Begitu banyak peristiwa disekitar kita yang mengusik rasa keadilan kita. Ingin rasanya kita menjerit keras dalam kemarahan dihadapan hakim yang berminyak muka dan Jaksa berperut buncit , pengacara yang membosankan. Mengapa negeri ini tak pernah mampu memotong lingkaran kemiskinan ? Mengapa kemiskina dibiarkan akrab bagia rakyat jelata. Mengapa mereka harus terjabut dari cinta dan kasih sayang. Benarlah bahwa kita berada didalam sistem yagn memusuhi orang miskin. Mereka tak punya pilihan kecuali memang begitulah system berkerja untuk memanjakan penguasa diatas limpahan fasilitas sebagai abdi negara. Padahal ketika awal negeri ini dibentuk dibangun dari rasa keadilan itu sendiri yang tertuang dalam kata ”adil dan beradad” untuk tercapainya ”keadilan sosial. ”:
Adil dan beradab, berati sangat mendalam. Berakar kedalam relung hati terdalam. Yang tak dikotori oleh nafsu yang didokrin oleh akal tentang ketamakan dan penindasan. Membayar orang dari hasil pekerjaannya adalah ”adil” tapi membayar dengan murah adalah tidak beradab. Apalagi tidak peduli dengan kebutuhan pokok yang terus melonjak. Tapi membayar orang dengan pantas dan cukup untuk kebutuhan hidupnya adalah adil dan beradab. Tak ada ukuran matematika yang disebut pantas. Ukuran itu ada didalam hati, sebagai sikap memanusiakan manusia. Adil dan beradab tak lebih ungkapan cinta dan kasih sayang. Memberikan ruang dimana cinta bertaburan menghias senyuman dan sapaan untuk saling berbagi.
Namun apa yang kini kita rasakan. Cinta mengalir penuh bersyarat dan keadilan pun diperdagangkan. Keadilan menghantui kita, begitu rupa. Ia mungkin satu satunya pengertian yang tak bisa ditertawakan, pada akhirnya. Telah sulit untuk dirumuskan secara tetap. Karena kepentingan penguasa yang ingin bebas memperolok kemiskinan ditengah penindasan atas nama hukum. Hukum mudah ditafsirkan, diurai dan akhirnya menjadi tidak lagi tentang keadilan. Tapi hukum dilahirkan oleh kekuatan politk, dan ekonomi, merupakan hasil kompromi dan kalkulasi. Hukum juga ditulis sebagai teks dan sebab itu senantiasa merupakan hasil interpretasi. Adapun keadilan tidak. Hukum bukanlah keadilan.
Hukum yang kita yakini sebagai benteng keadilan , tak lebih hanyalah perkakas yang di create dari sebuan konvensi. Keadilan berada diluar dan diatas hukum ( dan undang undang ). Rasa keadilan itu semakin jauh dijangkau oleh produk hukum dan undang udang. Semakin sulit dimaknai oleh para penegak hukum. Pada titik ini, keberadaan agama sebagai pencipta rasa keadilan semakin dijauhkan dari hukum itu sendiri. Bahkan diragukan untuk tidak melanggar HAM. Maka hanyalah soal waktu negeri ini akan hancur untuk sia sia ...Semoga kita dapat menyadari ini semua sebelum semuanya terlambat.