Saturday, October 17, 2020

Menghargai waktu dan proses.



Pernah dalam satu kesempatan saya mendampingi teman negosiasi pengadaan turbin dan sekaligus mendapatkan fasilitas kredit ekspor dari China. Rapat dimulai pagi hari. Dari pihak China hadir dengan team lengkap. Proses negosiasi itu sangat rumit. Karena menyangkut kesepakatan yang sangat detail. Dari jenis turbin, harga , cara pembayaran, maintenance after sales service, instal, dan audit proyek. Belum lagi aturan mengenai project management. Time schedule atau network planning. Rapat berakhir jam 10 malam. Dengan dua kali istirahat.


Sampai di hotel, teman saya dan teamnya langsung masuk kamar untuk tidur. Mereka semua kecapean. Saya bisa bayangkan lelahya. Padahal seharusnya mereka tidak boleh tidur. Mereka harus evaluasi lagi semua data dan document yang dibicarakan dalam rapat. Tetapi mereka engga peduli. Lebih memilih tidur.


Paginya ketika sarapan. Teman saya berkata “ Paling cepat Kotrak di tanda tangani 4 bulan lagi. Kita dengan jepang dua bula lamanya. Kalau dengan Eropa bisa tiga bulan.”

“ Mengapa begitu lama?

“ Karena proses pengambilan keputusan perusahaan besar memang panjang. Apalagi melibatkan dana ratusan juta dollar.”

Tak berapa lama, telp teman saya berdering. Setelah terima telp , dia terkejut. Apa pasal? “ Semua kontrak sudah siap di tanda tangani mereka. Kita harus datang lagi ketemu mereka untuk tanda tangan kontrak” Kata teman saya, yang baru saja terima telp dari principal dan sekaligus lender. Semua team geleng geleng kepala. Unbelievable ! Ketika datang ke kantor Vendor, team yang kemarin hadir dalam rapat , nampak mata mereka semua merah dan kuyu. Ternyata mereka engga tidur sama sekali. Tentu sehabis meeting, mereka terus kerja membuat kotrak. Begitupula boss nya.


“ Kita sulit kalahkan China. Lah kita PPA bisa 1 tahun lebih baru di tandatangani. Padahal PLN engga keluar uang sama sekali. Hanya bayar janji. Ini China kasih barang, kasih tekhnologi dan uang. Sehari jadi kotrak.” Begitulah China. Kalau China bisa menjadi kekuatan ekonomi nomor 1 dunia itu karena  berkat kerja keras dan tidak suka menunda pekerjaan.  


***

Di Indonesia ini ada mindset yang buruk dari politisi dan pejabat. Apapun kalau lambat itu hebat. Hebat karena diperhitungkan dengan matang. Penuh analisa dan studi. Penuh kehati hatian. Penuh pertimbangan semua pihak. Faktanya semaki lama waktu berlalu, ongkos jalan terus dan momentum jadi kendor. Passion jadi melemah. Dan ujungnya frustrasi dan gone by the wind. Makanya, saya hanya tersenyum bila para pakar ngomong bahwa UU Cipta kerja itu dibuat terburu dan terlalu cepat. Bahkan ada yang bilang prosesnya jorok. Kelihatan sekali dia tidak paham bagaimana proses RUU itu diusulkan dan akhirnya menjadi UU. 


Setiap UU yang akan dibuat itu harus melewati process yang panjang. Pertama, harus ada riset dulu. Guna mengetahui benarkah agenda yang diusulkan itu perlu ada UU. Kedua. Kalau benar perlu, masih perlu ada survey secara metodologi akademis. Ini untuk melihat sejauh mana RUU menjawab persoalan yang ada di masyarakat. Ketiga, barulah diadakan kajian akademis. Pendapat ahli dan berbagai studi kasus dalam dan luar negeri dijadikan referensi.  Naskah akademik diserahkan pemerintah ke DPR pada tanggal 12/02/2020.


Nah dengan adanya kajian akademis itu maka RUU diajukan ke DPR. Sebelum masuk pembahasan, harus masuk Bamus ( Badan musyawarah ) Fraksi ( wakil semua partai). Di Bamus penilaian secara politik dibicarakan atas dampak dari RUU ini. Juga dimusyawarahkan teknis pembahasannya. Keputusan Bamus adalah menyerahkan RUU Cipta Kerja ini ke Badan legislatif (Baleg ) DPR untuk melakukan pembahasan. Kemudian rapat Baleg  membentuk Panitia Kerja. Setiap Kapoksi atau ketua kelompok fraksi mengirimkan anggotanya guna dimasukkan menjadi anggota Panja yang jumlah anggotanya bersifat proporsional sesuai jumlah anggota dari masing-masing kapoksi.


Pada tanggal 20 April 2020 , terbentuklah Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja dalam bentuk Omnibuslaw. Pada saat itu resmi lah Panja melakukan pembahasan. Jadi harus dipahami bahwa terbentuknya Panja adalah keputusan Baleg dan Baleg adalah kepanjangan tangan dari Fraksi yang merupakan wakil dari semua partai. Tidak ada tata tertip DPR yang dilanggar. Hanya saja fraksi PD dan PKS tidak mengirim anggotanya ke Panja. Tapi itu tidak mempengaruh. Karena fraksi PD dan PKS jumlahnya tidak significant. Tetapi menjelang di penghujung pembahasan kira-kira satu setengah bulan menjelang berakhir pembahasan PD ikut terlibat terhadap pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).


Kemudian proses pembahasan RUU mulai memasuki tahapan tahapannya. Adapun tahap pertama adalah melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan berbagai lapisan masyarakat. Semua stake holder dipanggil ke DPR. Serikat pekerja juga di undang. Hanya 25% wakil buruh yang tidak datang. 75% hadir. Setelah RDPU dilaksanakan barulah Panja mengadakan rapat pembahasan RUU ini dengan pihak pemerintah.  Pimpinan Panja meminta kepada fraksi-fraksi yang ada di DPR untuk mengirimkan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) ke Pimpinan Panja guna untuk dibahas, didiskusikan dan disinkronisasikan serta diambil kesepakatan dan keputusan oleh fraksi-fraksi bersama pihak pemerintah.


Setelah DIM ini disisir, dibahas, disinkronisasikan dan disepakati lalu diputuskan DIM tersebut pasal demi pasal dan ayat demi ayat sampai dengan DIM yang terakhir. DIM-DIM yang diputuskan satu demi satu tersebut "tidak ada satupun yang dilakukan secara voting" tetapi dilaksanakan melalui musyawarah dan mufakat. Setelah Panja bersama Pemerintah menyelesaikan tugasnya terhadap pembahasan RUU tersebut. Pimpinan beserta anggota Panja menyepakati untuk membentuk Tim Perumus yang tugasnya adalah untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi terhadap pembahasan yang sudah disepakati.


Tim Perumus dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh merubah atau mengganti substansi yang sudah disepakati. Hasil yang sudah dikerjakan Timmus dilaporkan kembali kepada Panja. Setelah Panja menyepakati hasil laporan Timmus lalu Panja menyampaikan semua hasil pembahasan RUU ini kepada pleno Baleg dan masing- masing fraksi di Badan Legislasi diminta untuk menyampaikan pandangan mini fraksinya. Dengan penyampaian mini fraksi berarti DPR sudah menyelesaikan pembahasan RUU tersebut pada tingkat pertama dan itu dilakukan pada Sabtu, 3/10/2020. Pada tanggal 5 Oktober 2020 dilaksanakan Sidang Paripurna yang merupakan pembahasan tingkat kedua. Baik pada tingkat pertama dan kedua fraksi yang menolak RUU Cipta kerja untuk dijadikan sebagai Undang-Undang adalah fraksi Demokrat dan Fraksi PKS.


Pembahasan RUU Cipta kerja ini pada umumnya dilakukan di Ruang Rapat Badan Legislasi DPR dan dilaksanakan pada siang hari. Namun demikian pada masa reses Panja juga melaksanakan pembahasan RUU ini atas izin pimpinan DPR dan itu dibenarkan dan diatur dalam tatib. Dalam pembahasan RUU Cipta kerja ini, Pimpinan Panja tidak pernah lupa menyampaikan bahwa pembahasan RUU Ini terbuka untuk umum dan bisa diakses lewat TV Parlemen dan website DPR RI. Jadi kalau ada pihak yang bilang bahwa DPR tidak sesuai prosedur , tidak transparan dan menyalahi tatip DPR, itu adalah suara yang mewakili dari PD dan PKS yang memang dari awal menolak RUU Cipta kerja ini.


UU Cipta Kerja terdiri atas 15 Bab dan 174 Pasal, memang luas sekali pembahasannya. 64 kali rapat digelar dengan kerja meraton. Bahkan dalam reses pun tetap kerja. Memang kalau dibandingkan dengan cara kerja DPR periode pertama Jokowi dan 2 periode SBY, proses ini sampai jadi UU sangat cepat, dan terkesan terburu buru. Ada beberapa fraksi tidak siap dengan DIM, bahkan PD punya alasan belum bisa ikut membahas karena masih dalam suasana pandemi COVID-19. Namun Pemeritah dan DPR tidak bisa berhenti kerja karena alasan satu dua fraksi tidak siap. Karena kita berpacu dengan waktu. Cara kerja DPR periode sebelumnya yang lelet dan sibuk denga omong kosong harus ditinggalkan. Kalau engga, indonesia akan semakin terpuruk dan kalah bersaing dengan negara lain.

Mindset mind corruption salah satunya adalah suka menunda masalah. Setiap hari mereka tunda masalah. Padahal utang dan bunga SUN engga bisa ditunda. Gaji mereka engga boleh ditunda. Apapun kalau lambat walau benar pasti salah. Apapun walau salah kalau cepat, ada kemungkinan benar. Karena bisa diperbaiki sambil jalan. Jokowi bukan SBY. Langkah dan visi Jokowi melampaui semua elite politik. UU Cipta kerja adalah revolusi mental yang paling esensi bagi kita untuk menghadapi tantangan global yang penuh kompetisi. Masalahnya, apakah kita mau berubah atau tetap dengan status quo..


***

Mengenal pribadi Jokowi.


Teman saya pejabat tinggi sempat saya tanya “ Di era Jokowi, sepertinya tiada hari tanpa OTT KPK. Apakah itu agenda Jokowi? 

Dengan tersenyum dia berkata bahwa Jokowi engga bangga dengan prestasi KPK seperti itu.  Dia seperti seorang bapak yang selalu orang pertama sedih ketika mengetahui anaknya bermasalah. Ada apa ini? Itu karena mereka engga dekat kepada Allah. Itu karena sistem negara  tidak sesuai dengan syariah. Demikian pendapat dari Tim Wantimpres. Itu karena budaya korupsi aparatu negara sudah mendarah daging. Hukum harus ditegakan. Hanya itu kata kuncinya.  Demikian pendapat pegiat anti korupsi.


Dalam salah satu kesempatan teman saya politisi mengantakan kepada saya. Jokowi engga suka KPK itu jadi alat politik balas dendam kepada lawan politik. Dia juga engga mau kesuksesan KPK melakukan OTT sebagai icon membrantas Korupsi. Mengapa ?karena semakin banyak berita OTT KPK, yang terjadi justru merusak marwah pemerintah. Ini kalau diteruskan, akan berlanjut kepada distrust rakyat kepada negara.  Akhirnya, akan menjadi bola salju yang berujung kepada revolusi sosial. Saat itu  orang tidak lagi tidak percaya dengan sistem demokrasi dengan derivat nya. Saat itulah orang akan mengarah kepada satu jargon? Khilafah solusinya. Sistem Pancasila akan hancur. NKRI bubar.


Jadi apa solusinya? ya perubahan sistem. Korupsi itu dipetakan dengan baik lewat operasi intelijen KPK, BPK,  dan BIN. Dari hasil operasi intelijen itulah diputuskan untuk merombak semua aturan  dan UU yang bersinggungan dengan pelayanan. Pada waktu bersamaan membuat sistem birokrasi berubah menjadi meritokrasi. Sistem yang baik akan membuat orang baik beprestasi baik dan membuat orang mantiko berubah mejadi baik. Dengan itulah wibawa pemerintah dan negara itu akan terbentuk dengan sendirinya. Bukan karena politik tetapi karena pengabdian.


Tentu ketika ide membuat UU Umnibus law diusulkan, terjadi penolakan dari elite politik. Bukan hanya dari kalangan opisisi tetapi juga dari kalangan koalisi. Jokowi tidak hadapi dengan debat. Dia hadapi secara bijak. Kasus mega skandal TPPI  sebesar Rp. 32 triliun dibongkar. Tiga elite politik sangat berpengaruh hilang nyali. Jadi ayam sayur di hadapan Jokowi. Kasus Bukopin dibuka, tumbang lagi elite politik yang dekat dengan ormas islam. Dibongkar lagi kasus Jiwasraya. Operasi pencucian uang mengarah kepada elite politik. Beberapa kasus besar yang tidak terpublishkan membuat elite politik hilang nyali. 


“ Saya mau UU Cipta Kerja lewat Omnibus law disahkan. Jangan lihat lagi ke belakang. Kita focus kepada masa depan” kira kira begitu sikap Jokowi. Setelah itu kasus besar diselesaikan secara bijak. Para elite diselamatkan mukanya dan mereka dipaksa melakukan perubahan dengan menyetujui UU Cipta kerja. Demi masa depan tentunya. Perubahan sistem birokrasi ini tidak pernah sukses dilakukan 6 presiden. Di tangan jokowi selesai. Itu bukan karena Jokowi elite partai, Jenderal, ulama, profesor, tetapi karena dia orang baik.

No comments:

HAK istri.

  Ada   ponakan yang islamnya “agak laen” dengan saya. Dia datang ke saya minta advice menceraikan istrinya ? Apakah istri kamu selingkuh da...