Sunday, December 18, 2022

Focus kepada diri sendiri.

 


Ada cerita. Duda tanpa anak menikah dengan janda beranak satu. Anaknya gadis belia. Satu saat gadis itu hamil. Gadis itu tidak pernah mengaku siapa pria yang menghamilinya. Tapi orang kampung tahu bahwa setiap hari gadis itu sekolah diantar dengan motor oleh ayah tirinya. Orang kampung paranoia terhadap ayah tirinya. Istrinya juga menuduh suaminya yang menghamili. Suaminya hanya diam saja. Akhirnya orang kampung mengusir ayah tiri itu setelah ibu dari gadis itu membuangnya.


Bertahun tahun kemudian, pria itu meninggal. Sementara gadis itu sudah menikah dan tinggal di kota. Ibunya juga ikut tinggal bersama dia. Kabar kematian mantan ayah tirinya itu membuat wanita itu gundah. Akhirnya dia berkata kepada Ibunya” Bu, sebenarnya, yang menghamili saya adalah pria yang sekarang jadi suami saya. Dulu, saya sengaja diam dan tidak memberi tahu siapa yang menghamili saya karena saya tidak mau membenani pacar saya. Saat itu dia masih kuliah di kota. Kalau tahu yang menghamili saya adalah dia, ayahnya pasti minta dia berhenti kuliah. Kami tidak punya harapan untuk maju. Dan terbukti setelah anak saya lahir. Pacar saya tamat kuliah. Dia dapat pekerjaan. Setelah mandiri dari ayahnya. Dia punya keberanian melamar saya. Kami berkumpul lagi.


“ Ayah tiri kamu tahu soal itu ? Tanya ibunya.


“ Ya bu. Dia tahu. Saya ceritakan semua kepada dia.”


IBunya pingsan dan setelah itu hidup dalam sesal.


Ketika kita menilai orang lain, itu pasti salah. Engga mungkin benar. Bahkan menilai pasangan kitapun, tidak bisa 100 % benar. Mengapa ? orang menilai karena informasi yang dia terima dan otaknya sudah lebih dulu terbentuk persepsi normatif. Bahwa ayah tiri sudah biasa mengggahi anak tirinya. Apalagi sering berduaan naik motor. Kalau persepsi orang sudah lebih dulu terbentuk dan informasi sudah tersebar. Apapuh argumen membela diri, tidak akan bisa diterima.


Saat masih muda, saya sering pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Istri saya memilih tidak bertanya. Dia diam saja. Karena hanya saya yang tahu alasan mengapa saya mabuk. Dan tidak mungkin saya bisa terbuka 100% kepada istri. Ada ruang dimana hanya saya dan Tuhan saja yang bisa berkomunikasi, bukan orang lain. Begitu banyak cerita buruk suami yang bekerja di luar negeri dan lebih banyak di luar rumah.  Tapi istri saya bisa menerima. Dia tidak larut dalam paranoia dan tidak pula terpengaruh dengan standar normatif orang kebanyakan yang tidak percaya kepada suami yang lama tinggal di luar rumah.  Dia focus aja kepada agenda besar kami. Apa ? membangun rumah tangga. Bukan jalan yang mudah dan manja. Bukan ruang hampa. Bukan hitam putih. Dia harus bijak untuk berdamai denga realitas dan berkembang lebih baik karena waktu. 


Andaikan istri saya paranoid, mungkin kami sudah lama bercerai. Tidak mungkin bertahan lebih dari 30 tahun. Tapi karena itu kami selalu bersama tak terpisahkan.  Makanya kita harus punya daya tahan terhadap apapun yang terjadi di luar diri kita. Orang berhak menilai kita, tapi nilai kita bukan ditentukan oleh orang lain tetapi oleh diri kita sendiri. Ignore aja orang lain. Mengapa ? Orang yang berpikir kecil selalu menilai orang lain. Orang awam selalu membahas peristiwa yang terjadi. Tapi orang besar bicara tentang agenda dan focus kepada dirinya sendiri. Jadilah orang besar ! sang pemenang.


No comments:

HAK istri.

  Ada   ponakan yang islamnya “agak laen” dengan saya. Dia datang ke saya minta advice menceraikan istrinya ? Apakah istri kamu selingkuh da...