Tadi sore sahabat saya datang bertamu ke rumah. Saya sudah lama tidak jumpa. Terakhir jumpa sebelum Pilpres 2004. Walau kami pernah belajar tasauf pada guru yang sama. Pernah tahun 1983 ikut sembunyi sembunyi diskusi buku Bumi Manusia atau Rumah Kaca di Gedung Stovia, Senen. Pernah sama merasakan dinginnya penjara paska tragedi Tanjung Priok 1984, namun kami berbeda pilihan. Pilihanya kepada Prabowo. PKS Partai pilihannya. Saya pilih Jokowi dan PDIP tempat saya berlabuh.
“ Kita ini lucu. Kita pernah sama belajar tasauf, pernah gandrung dengan Marhaen Soekarno. Pernah jadi pemberontak. Tapi akhirnya berbeda jalan” Katanya mengawali obrolan.
“ Menurut saya tidak ada yang berbeda. Esensinya sama. Islam dan Marhaen, punya kesamaan prinsip. Sama sama membela kaum tertindas. Ketika kita diskusi tentang Marhaen, Surat Al Maun kita jadikan rujukan. Kemanusiaan kita semakin bertambah. Tauhid kita maknai mencintai keadilan, setelah kita membaca roman Pram. Karena itu aqidah kita semakin kokoh. Tak lekang karena panas, tak lapuk karena hujan. “
“ Tapi, bro. Hati hati kamu bersikap. Aqidah kamu bisa sesat. Islam ya islam. Tidak bisa disamakan dengan Marhaen. Beda sekali.” Katanya tegas. Saya tersenyum.
“ Ingat engga waktu kita belajar tasauf. Musa berkata kepada bani Israil bahwa dia yang paling tahu. Allah tegur, yang paling tahu itu bukan Musa tetapi Allah. Kemudian karena itu Musa dimita bertemu dengan Khaidir. Setelah itu apa yang dia pahami secara akal dan agama, ternyata semua salah. “
“ Loh kita kan manusia. Kita paham dan bersikap hanya menyangkut hal yang zahir saja. Yang lain cukuplah Allah tahu.”
“ Yang zahir itu bukan hanya tersurat. Firman Allah yang tersurat hanya secuil saja. itu sama dengan air yang diteguk seekor burung diatas samudera luas. Sementara yang tidak tertulis jauh lebih banyak. Kemanapun wajah kamu hadapkan, terdapat ayat ayat Tuhan. Itulah sains yang harus kita gali agar semakin kuat keimanan kita”
“ Kamu tahu, kesalahan peradaban sekarang karena agama tidak lebih dulu dijadikan pondasi. Akibatnya apapun jadi lemah. Mudah sesat. “ katanya mulai ngegas. Entah apa yang merasuki hatinya sehingga dia berubah radikal.
“ Bro, ingat engga waktu kita di kampung dulu. Orang tua tua kita bangun rumah. Mereka tidak bangun pondasi dulu. Tetapi mereka bergotong royong bangun rangka, atap, dinding dan tiang. Setelah rumah utuh jadi, mereka gotong rumah yang sudah jadi itu rame rame untuk didudukan diatas tanah. Apabila sudah disepakati tempat dudukan. Maka pondasi dibuat sesuai dengan tekstur lahan. Lahan lereng bukit tentu beda pondasinya dengan yang datar. Itulah budaya kita.
Begitulah agama dimaknai. Budaya lebih dulu dibangun, barulah agama dijadikan tempat dudukan. Artinya penerapan agama yang benar itu harus tidak berlawanan denga budaya yang ada. Nah islam itu diterapkan oleh para ulama pada awal diperkenalkan sesuai dengan kearifan lokal. Akibatnya walau ratusan tahun kita dijajah Belanda, islam tetap mayoritas di Indonesia. Orang tidak mau pindah agama, bukan karena faktor keimanan. Tetapi ikatan budaya. Dia malu bila pindah agama. Paham kau?
“ Ya budaya itu harus diubah. Itulah perjuangan islam”
“ Sebelum agama diperkenalkan, budaya sudah lebih dulu ada. Bagaimana kamu akan mengubahnya. Budaya itu takdir kita. Kalau kamu paksakan, akan menimbulkan padadox. Orang beragama tapi tidak beradat. Sholat, ngaji, puasa taat tapi kepada yang berbeda marah terus, emosian terus. Kadang terprovokasi jadi teroris. Dalam lingkup sosial dampaknya luas sekali, politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan, dan peribadatan tanpa pengorbanan.
“Ah terus terang aja. Kamu mau bilang apa sih pening saya?
Saya minum kopi seteguk. Kemudian dengan hormat saya berikan kepada dia kopi yang sudah saya teguk itu. “ Ah jangan becanda kau. Kok kasih saya kopi bekas kau minum”
“ Mengapa ? apakah kopi itu haram? Kata saya tersenyum
“ Ya tidak. Tetapi engga sopan aja kasih kopi ke tamu yang datang ke rumah”
“ Oh kamu tersinggung. Soal kepantasan dan sopan santun. Ya kan.”
“ Ya benar”
“ Itulah budaya.” Kata saya tersenyum “ Alur dan patut. Walau halal namun tak patut, tak elok jadinya.” Lanjut saya.
“ Oh…” dia tertegun.
“ Jadi mengapa PKS, PAN, engga pernah bisa menang lawan PDIP dan PKB? Karena PDIP dan PKB menerapkan islam dalam kerangkan budaya. Akibatnya hubungan idiologi dan islam menjadi satu. Mereka terus berkembang, bukan karena pemilihnya takut neraka atau berharap sorga. Tetapi karena agama berkata, budaya menerapkan. Jalinan yang indah. “ Kata saya tersenyum.
Dia tertegun
‘’Kau terpelajar, cobalah untuk bersetia pada kata hati.” Kata saya. Dia tersenyum. “ Ah aku ingat itu kalimat dari Roman Bumi Manusia. Setelah berbagai tantangan yang dihadapi, Minke kembali bersekolah dan dia akhirnya juga menikah dengan Annelis dan menikah secara Islam. Ya kan “
“ Ya galilah ilmu apa saja. Perluaslah cakrawala, namun tetap islam di hati kita. “
“ Tapi…”
“ Jangan takut dicap sesat. Dalam hidup cuma satu yang kita punya, yakni ’’keberanian’’ kalau tidak punya itu lantas apa harga hidup kita ini? Beranilah itjihad dengan niat baik. Hiduplah berakal agar mati beriman. Jangan jadi follower buta. Kasihan kedua orang tua kita yang membesarkan kita. Kalau pada akhirnya kita jadi follower orang lain. “
“ Oh ya siapa nama Amoy yang sering temani kamu diskusi di gedung Stovia tahun 1983 ? katanya tersenyum.
“ Florence. “
“ Cantik kali tuh Amoy. Aneh kenapa dia suka dengan kamu yang jelek dan kenapa istrimu juga suka dengan kamu?
“ Itu berkah anak soleh. Hidup berakal mati beriman.” kata saya tersenyum.