimana Islam bisa melahirkan semangat kemandirian di tengah masyarakat. Bagaimana mentranformasi dari masyarakat yang nrimo, apatis , pesimis, korup menjadi masyarakat yang progressive, passion, berikhsan. Namun pemikiran Wang ini tidak seutuhnya diterima. Karena kaum feodal yang sudah nyaman dengan budaya menjajah menolak. Kemudian revolusi kebudayaan datang. Orang china khususnya rakyat jelata tidak marah ketika Partai komunis membuat begitu banyak restriksi dalam tradisi beragama. Karena itu sejalan dengan pemikiran Wang Tai Yu. Beragama dengan hakikat bukan syariat.

Dalam konteks transedental sebetulnya hakikat manusia itu bukan raga tapi Ruh. Artinya agama itu dimaknai dari sisi kejiwaan, bukan materi sebagai ukuran. Gordon W. Allport sang akhli psikologi punya pendapat, bahwa agama dipandang sebagai 'comprehensive commitment' dan 'driving integrating motive', yang mengatur seluruh hidup seseorang secara kejiwaan. Artinya, Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifying factor), menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat.

Tapi kalau memandang agama sebagai something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama. Ia puasa ,Sholat, naik haji dsb, tetapi tidak di dalamnya. Imam Al-Ghazali, menyatakan bahwa beragama seperti ini adalah beragama yang ghurur (tertipu). Tertipu, karena dikira sudah beragama, ternyata belum. Tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang. Sebaliknya, kebencian, iri hati, dan fitnah, masih tetap akan berlangsung.

Dalam bukunya Wang menyebut Allah itu, Ch'ing- Chen Chiao atau yang suci dan sejati. Mereka tidak membaca AL Quran tapi buku yang ditulis ulama China mereka baca dan pahami. Mereka tidak perlu pertanyakan apakah tafsir itu benar atau salah. Selagi tidak bertentangan dengan nilai nilai kemanusiaan, itu dianggap sudah benar. Ya, Agama selain bagai elang yang terbang dengan idealisme spiritual yang tinggi untuk mencapai kesempurnaan pribadi, tetapi juga membumi bagai induk ayam yang terlibat secara etis pragmatis dalam keseharian. Paham neo konfusian itu sebagai lampu rakyat China bagaimana mereka membangun peradaban. Mereka hebat dan mudah dipersatukan karena cinta.

***

Kalau orang beragama karena rasa takut, tetapi saya beragama karena cinta. Katanya persepsi saya ini bertumpu kepada konsep tasauf. Misal, konsep tentang Sorga dan Neraka dalam dimensi ruang dan waktu, adalah konsep yang tidak pernah saya maknai seperti fantasi awam. Mengapa? konsep sorga dan neraka itu konsep paling terbelakang dalam beragama. Secara metodik, konsep sorga neraka ini lebih banyak mudharat daripada manfaatnya. Sangat mudah membuat orang terjangkit wabah ‘neurosis’; hidup dalam fatamorgana, ingin mati sahid agar dapat sorga dengan cara mudah. Lemah etos kerja, lemah berkompetisi. Dampak lebih buruk adalah kehilangan kemuliaan dia sebagai manusia, mahluk berakal, yang punya kebebasan berpikir dan hati.

Jadi bagaimana seharusnya konsep sorga neraka nitu? Konsep sorga neraka itu bukanlah “tempat”. Tetapi itu dipahami sebagai “kondisi”, dan itu bukan hanya di akhirat tetapi juga di dunia. Apa itu? Sorga itu di mana kondisi kita sangat dekat dengan Tuhan. Kondisi yang selalu prasangka baik dan berpikir dan berbuat hal yang positip. Karenanya, hidup kita jadi nyaman dan aman. Apapun nasip kita. Sedangkan neraka itu dimana kondisi kita sangat jauh dengan Tuhan. Selalu berprasangka buruk. Berpikir dan bersikap serta berbuat hal yang negatif. Ya, semua hal dibuat negatif. Memang faktanya secara kejiwaan, apapun entah kaya atau miskin, terpelajar atau bodoh, tetap tidak nyaman apabila jauh dari Tuhan.

Nah, bila di dunia sudah menemukan sorga, hidup bahagia lahir batin, penuh ikhlas maka dalam kehidupan dimensi akhirat akan sama saja. Soal “tempat” engga penting lagi. Begitupula bila di dunia merasakan neraka, maka di akhirat tidak akan jauh beda. Karena perpindahan dari dunia ke akhirat hanyalah perubahan dimensi ruang waktu. Sementara Tuhan, Sang Pencipta kan tidak berubah. Tuhan tetap dan abadi dalam ujudnya yang tak terdefinisikan. Cara terbaik dan mudah melatih menciptakan sorga, ya di rumah tangga. Menikahlah. Kalau bahagia, maka separuh sorga sudah ditangan kita. Selebihnya bagaimana kita bisa berguna bagi orang banyak.

Tapi apakah pengetahuan agama yang saya pelajari sejak ABG membuat saya puas dan merasa hebat? Tidak. Saya masih terus belajar. Tapi apakah saya meragukan semua firman Tuhan itu? Tidak. Al Gazhali adalah manusia religius yang autentik. Dia percaya pada wahyu, dia menghormati Nabi dan Kitab, dia setia kepada syariah, tetapi tidak merasakan kehadiran Allah secara jelas. Gazhali tiba tiba mengalami krisis ruhani, dan pergi kepengasingan. Dari sinilah terjadi transformasi kejiwaan, dari mendekati Allah karena dorongan rasa takut berubah menjadi Cinta.

Gazhali menyatakan bahwa para ulama itu benar, tetapi para Sufi lebih benar lagi :Hukum adalah Hukum dan Anda harus mengikutinya, tetapi Anda tidak bisa mencapai Allah dengan mempelajari Al Quran dan ritual semata. Anda perlu membuka hati, dan hanya para sufi yang tahu cara membuka hati untuk menebalkan nilai nilai kemanusiaan, dalam cinta dan kasih sayang. Karena itulah Gazhali menulis buku yang berjudul ‘Kimia Kebahagiaan “( Kimiyaat AL –Saadat) dan “ Kebangkitan Ilmu Agama ( Ihya Ulumiddin). Dalam dua buku ini , dia menempa perpaduan antara teologi ortodoks dengan terekat, metode sufi untuk menyatu dengan Allah. Gazhali menciptakan sebuah tempat bagi mistissme dalam kerangka islam ortodoks dan dengan demikian membuat tasauf menjadi terhomat. Begitulah agama yang saya pahami sampai kini.

No comments:

Pria minang...

  Orang tua saya mengingatkan saya, “ Kalau hanya sekedar makan untuk mu dan keluargamu, monyet di hutan juga begitu.” Kata orang tua saya. ...