Saya membaca kisah ( Kompas.com 22/03/13) tentang Said
(12), siswa kelas VI SDN 1 Mimbaan, Kecamatan Panji, Situbondo, Jawa Timur,
rela menjadi pemulung untuk membayar tunggakan SPP 8 bulan.” Saya memungut
sampah-sampah tidak merasa terpaksa, saya ikhlas , untuk membeli beras dan
membayar biaya sekolah yang belum sempat saya bayar selama 8 bulan. Saya malu
sekali kepada teman-teman dan bapak guru karena tak mampu bayar SPP
sekolah," ujar Said. Namun dia tidak menyalahkan orang tuanya yang miskin.
Dia bekerja keras dengan ikhlas untuk bisa membantu orag tuanya membeli beras.
Dia tidak menyalahkan Bupati yang tak menyediakan anggaran untuk sekolah gratis
seperti Jokowi di Solo dan di Jakarta. Dia bekerja keras untuk membayar uang
sekolah agar pemda punya uang untuk menggaji guru. Dengan itu dia tidak merasa
kecil hati. Cita citanya tetap tinggi setinggi anak anak dari keluarga mampu.
Ada tiga hal yang dialami oleh Said. Pertama , kemiskinan karena terlahir dari
keluarga miskin. Kedua, kezoliman karena tinggal diwilayah yang dipimpin oleh
pemerintah yang tidak punya empati kepada orang miskin. Ketiga, bertarung untuk
cinta.
Apa yang dirasakan oleh Said ,
dapat juga saya rasakan. Bahkan kenangan masa kecil saya seakan tergambar
dengan jelas dari kisah Said. Saya ingat ketika Guru menanyakan uang SPP yang
belum terbayar maka seluruh mata dikelas seakan memandang saya dan
mentertawakan kemiskinan saya. Setelah itu seperti biasa saya akan menyendiri
dari teman teman. Saya tidak menyesali keadaan orang tua saya yang miskin. Saya hanya malu karena gagal memenuhi kewajiban saya membayar SPP. Saya menangis dalam kesendirian. Ada keinginan
untuk berhenti sekolah namun saya tidak mau kehilangan cita cita. Karena berkali
kali ibu saya mengingatkan kepada saya
bahwa bila saya mencintai kedua orang tua maka saya harus selesai sekolah.
Ketika sampai dirumah. Tak ingin saya menyampaikan pesan guru agar orang tua
saya membayar uang SPP yang menunggak. Saya sangat mencintai kedua orang tua saya, dan kenal betul akan
mereka yang akan melakukan apa saja untuk bisa menyekolahkan saya. Hanya memang belum punya uang. Dengan tidak
meminta uang SPP apalagi mengeluh kepada orang tua , mungkin itulah yang
terbaik untuk menjaga perasaan orang tua. Yang pasti dengan kekuatan cinta ibu membuat saya tidak lemah dalam kemiskinan.
Karena itulah saya memutuskan
untuk do something dengan kedua tangan saya. Dari SMP sampai SMA saya sudah berdagang untuk
biaya sekolah dan membantu orang tua. Saya lakukan itu semua dengan riang tanpa
beban. Disekolah saya tidak merasa minder lagi karena saya tidak pernah
menunggak SPP. Saya bergaul dengan teman teman sekolah tapi tidak begitu larut
dalam pergaulan karena saya punya dunia sendiri sebagai anak pinggiran yang
harus bekerja untuk survive., Ya tanpa saya sadari saya telah menjadi petarung
terhadap diri saya sendiri dan sekaligus untuk keluarga dan masyrakat. Sebetulnya
tidak ada yang salah dengan hidup Said. Proses yang dilaluinya sama dengan ulat
didalam kepompong yang berusaha keluar untuk menjadi kupu kupu yang indah. China
ketika reformasi Deng , menghapus semua program populis untuk rakyat miskin.
Namun pada waktu bersamaan Negara memberikan kebebasan bagi rakyat untuk
berproduksi dan menjaga keadilan akan sumber daya. 30 tahun kemudian, sebagian
besar pemimpin China dan konglomerat China adalah tadinya para anak anak dari
keluarga miskin yang harus berjuang untuk hidup. Tentu tidak semua menjadi kapten dan pengusaha besar , tidak semua menjadi pemimpin dan bertitel berjenjang namun semua mereka berhasil menjadi “ something else”.
Mereka menjadi asset bangsa yang kuat mandiri tanpa berkeluh kesah dengan kesulitan..
Proses untuk menjadi “something”
itu memang berat dah sulit, kadang menyakitkan. Namun begitulah Allah bertitah
tentang kehidupan ini. Hal yang sulit dan sakit dirasakan belum tentu buruk
bagi kita. Tentu ada rahasia dibalik itu. Kita harus percaya bahwa Allah maha
bijaksana. Sebagaimana Said karena cinta dia ikhlas. Karena cinta dia kuat.
Karena cinta dia berbuat walau dalam keterbatasan. Anak anak seperti Said, mungkin jutaan
jumlahnya. Ada yang terkapar kalah dan akhirnya pasrah. Ada yang tertatih
meraih cita citanya namun tetap bersemangat untuk melaju. Mungkin sebagian
mereka dimasa depan akan melengkapi strata masyarakat. Ada yang jadi simiskin yang
duapa harta dan ilmu, ada yang tak miskin namun juga tak kaya. Ada yang kaya. Yang
miskin akan sabar dalam kemiskinannya. Yang kaya akan berbagi kepada yang
miskin. Itulah karena komunitas mereka adalah komunitas yang lahir dari dunia
yang tak ramah. Mereka pertarung yang tak dimanjakan oleh fasilitas berobat
gratis, sekolah gratis, makan gratis. Kaya ataupun miskin , mereka tetaplah
orang baik yang tak pernah berkeluh kesah , yang sadar makna sabar dan ikhlas. Ya
mereka tidak seperti komunitas bangsa
Eropa dan AS yang selalu dimanjakan dengan fasilitas jaminan social Negara ,
yang makmur menjadi sombong namun ketika Negara bangkrut banyak dari mereka
memilih bunuh diri alias loser. Seharusnya mereka manjadi tongkat negara malah menjadi beban negara sampai mati.
Kini saya sebagai orang tua.
Memang saya tidak membuat anak anak saya harus bekerja untuk makan dan bayar
uang sekolah. Saya memberi mereka fasilitas untuk mereka “berjalan” dan bukan “berlari
“ namun saya menanamkan kondisi bahwa mereka harus bangga dengan effort mereka,
dengan pilihan mereka, dan karenanya mereka harus "bertarung" mendapatkannya. Mereka
harus menjadi diri mereka sendiri lepasa dari bayang bayang saya. Mereka harus menjadi bayang bayang Allah agar mereka menjadi orang yang sabar ketika
gagal dan bersyukur ketika sukses. Agar hanya kepada Allah mereka menyembah dan
meminta tolong, bukan kepada saya orang tuanya. Saya hanya penonton takdir
mereka sambil berdoa agar mereka tetap istiqamah, sabar melewati segala
rintangan. Miskin ataupun kaya, bertitel hebat atau biasa saja, tak penting, yang penting hidup mereka berguna
bagi orang lain. Itu saja.