Tadi pagi saya ke singapore untuk lunch meeting dengan banker. Saya didampingi oleh direktur saya dari KL. Setelah makan siang, saya langsung ke Changi Airport karena ada janji meeting jam 7 malam dengan relasi di Jakarta. Dalam perjalanan direksi saya berkata “ saya rindu Jakarta. Semua serba murah. Tidak seperti di KL. “ Saya hanya tersenyum. Kita bisa nongkrong di cafe hotel bintang Lima dan menikamati semua fasilitas berbintang namun billnya hanya 30% dari Bill di Singapore untuk fasilitas yang sama. Atau hanya 20% bill di Hong Kong. Jakarta sorga kapitalis. Tetapi ada yang lebih sorga terlupakan. Itu adalah semarang. Semua serba murah bahkan mungkin termurah diseluruh dunia. Upah pekerja hanya USD 100 per bulan. Orang bisa hidup sebulan untuk biaya sehari di LA atau di Hong Kong. Lanjutnya, Saya hanya tersenyum.
Mr. B, bisa jelaskan fenomena apa ini semua ? katanya. Mereka yang bisa menikmati fasilitas bintang lima itu di Indonesia hanyalah 54.000 orang saja. Kata saya. Menurut data dari Capgemini laporan kekayaan dunia 54 ribu orang indonesia memiliki kakayaan sebesar USD 184 billion atau sama dengan Rp. 2.760 Triliun atau 20% dari GNP Indonesia. Itu harta pribadi. Itu setara dengan1,5 kali lipat dari devisa negara Indonesia. Atau lebih besar dari devisa Singapore bahkan lebih besar dari Malaysia. Kata saya dengan tersenyum. Wow. Hanya 54.000 orang yang menguasai 1/5 sumber daya keuangan di Indonesia dengan populasi 280 juta orang. Suatu perbandingan yang teramat kecil. Ketimpangan yang nyata. Itu terjadi tidak mendadak. Tetapi berproses berpuluh tahun sebelumnya sejak era Soeharto.
Apa yang terjadi pada Indonesia , juga terjadi kini pada China dengan sistem komunis. Setengah abad yang lalu itu para pengikut Mao yang militan bahkan siap membunuh seekor babi yang dimiliki tetangga dengan granat; babi itu tanda kelas ”borjuis”. Pada awal abad ke-21 sekarang orang berduit di china membayar dengan harga mahal anjing jenis Mastiff Tibet. Itu korban dari kapitalisme. Dan china berjuang mengurangi ketimpangan itu. Kini angkanya sekitar 46,5. Tetapi dibandingkan dengan itu, Indonesia sedikit lebih baik: 39,7. Tak meratanya pembagian kekayaan di Cina bahkan kurang-lebih sama dengan keadaan di negeri kapitalis yang paling timpang, yakni Amerika Serikat, dan jauh lebih buruk ketimbang Inggris, yang mencatat koefisien Gini 36.
Mengapa upaya mengatasi ketimpangan itu tidak pernah berhasil secara significant ? seorang sahabat dari China mengatakan bahwa penyebabnya karena penguasa jarang mendatangi rakyat. Jarang sekali makan apa yang biasa dimakan oleh rakyat miskin. Saya pernah diajak makan malam oleh jenderal China di Changsa. Katanya menu itu menu kesukaan Mao. Tetapi ketika saya rasakan , perut saya mual. Apa pasal ? karena tahu dan kuahnya aromanya seperti air comberan. Sang jenderal tertawa melihat mimik wajah saya. “ Itulah makanan orang kabanyakan di China. Itu tahu diasamkan agar bisa tahan selama musim dingin sebagai menu bubur nasi encer, dan disayat kecil daging bebek. Dengan membiasakan makan menu orang miskin, akan mempertebal empati penguasa dan pejabat kepada rakyat, sehingga mereka akan keras terhadap dirinya untuk bekerja keras dan amanah untuk rakyat. Itu nasehat Mao.” katanya.
Jokowi adalah satu satunya presiden yang paling banyak mengunjungi rakyat dari pusat kota sampai daerah pinggiran , pular terluar yang berpuluh tahun di punggungi oleh derap pembangunan. Dari sana Jokowi merasakan betapa dahsyatnya ketidak adilan itu. Betapa buruknya ketimpangan itu. Dari sinilah ghirah empati itu menjelma menjadi political will yang dahsyat untuk lahirnya kebijakan berspektrum nasional dan berkeadilan bagi si miskin. Karenanya prioritas pembangunan indonesia centris adalah dengan menyisir daerah tertinggal, di ujung pulau terluar, diatas puncak gunung , dilembah. Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik, per Maret 2016 Indek Gini Ratio di Indonesia berada di angka 0,397. Mengalami penurunan dan pada 2019, pemerintah menargetkan nisbah Gini turun hingga 0,36.
Berjuang untuk tegaknya keadilan bagi simiskin memang tidak mudah, dan ini perjuangan sepanjang usia bagi siapa saja yang berharta. Hanya perubahan mental yang bisa mengurangi rasio GINI. Setidaknya kalau tidak bisa membantu, kurangilah selera, hiduplah sederhana dan perbanyaklah berbagi. Dengan begitu kini dan besok, kita akan baik baik saja. Hidup sederhana..hmmm..hanya untuk lunch meeting saja hari ini kita habiskan dana USD 1000. Itu tidak termasuk ticket pesawat. Kata direksi saya. Dan itu sama dengan biaya hidup 1 bulan orang di KL atau dua bulan di Indonesia. Sambungnya. Saya tersenyum miris.
No comments:
Post a Comment