Friday, October 01, 2010

Ibu

Dalam perjalanan diluar negeri, saya pernah melihat seorang ibu sedang memungut makanan dari tong sampah. Saya pikir si ibu itu akan menelan makannya tapi ternyata saya salah. Makanan itu dari mulutnya langsung disuapkan kedalam mulut anak balitanya. Suapan dari mulut kemulut ini berlangsung ditengah hilir mudik orang ramai yang melirik peristiwa itu. Saya sempat terkejut. Karena saya sadar bahwa si Ibu menggunakan mulutnya untuk membersihkan makanan itu dari kotoran dan setelah bersih dia tidak menelannya tapi dia justru memberikannya kepada anak balitanya. Inilah pengorbanan yang fantastic. Sulit diterjemahkan dengan akal sehat. Tapi kehidupan ini memang ada karena berkat pengorbanan orang yang tak banyak dicatat oleh sejarah.

Dulu ketika saya tamat SLP dan diterima di SMU. Karena tidak ada uang untuk membeli seragam sekolah, ibu saya , dari sore sampai keesokan paginya tanpa istirahat , dalam keadaan sakit batuk menjahit celana panjang untuk saya dan celana itu bahannya dari celana yang dimiliki oleh ayah saya. Itu dia lakukan agar keesokan paginya saya bisa sekolah dengan seragam baru. Ketika saya berangkat sekolah, yang saya lihat tak ada nampak sedikitpun kelelahan dari ibu kecuali rasa bahagianya karena melihat saya tersenyum untuk pertama kalinya menggunakan celana panjang kesekolah. Ayah sayapun tersenyum walau celana terbaiknya harus dikorbankan untuk seragam sekolah saya. Mereka sendiri tidak tahu apakah selanjutnya saya bisa terus sekolah. Tapi kekuatan cintanya pada hari itu adalah titik awal yang membuat saya dewasa.

Apa yang dialami oleh ibu, juga berlaku bagi kita sebagai bentuk apa yang disebut dengan detachment - buah dari iman dan kedahsyatan. Ketika dia berkorban , “Aku “ bukan lagi subject yang bertindak. Tak ada rasa sakit, sedih , cinta, harapan, ketakutan, tak ada aku. Semuanya adalah titah-Mu. Sejenis pengorbanan diri yang sublime. Berkorban adalah peniadaan ganda. Meniadakan aku dan meniadakan apa yang bagian dari diriku. Apa yang luar biasa dari kisah pengorban itu ? Apa yang luar biasa adalah bahwa kita jarang mengingat bahwa secara DNA anak itu bukanlah milik Ibu. Dia milik sang Ayah. Tapi dia berbuat dengan pengorbanan untuk sesuatu yang bukan miliknya.. Keikhlasan karena titah illahi dan di design untuk itu. Memang sebuah pengorban yang sublime

Bagaimana si Ibu bisa begitu tegar dan ikhlas berkorban untuk anaknya ? Padalah kebanyak ibu tidak pernah sekolah ke pribadian bahkan tidak paham ilmu spikologi anak. Ya inilah kekuasaan Allah. Ketika Allah menciptakan wanita, maka Allahpun menyiapkan software “ pengorbanan “ itu Jadi antara hardware dan software sudah di build up oleh Allah Selanjutnya dalam perkembangan ketika dia berkeluarga, Allahpun mendidiknya secara langsung bagaimana bersikap dan berkorban itu. Walau kadang anak terlahir dari Ayah yang bejat namun tidak ada dendam ibu kepada anak yang notabene secara genetik adalah milik ayah. Anakpun dididiknya untuk tidak ikut membenci ayahnya. Luar bisa. ! Ikhlas, tawadhu tanpa dendam.

Karena Allah mendesign wanita untuk berkorban maka Allahpun menegaskan bahwa “ jangan menyembah selain aku dan berbuat baiklah kepada kedua orang tuamu ((QS. Al Isra’:23). Kewajiban menyembah kepada Allah bersanding dengan kewajiban berbuat baik kepada kedua orang tua. Inilah keadilan Allah. Karena ketika Ibu berbuat berkorban sebetulnya itulah repliksi cinta Allah yang hadir dalam kehidupan kita. Mencintai dan menghormati ibu adalah repliksi kecintaan kepada Allah itu sendiri. Bila cinta ibu tak bertepi maka begitulah cinta Allah yang juga tidak bertepi kepada makhluk yang bernama Manusia. Rasa syukur kepada Allah haruslah terujudkan dengan senantiasa menghormati dan berkorban kepada kedua orang tua kita , khususnya ibu ( QS-Luqman 14 ).

Saya baru berangkat ketanah suci setelah memberangkatkan terlebih dulu ibu saya pergi menunaikan ibadah haji. Atau seperti teman yang saya temui di Mekkah, suami istri begitu memuliakan ibunya dengan menjaga dan melayani kebutuhan ibunya ditengah kesibukan beribadah. Itu salah satu cara meng hilangkan “aku”, ketika berbuat baik kepada ibu dan tentu masih banyak lagi contoh yang kesemuanya bermuara karena rasa syukur kepada Allah dan tentu juga berterimakasih kepada kedua orang tua.

No comments:

Persepsi sesat

  Persepsi itu penilaian atas dasar realita. Realita itu apa yang kita lihat, baca dan dengar. Realita bukan fakta.  Nah di era sosial media...