Pada suatu masa ada dua pemikiran yang saling bertolak belakang. Satu kelompok yang berkeyakinan bahwa iman tidak bisa didasarkan kepada akal, hanya pada wahyu. Fungsi akal hanya untuk mendukung wahyu. Satu kelompok lain berprinsip lain. Bahwa iman tanpa akal itu salah. Mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan harus melalui akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akalnya. Kedua kelompok ini tak henti berdebat.
Mungkin sampai sekarang kedua kelompok ini berada di zona berbeda. Yang menggunakan akal disebut dengan kaum sipilis ( Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme dan Sosialisme). Kaum moderat. Sementara yang hanya berbasarkan wahyu disebut kaum ittiba' , yang keimanannya atas dasar pendapat-pendapat yang datang dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat atau ulama. Singkatnya apa yang dikatakan rasul, para sahabat, ulama itu sudah benar. Engga boleh didebat dengan akal.
Lantas dimana saya berada ? apakah di zona iman atas dasar akal atau beriman apa kata ulama? Pada awalnya saya tidak menolak keduanya, namun tentu tidak setuju keduanya. Saya tidak mau jadi kaum taqlid hanya karena percaya kata ulama. Saya juga tidak mau jadi atheis karena terlalu mengandalkan akal. Jadi gimana? Dalam diskusi dengan ibu saya. Saya suka cara beliau mencerahkan saya tanpa memaksa saya berada pada zona mana. “ Belajarlah tentang kedua hal itu dengan baik. Setelah itu bersikaplah. Berserah dirilah kepada Tuhan menurut cara kamu suka."
Benar nasehat ibu saya. Bagaimana saya bisa bersikap bila saya tidak pahami kedua zona itu. Saya pelajari teologi yang melandasi akal untuk beriman. Filsafat saya pelajari. Bagaimana mereka memahami hakikat alam dan realitas dengan mengandalkan akal budi. Bahkan filsafat ekonomi, sosial, politik dan budaya saya pelajari. Di rumah saya ada ribuan buku soal itu. Kalau ada kajian soal itu, saya ikuti. Belajar memahami. Begitu juga, saya pelajari semua hal tentang syariah , fiqih. Pendapat para ahli tafsir saya pelajari. Puluhan Tahun saya belajar.
Akhirnya sampailah saya pada satu pemahaman baru. Saya percaya pada wahyu. Saya menghormati Nabi dan Al Quran. Saya setia kepada syariah. Tetapi dari itu semua saya tidak merasakan kehahadian Tuhan. Saya percaya filsafat dan menghormati logika tetapi karena itu saya juga tidak merasakan kehadiran Tuhan. Satu waktu saya ikut program healing di klenteng di Hunan, China. Di situ saya tidak belajar agama Budha. Tidak. Saya hanya ingin melihat bagaimana mereka mengenal Tuhan. Saya juga ikut program mutih di salah satu pondok pesantren. Keduanya menjadikan puasa sebagai dasar ritual. Ternyata keduanya sama. Bahwa beragama itu tergantung persepsi kita. Tidak ada yang pasti benar, tentu tidak juga salah.
Sikap saya itu, di jawab oleh ibu saya “ Sorga itu diciptakan Tuhan dengan banyak pintu. Masuklah dari pintu mana kamu suka. Kalau kamu suka surga dengan pintu beriman karena akal. Ya pilihlah. Kalau kamu suka, pintu yang mengabaikan akal dan lebih condong mendengar apa kata ulama, juga engga salah. Yang penting, kehadiran Tuhan kamu rasakan. Dan kehadiran Tuhan itu bisa dilihat dari sikap humanis kamu. Manifestasi Tuhan adalah cinta dan kasih. Walau kamu beragama, namun tidak humanis, itu artinya kamu tidak beriman. Sebaliknya juga sama. Walau akal kamu hebat menterjemahkan Tuhan, namun miskin cinta, itu juga sama dengan kamu tidak beriman."
Saya ingat waktu tahun 2014 Pilpres, saya tanya kepada ibu saya.
" Capres mana yang harus saya pilih?
" Pilihlah karena akhlaknya, dan ia yang paling banyak di fitnah dan dia bersabar karena itu."
Karena itu saya pilih Jokowi.
***
Kadang saya tersenyum sendiri kalau membaca tulisan dari pegiat syariah soal Riba. Mengapa? Mereka membandingkan sistem keuangan syariah dengan keuangan komersial. Jelas tidak apple to apple. Atau sama saja mereka membandingkan hewan berkaki empat, tanpa sadar bahwa tidak semua hewan berkaki empat itu sama. Singkatnya, walau sama sama empat kakinya belum tentu sama jenis hewannya. Perhatikan kesalahan pengertian tersebut.
Pertama. Definisi uang dalam islam adalah alat tukar dalam bentuk emas dan perak. Itu dalam arti phisik. Walau ekonomi islam membuat teori ( Cocoklogi) uang dinar ( emas ) dan dirham ( perak). itu tidak ada dasarnya dalam Al Quran dan hadith.
Kedua, definisi “uang “ dalam sistem uang fiat, tidak ada. Yang ada adalah currency atau “ mata uang”. Perhatikan. Jauh sekali bedanya uang dan mata uang. Mengapa? dalam mata uang, tidak ada collateral atau phisik berupa emas atau perak dibalik uang itu. Yang ada apa ? hanya komitment dan trust dari bank central. Hebatnya keberadaan mata uang itu tanpa akad. Just trust !.Suka sama suka. Tidak ada paksaan. Contoh anda tidak percaya dengan rupiah ya engga apa apa.
Ketiga, karena definisi uang saja berbeda maka hukum syariah terhadap mata uang jelas engga bisa diterapkan. Mengapa? Dalam sistem mata uang fiat, tidak ada utang jenis Qardh. Karena tidak ada emas dan perak sebagai timbangan atau ukuran. Yang ada hanya komitmen. Dan itu dalam islam disebut utang Dain atau utang yang timbul karena komitmen saja. Artinya kalau utang piutang itu ada bunga dan biaya administrasi (pencatatan) , karena memang mata uang itu mengenal turunnya nilai akibat inflasi. Dan untuk menjaga trust perlu administrasi. Jadi wajar saja dalam akad ada faktor bunga. Itupun akad dibuat suka sama suka tanpa paksaan.
Jadi kalau mau disimpulkan, mata uang fiat itu justru diciptakan agar manusia terhindar dari Riba. Jadi pahami ilmu keuangan non syariah sebelum menuduh sistemnya Riba. Sama saja mengatakan babi itu haram. Setuju memang dalam Al Quran “ daging babi “ itu haram. Tetapi apakah Al Quran mengatur hewan babi berdasarkan gonom? species ? Celeng itu species babi yang bercula. Babi , species tidak bercula. Jenis daging juga berbeda. Yang mana? Kalau ada mengatakan celeng itu haram atau babi, menurut saya itu teori atau dalil. Terus gimana kalau minyak babi? Kan bukan daging babi? Kalau dibilang juga minyak babi itu haram, ya itu juga teori atau dalil saja.
Samahal dengan haram minuman alkohol. Dalam islam ada dua pendapat. Menurut mazhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i khamr itu berdasarkan jenis minuman yang mengandung alkohol. Pendapat dari mahzab Hanbali, khamr itu adalah “perbuatan” yang membuat mabuk. Jadi yang diharamkan itu perbuatannya, bukan minumannya. Karena minuman mengandung alokohol bukan berarti 100% alkohol. Ia sudah bercampur dengan cairan lain. Kalau minumnya engga sampai mabok ya halal. Dua mahzab ini diakui oleh umat islam. Masing masing berjalan dengan dalilnya. Biasa saja.
Begitulah cara saya beragama dan memahami islam. Nabi bersabda, “Wahai Wabishah, mintalah fatwa pada hatimu (3x), karena kebaikan adalah yang membuat tenang jiwa dan hatimu. Dan dosa adalah yang membuat bimbang hatimu dan goncang dadamu. Walaupun engkau meminta fatwa pada orang-orang dan mereka memberimu fatwa” (HR. Ahmad no.17545, Al Albani dalam Shahih At Targhib [1734] mengatakan: “hasan li ghairihi“)