Awalnya Islam itu masuk ke Indonesia lewat misi dagang para ulama dari China dan Arab. Awal islam diperkenalkan, tidak ada pertentangan yang berarti dengan budaya lokal. Penyiar agama yang datang itu hanya meluruskan Tauhid dan Akhlak. Selebihnya mereka tidak ubah. Lambat laun tradisi Islam terutama di Sumatera dan Jawa dianggap tidak islami. Karena masih bercampur denga tradisi yang dianggap bertentangan dengan ajaran islam yang murni.
Gerakan pembaharuan Islam ini diawali dengan kepulangan tiga orang haji dari tanah suci tahun 1803 bernama Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Selama di Mekah, ketiganya menyaksikan arus pembaharuan Islam yang dikenal dengan gerakan Wahabi. Caroll Kersten dalam buku “ History of Islam in Indonesia: Unity in Diversity” gerakan wahabi bisa juga disebut politisasi Islam. Kaum Padri ingin menguasai kerajaan Minang Kabau yang didominasi oleh kaum adat. Tujuannya agar islam diterapkan secara murni ( tanpa adat) dan sekaligus mengusir Balanda. Namun digagalkan oleh masuknya Belanda dalam perang Padri.
Awal abad 20, gerakan pembaharuan islam datang lagi. Kali ini dipicu oleh tokoh pembaharu dari Mesir seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan Rasjid Ridha. Gerakan yang lebih dikenal dengan ide “Pan Islamisme” ini mengusung pemikiran Islam yang lebih modernis seperti: membuka pintu ijtihad, menghindarkan ummat Islam dari kejumudan, bid’ah, khurafat dan tahyul. Putra Minang Kabau yang tinggal di Arab ( Makkah) bernama Syekh Ahmad Chatib Al Minangkabawi, termasuk salah satu tokoh yang paling berpengaruh dalam gerakan pembaharuan islam, bukan hanya di Arab tetapi juga sampai ke Indonesia.
Nama besar Syekh Ahmad Chatib Al Minangkabawi, mengundang pelajar dari Jawa dan Sumatera untuk berguru kepadanya. Diantara muridnya adalah Muhammad Darwis atau yang kita kenal KH Ahmad Dahlan dan KH Muhammad Hasyim bin Asy’ari Al Jumbangi rahimahullah. Mereka berdua ini setelah berguru di Makkah, kembali ke tanah air. KH Ahmad Dahlan mendirikan Jam’iyyah Muhammadiyyah-.Dan KH Muhammad Hasyim bin Asy’ari mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama.
Memang sedikit berbeda perjuangan Muhammadiyah dengan Nahdlatul Ulama. Kalau Muhammadiyah interpretasinya lebih tertuju pada bidang sosial dan bidang pendidikan, sedangkan Nahdlatul Ulama mengarah di bidang agama dan sosial politik. Dalam hal Fiqih, antara NU dan Muhammadiyah tidak punya perbedaan prinsipil. Kitab fiqih Muhammadiyah 1924 isinya sama dengan kitab-kitab pesantren NU. Namun keduanya tak bisa dipisahkan dengan gerakan politik Islam khususnya menghadapi kolonial Belanda.
Selama periode 1912-1926, Muhammadiyah tegas menyebut diri bukan sebagai organisasi politik. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa guratan-guratan wajah politik Muhammadiyah tampak begitu nyata. Tercatat, KH. Ahmad Dahlan termasuk sosok yang sangat dekat dengan Budi Utomo, Sarekat Islam, dekat pula dengan KH. Misbah (Komunis), dan termasuk dekat dengan kalangan Ahmadiyah. Pada periode selanjutnya, KH. Mas Mansur bahkan terlibat dalam pendirian Partai Islam Indonesia (PII). Pada Tanwir Muhammadiyah tahun 1938, Muhammadiyah memutuskan untuk mengijinkan KH. Mas Mansur –yang saat itu menjabat sebagai Ketua Muhammadiyah– menjadi pimpinan PII.
Bersama NU dan PSII, tahun 1937 Muhammadiyah juga terlibat dalam pendirian Majlisul Islam A’la Indonesia (MIAI). Ketika lahir Masyumi yang pendiriannya difasilitasi Pemerintah Jepang tahun 1943, Muhammadiyah pun terlibat di dalamnya. Oleh Prof. Merle Calvin Ricklefs tokoh sejarawan Australia, berdirinya MIAI disebutnya sebagai upaya untuk mengendalikan Islam. Sementara Prof. Dr. H. J. Benda, Yale university menyebut bahwa diciptakannya Masyumi yang diberi status hukum langsung pada hari didirikannya, tak ayal lagi merupakan kemenangan politik Jepang terhadap Islam. Lahirnya Masyumi merupakan salah satu cara Jepang untuk mengendalikan umat Islam.
Dalam rangka mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Ditunjuk 9 tokoh untuk membuat rumusan Pancasila. Tokoh Panitia Sembilan terdiri dari dua golongan yakni 5 dari golongan Islam dan 4 dari golongan nasionalis. Golongan Islam yakni Abikoesno Tjokrosoejoso (Partai Sarekat Islam Indonesia), Abdul Kahar Moezakir (Muhammadiyah), Agus Salim (mantan tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia dan pendiri Pergerakan Penyadar), Abdul Wahid Hasyim (Nahdlatul Ulama). Sementara dari golongan nasionalis yakni Soekarno, Moh Hatta, AA Maramis, dan Moh Yamin. Dari 9 tokoh ini hanya AA Maramis yang bukan islam.
Panitia sembilan melahirkan Piagam Jakarta. AA Maramis ditugaskan oleh Panitia 9 membentuk UUD 45. Pada penyusunan pembukaan UUD 45, sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapus. Karena memang dalam Panitia 9, AA Maramis termasuk yang paling keras menentang sila Pertama Piagam Jakarta itu. Sebagai konpensasi dan jalan tangan, Mr. Muhammad Yamin mengusulkan terkait urusan agama Islam harus diurus oleh kementerian yang istimewa ( Kementrian Agama ). Namun usulan M. Yamin itu ditolak pada sidang PPKI II pada 19 Agustus 1945. Kala itu PPKI tengah membicarakan pembentukan kementerian/departemen Indonesia. Kembali usulan Mr. M Yamin disampaikan pada Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 25-27 November 1945. Akhirnya disetujui. Melalui Penetapan Pemerintah No 1/S.D. tanggal 3 Januari 1946 (29 Muharram 1365 H) Indonesia resmi memiliki Kementerian Agama, sampai sekarang.
Setelah Indonesia merdeka, era Soekarno, posisi kementrian Agama dipegang oleh tokoh dari NU dan Muhammdiyah. Menteri Agama dari NU adalah KH Abdul Wahid Hasyim (ayah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur), KH Fathurrahman Kafrawi, KH Muhammad Ilyas, KH Masjkur, KH Wahib Wahab, dan Prof. KH Syaifuddin Zuhri. Dari Muhammadiyah adalah H. Rasjidi (di era Kabinet Sjahrir I), Achmad Asj'ari (Kabinet Amir Sjarifuddin I), atau Fakih Usman (Kabinet Wilopo).Peran tokoh NU lebih dominan dibandingkan Muhammadiyah. Namun saat NU bergabung dengan Nasakom ( nasionalis, agama dan komunis.), Muhammadiyah menyatakan keluar dari barisan nasional. Setelah Soekarno tidak lagi jadi Presiden, PKI tumbang. Masuk era orde baru. Soeharto terpilih sebagai presiden. Posisi NU melemah dari politik. Tahun 1971, Pak Harto menunjuk Prof. Dr. Abdul Mukti Ali sebagai Menteri Agama. Setelah itu Menteri agama dipegang oleh bukan NU. Sementara Muhammadiyah mendapatkan posisi kuat di era Soeharto.
Walau perlakuan Soeharto berbeda terhadap NU dan Muhammadiyah namun prinsip perjuangan amar ma'ruf nahi munkar tetap sama. NU dibawah Gus Dur ( KH KH Abdurrahman Wahid) , menentang rezim Orba dengan mengunakan pendekatan strategi kultural anti rezim. Sementara Muhammadiyah, karena diuntungkan oleh pemerintah Orba, menggunakan "pendekatan struktural” yang pro-rezim. Dan puncaknya, paska kejatuhan Soeharto. NU mendukung berdirinya PKB ( Partai Kebangkitan Bangsa) dan Muhammadiyah mendukung berdirinya PAN. Hasil Pemilu 1999 dibentuknya Poros Tengah DPR/MPR yang merupakan koalisi partai Islam. Gus Dur ( NU) jadi Presiden dan Amin Rais ( Muhammadiyah) jadi ketua MPR. Kedua tokoh inilah jadi lokomotif reformasi.
Secara kelembagaan antara NU dan Muhammadiyah tidak punya perbedaan dalam memperjuangkan NKRI. Tetapi dalam setiap era dua ormas besar ini tidak bisa menghindar dari politik, terutama para tokohnya, juga tentu pengikutnya. Apalagi di era demokrasi langsung, dua ormas besar ini juga berada dibalik lahirnya Parpol islam seperti PPP, PBB, PAN dan PKB. Kini menjelang tahun 2024, baik Muhammdiyah maupun NU secara kelembagaan memilih tidak ikut sebagai influencer Capres. Dua ormas besar ini sudah menjelma jadi sayap NKRI. Pengalaman panjang dalam pergolakan politik, membuat mereka dewasa dan kuat untuk Indonesia satu.