Saturday, October 26, 2019

Menteri Agama ?


Saya sebetulnya tidak mau menulis opini sekitar pro kontra menteri agama bukan dari NU tetapi dari Militer. Namun saya terpancing untuk meluruskan saja. Bukan beropini salah atau benar. Karena bila berangkat dari persepsi berbeda, pasti tidak akan ada persesuaian. Ini kalau diteruskan, akan saling menyakiti dan tidak ada yang untung. Malah persaudaraan kita sebagai muslim akan rusak. Sekali lagi saya katakan, ini bukan opini tetapi hanya sekedar meluruskan dan menempatkan secara proporsional.

Pihak yang kontra terhadap Menteri Agama bukan berasal dari NU, itu hanya datang dari orang perorang warga NU. Dalam istilah KH MA Sahal Mahfudh (2013) disebut politik tingkat rendah (siyasah safilah). Sedangkan NU sebagai lembaga atau organisasi, steril dari politik semacam itu. NU sebagai lembaga tidak mengejar kekuasaan. Tidak. Kecuali kalau diminta. Kepedulian NU sebagai organisasi terhadap politik diwujudkan dalam peran politik tingkat tinggi ( siyasah ‘aliyah samiyah ) yakni politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.

Jadi kalau ada warga NU yang kontra itu biasa saja. Warga NU itu sangat demoktratis. Sudah terbiasa berbeda pandangan dan pendapat. Tidak akan mengarah kepada hal yang mengkawatirkan, apalagi kepada perpecahan. Karena warga NU pada akhirnya melihat sikap dari NU sebagai organisasi. Itulah yang menjadi stabilitator warga NU agar focus kepada kepentingan bangsa lebih besar. Bahwa patuh kepada Pimpinan negara adalah konsesus sebagai bagian dari keimanan dan nilai akhlak.

Hubungan Megawati pada khususnya dan PDIP pada umumnya, dengan NU dilandasi oleh idiologi Soekarnoisme, yang sangat menghormati NU sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa. Tahun 1999 , walau PDIP sebagai pemenang Pemilu, namun Megawati kalah dalam sidang MPR pemilihan presiden. Megawati legowo karena Mas nya, Gus Dur yang terpilih sebagai Presiden dan dia wakil Presiden. Pemilu 2004, Megawati memilih wakil dari NU , Hasim Muzadi yang juga ketua PBNU, dan kalah berhadapan dengan SBY.

Yang memilih KH Ma’ruf Amin sebagai Wakil Jokowi dalam Pilpres 2019, itu adalah Megawati sendiri. Itu juga bukti bahwa hubungan Megawati dengan NU itu sangat dekat, yang dasarnya adalah Trust. Jadi pemilihan Menteri Agama yang bukan dari kalangan NU, bukanlah karena Jokowi tidak percaya kepada NU, tetapi lebih kepada agenda politik kebangsaan, bukan politik patronase.

Fachrul Razi memang berasal dari militer tetapi sekarang statusnya rakyat biasa. Dia sudah pensiun. Mata rantai komando dengan militer sudah terputus. Dia akan melaksanakan tugasnya sesuai dengan sistem yang ada di dalam kementrian Agama. Engga mungkin libatkan TNI. Memang dia tidak ahli agama. Tetapi wakilnya adalah Zainut Tauhid yang tadinya Wakil Ketua Umum MUI, yang juga warga NU. Keduanya akan saling melengkapi. Dan lagi soal Fachrul Razi yang jadi menteri agama, itu hak prerogatif presiden, karena Presiden yang bertanggung jawab terhadap kabinet. Saya yakin ini sudah sejalan dengan siyasah ‘aliyah samiyah NU sebagai organisasi.

Egaliter

Dulu tahun 80 an. Saya selalu menggunakan baju berdasi dalam aktifitas saya sebagai pengusaha. Pejabat menggunakan baju model safari. Sementara orang kantoran pakai seragam. Orang awam menggunakan baju orang kebanyakan. Dengan model pakaian itu kelas sudah terbentuk dengan sendirinya. Bahkan pengusaha kalau ingin bergaul dengan pejabat atau politisi, harus pula mengenakan pakaian safari. Orang terpelejar, berbicara dengan bahasa indonesia tetapi dibumbui dengan bahasa inggris. Keren.

Di era Orla , bahkan di era kolonial, perbedaan itu semakin nampak. Kaum terpelajar dari kelompok saudagar, tokoh masyarakat, pejabat, selalu menggunakan pakaian lengkap ala barat. Baju berdasi dan jas. Mereka kumpul di restoran atau cafe dengan pakaian seperti itu. Yang jelas orang yang tidak mengenakan pakaian seperti itu jelas tidak punya kelas untuk masuk cafe. di era Orba, saya masih bisa merasakan suasana itu, kalau lagi nongkrong di cafe yang ada di Hotel Indonesia, atau Presiden Hotel. Di tempat semacam itu tidak mungkin terdengar pembicaraan tentang kesenjangan ekonomi dan kepedulian kepada kaum duafa.

Tahun 90an, orang semakin keranjingan hidup hedonis. Kemanapun saya pergi ke pusat perbelanjaan termasyur di luar negeri pasti ada orang Indonesia. Bahkan hotel hotel Singapore dan cafe pasti banyak ditemui orang Indonesia. Mereka kaum the have. Di pusat keuangan dunia, muncul generasi Billion Boy, yang selalu berpenampilan parlente, kehidupan yang glamour di pusat mode dan hiburan malam. Orang terhormat bila sudah terbiasa naik pesawat jet ,dan punya private jet. Makanya disebut kaum jet set. Kehidupan ini memastikan mereka berbeda dengan kaum kebanyakan yang jangankan naik pesawat, datang bandara saja engga pernah.

Karena itu dari waktu ke waktu krisis ekonomi datang silih berganti. Diakhir abad 20, terjadi perubahan ketika era bisnis dotcom tumbang sebagai pemicu jatuhnya wallstreet. Terjadi mega skandal ekonomi di jantung kapitalis dengan ambruknya Longterm Investmet debt AS, yang memaksa Robin Gobin mundur sebagai US treasury, dan dimergernya Giant Financial Institution; Solomon dengan Smith barney. Kemudian runtuhnya ekonomi macan ASIA. Memasuki awal abad 21, terjadi super mega scandal tahun 2008, dengan delistingnya Lehman Bro, dan Madoft di wallstreet. Dunia terhentak. Karena peyelamat dari kekacauan itu bukan orang yang punya credit card unlimited, jet pribadi, rumah mewah , baju bermerek tapi orang yang tidak memilki simbol itu semua. Dia adalah Warren Buffet.

Setelah krisis lehman tahun 2008, dunia masuk di ambang krisis. Para pemimpin baru lahir dengan spirit egaliter. Orang bergaya karena kekayaannya malu diri atas tampilnya orang terkaya di dunia, Steve Jobs , Bill Gate yang humble. Kemudian sikap egaliter itu sudah mewarnai kehidupan sosial di mana mana. Tahun 2013, muncul Jokowi sebagai calon presiden yang egaliter, dan menang dengan sikap humble nya. Mengalahkan Prabowo yang hidup bergaya glamour dan private jet. Orang masuk istana tidak lagi harus mengenakan jas dan dasi. Para menteri mengenakan baju putih lengan panjang yang digulung setengah. Di kartu nama tidak ada lagi titel berderet tersemat. Bandara dan pesawat bukan lagi mewah. Humble menjadi icon baru lahirnya masyarakat egaliter.

Apa itu Egaliter ? Egaliter itu sifat dari paham Egalitarianisme. Berasal dari bahasa Prancis égal yang berarti “sama”. Artinya kecenderungan berpikir bahwa seseorang harus diperlakukan sama. Jadi engga bisa karena beda agama, lantas seseorang merasa paling hebat dan yang lain redah, atau sebaliknya. Dalam hal politik juga sama. Engga bisa karena perbedaan politik, lantas yang menang merasa paling hebat dan yang kalah tidak qaulified. Dalam hal ekonomi juga sama. Engga bisa orang kaya merasa lebih hebat daripada orang miskin. Dalam hal sosial juga begitu. Engga bisa orang yang merasa pintar, kaya, berkuasa, merasa secara sosial lebih hebat daripada orang kebanyakan.


Perbedaan manusia dalam dimensi agama, politik, ekonomi, sosial, budaya, hanya pada attitude atau moral. Manusia dinilai karena moralnya. Karena budinya. Karena attitude nya. Jadi kalau ada orang bangga dengan pakaian agama, merasa berbeda, merasa lebih berhak masuk sorga, itu jelas bukan sifat egaliter. Akhlak buruk. Tak ubah dengan kaum hedonis yang merasa terhormat dengan kekayaan. Atau sama dengan profesor yang berhak bilang orang lain dungu. Semoga paham.

Wednesday, October 23, 2019

Drama


Semua suka nonton Film. Soal film apa, itu tergantung dari wawasannya. Kalau orang awam lebih suka film yang jalan ceritanya mudah ditebak dan pahlawan selalu menang. Bagi orang yang terdidik, suka film tentang futuristik yang berhubungan dengan sains. Mereka suka juga film misteri yang membutuhkan kecerdasan memahami alur cerita. Namun pada umumnya orang engga begitu tertarik membayar ticket bioskop untuk film yang bertema pendidikan. Tapi kalau temannya percintaan atau action atau agama namun didalamnya terselip pendidikan, itu bisa diterima. Mengapa ? persepsi orang yang nonton film itu sama yaitu butuh hiburan.
Ya, kalau ada hiburan yang menawarkan kebohongan dan kepura puraan yang terancang dengan baik, maka itu adalah film tontonan. Film itu dibuat dengan perencanaan yang sangat detail. Dari penulisan skenario, penentuan artis atau aktor berserta piguran, scene pengambilan gambar, penentuan lokasi shooting, penentuan pakaian, tekhnik editing dan design graphis, animasi, dan terakhir siapa yang akan menjadi stutradara, yang bertanggung jawab mengorganisir semua itu. Nah Sutradara itu hadir karena keinginan dari producer. Dia adalah pemodal yang menentukan film apa yang akan dibuat dan laku dijual.
Dalam dunia politik juga sama. Antar Partai itu secara tidak langsung telah menyepakati skenario politik yang akan digelar dalam pemilu. Antara mereka sudah berbagi peran. Ada yang jadi pemeran utama. Ada yang jadi peran piguran. Setelah itu ditentukan juga scene pengambilan gambar. Gambar apa ? oh gambar radikalisme vs Komunis. Gambar agamais vs pancasilais. Gambar plularis vs realistis, gambar negatif vs gambar positip. Masing masing scene itu menentukan skenario politk menarik publik untuk ambil bagian dalam piguran yang tidak perlu dilatih, udah lebih pintar dari artis politik. Mereka siap masuk bui, siap mati, mati benaran, siap segala galanya. Hebat kan. Padahal bayarannya secuil dibadingkan dengan artis politik.
Pada saat scene pengambilan gambar itu dilakukan dan berlangsung lewat shooting dengan kamuflase pencitraan dan pidato bombamdis, jalan cerita masih bersifat acak. Karena shooting berlangsung seperti puzzel. Nah agar menjadi jalan cerita yang menarik dan enak ditonton, proses editing dalam politik dilakukan pada hari orang masuk ke bilik suara dan berlanjut kepada proses hasil perhitungan suara. Pemenang dan kalah ditentukan. Tapi karena proses editing belum begitu sempurna maka dilanjutkan dengan editing digital melalui sidang MK. Maka jadilah sebuah film politik yang begitu sempurna. Menarik ditonton dan membuat orang selesai nonton ada yang menangis dan ada geram, tentu ada yang senang.
Semakin beragam perasaan orang setelah nonton film, semakin hebat penulis skenario dan sutradaranya dan tentu lebih hebat lagi adalah producernya. Sementara artis politik pemeran utama menjadi idola khalayak, dan sutradara politik dapat bayaran dan producer atau partai politik mendapatkan laba tak terbilang. Walau dalam skenario politik antar partai bermusuhan, bahkan elite nya saling hujat , namun dalam dunia nyata mereka bersahabat dan saling berbagi pendapat agar pendapatan sama. Tidak ada sesungguhnya permusuhan seperti dipersepsikan para penonton. Lantas bagaimana sikap kita terhadap politik? ya seperti kita nonton film aja.Bahwa apa yang kita alami dalam proses pemilu adalah sebuah kisah fiksi yang skenarionya sudah dirancang oleh elite politik. Makanya orang yang cerdas tidak melihat film sebagai sebuah tontonan tetapi hikmah dibalik cerita.
Bahwa dalam pesta demokrasi adalah semua perbedaan dan perseteruan terkesan brutal sekalipun, itu hanya seni panggung untuk menghasil sebuah tontonan agar menarik dan orang berbondong bondong masuk ke bilik suara. Tidak seharusnya kita pun larut dalam emosi skenario setelah layar film ditutup. Toh kita hanya penonton, bukan pemain. Lah pemain saja kembali akur di luar panggung. Kenapa kita sok sok an lebih artis daripada artis. Kan bego jadinya. Lantas apa hikmahnya ? bahwa kita harus belajar memahami perbedaan dan tahu arti mencintai. Dengan itu, kita semakin cerdas menonton panggung politik. Dan karenanya demokrasi menjadi bernilai.

Nah, kalau ada issue politik, jangan buru buru panas atau euforia, mari jawab, That's just drama.

Friday, October 18, 2019

Reputasi di hadapan Tuhan


Tadi saya amprokan dengan teman lama di kantor BKPM. Saya sempat lupa tapi dia berusaha mengingatkan siapa dia. Saya segera merangkulnya. Dia datang ke BPKM untuk izin perluasan pabrik kelapa sawitnya. Dia bermitra dengan temannya dari KL. Saya kagum dengan dia, bukan hanya setelah melihat dia sukses sekarang tapi pribadinya adalah inspirasi saya sejak dulu ketika kami masih belia.

Namanya iwan. Dia pria yang baik. Walau dia sudah yatim sejak usia 10 tahun. Namun dia punya akhlak baik. Sekolahnya hanya tamat SMU. Saya mengenalnya waktu di pelelangan ikan di kota saya. Setiap pagi iwan membantu nelayan mengangkut hasil tangkapan ke pelelangan. Dari itu dia dapat upah. Dia tinggal di masjid, di ruang paviliun. Setiap subuh saya sering mendengar suara azan yang dilantunkan oleh Iwan. Suaranya merdu sekali. Masuk SMU saya tidak lagi bertemu dengan Iwan. Karena dia pindah ke kota lain. Kami bertemu lagi ketika di rantau di Jakarta. Saya bertemu dengan dia di tanah Abang. Dia jualan es dengan kereta dorong.

Sama dengan di Kota saya. Di rantau juga Iwan aktif di masjid. Suatu saat saya dapat kabar bahwa Iwan di kantor polisi. Saya segera datang ke kantor polisi. Saya dapati Iwan sedang di adili oleh polisi karena menghamili anak gadis orang. Atas nasehat polisi, iwan akan bebas asalkan dia mau menikahi anak gadis itu. Selama interogasi itu, iwan hanya diam dan mengangguk. Dia tidak membantah. Kedua orang tua wanita itu senang karena iwan mengakui perbuatannya dan mau bertanggung jawab.

Tapi karena itu, kalau iwan ke masjid orang mencibir. Dia tidak boleh lagi azan di masjid. Tempat dagangnya di ujung gang di gusur oleh RW. Iwan dianggap orang tidak bersih lingkungan. Kedua orang tua Wanita itu menjadikan Iwan sebagai kuli usaha keluarga. Iwan terima. Walau hanya dapat upah makan. Maklum dia tinggal di rumah Wanita itu. Setelah wanita itu melahirkan, wanita itu berkata jujur kepada kedua orang tuanya. Bahwa bukan iwan yang menghamili nya. Tetapi orang lain, pacarnya.

Lantas mengapa sampai wanita itu berkata jujur ? Wanita itu berkata kepada kedua orang tuanya, selama hamil, walau sudah status suami istri tapi iwan tidak pernah menyentuhnya. Iwan orang baik dan tidak seharusnya dia jadi korban kebohongan. Tidak seharusnya dia dibenci dan dizalimi.

“ Mengapa kamu tidak membela diri ? Tanya saya ketika itu.
“ Sekeras apapun aku berusaha meyakinkan, orang tidak akan percaya. Bukankah lebih baik aku diam dan tidak perlu membela diriku?
“Terus apakah tetangga kamu tahu tentang pengakuan wanita itu ?
“ Tidak. Saya tidak mau membuka aib mereka”
“ Mengapa? Bukankah itu perlu mengembalikan nama baik kamu?
“ Apalah artinya buat aku? Diejek dan di fitnah juga tidak masalah, kalau dengan menutup aib wanita itu, aku bisa meringankan beban si wanita dan menyelamatkan kehormatan keluarganya”

Saya terdiam.

Iwan melanjutkan. “Kalau dari awal orang tidak percaya, kita berusaha sekeras apapun mereka tidak akan percaya. Manusia yang berpikir negatif itu akan selalu menghakimi kita. Saat kita berbuat baik, kita dibilang punya tujuan tertentu. Saat kita salah, mereka hanya akan menambah garam pada luka. Tapi toh setelah semua nya lewat, hasil dari perjuangan kita yang mereka lihat. Karena itu biarlah kita selalu berbuat baik. Dan biarlah waktu yg membuktikan. Apakah kita benar-benar baik, atau hanya pura pura baik. Pada akhirnya kita hanya butuh Tuhan menilai kita, bukan manusia. Reputasi di hadapan Tuhan lebih penting.”


Saya terpesona dengan sikap bijak Iwan. Saya ingat nasehat ibu saya “ kalau kamu tanam padi, ilalang pun ikut tumbuh. Tetapi kalau kamu tanam ilalang , padi tidak pernah ikut tumbuh. Berbuat baik akan selalu berbuah baik. Saya jadi ingat Pak Jokowi. Pak, selamat mengemban amanah di periode kedua bapak sebagai presiden. Semoga baik baik saja.

Strata sosial dan sikap mental


Suatu saat saya berkumpul dengan teman teman lama sewaktu kami muda dulu. Sekarang situasinya berbeda dengan puluhan tahun lalu. Diatara kami berada di strata berbeda. Jadi bisa bayangkan gimana suasana kalau kumpul. Lebih didominasi oleh mereka yang berada di strata umum. Karena mereka paling banyak diantara teman teman saya itu. Sementara kami yang berada di strata menengah dan atas, lebih banyak diam dan tersenyum. Karena apapun argumen kami pasti tidak akan bisa diterima mereka. Tapi bagaimanapun mereka semua adalah sahabat. Kami harus saling bijak menyikapi perbedaan berpikir.
Semua tentu tahu kan apa itu piramid. Itu bangunan yang lebar di bagian bawah dan mengerucut sampai keatas. Nah, strata sosial juga seperti itu bentuknya. Bagian bawah paling banyak komunitasnya, semakin keatas semakin sedikit komunitasnya. Saya akan bahas masing masing strata tersebut berdasarkan pengamatan praktis saya.
Strata terbawah yang paling banyak komunitasnya adalah komunitas yang mengandalkan ketekunan atau rajin untuk bisa survival. Cara berpikir mereka sederhana. Ada pasar, mereka jualan. Ada tanah, mereka bertani. Ada laut mereka menangkap ikan. Ada tambang, mereka gali. Ada lowongan kerja, mereka kerja. Mindset mereka hanya sederhana yaitu rajin dan hemat pangkal kaya. Kalau kaya, mereka akan beli rumah mewah, kendaraan mewah dan kalau bisa kawin lagi. Mereka tidak berpikir tentang masa depan yang rumit. Kalau pinjam ke bank itu hanya sekedar mengubah asset menjadi uang tanpa harus menjual. Tidak memahami financial engineering dan value engineering.
Strata menengah, yang komunitasnya engga begitu banyak. Di strata ini , ketekunan bukan hanya satu satunya untuk bisa survival, tetapi juga harus disertakan antusias atau passion. Mengapa ? karena dia survive mengandalkan skill dan pengetahuan yang applicable untuk lahirnya ide; bagaimana menciptakan barang, menyediakan jasa, menyediakan tekhnologi , menjalin stake holder dan membangun organisasi. Di strata ini asset tidak lagi dinilai dari harga tapi dari value. Itu sebabnya mereka selalu berpikir tentang masa depan dalam setiap tindakannya. Gaya hidup mereka berusaha mencapai aktualisasi diri. Pengakuan dari masyarakat.
Nah di Strata Atas atau puncak, adalah komunitas yang paling sedikit jumlahnya. Bagi mereka kerja keras dan passion bukan lagi standar untuk survival, tetapi standar nya adalah cinta. Dari situ mereka mengembangkan semangat kemanusiaan dalam memanfaatkan keberadaan strata di level bawah dan menengah. Pendekatanya adalah melalui penguasaan sumber daya keuangan ( financial resource ). Mereka tidak punya barang, tidak punya skill , tidak punya tekhnologi, tidak punya pendidikan tinggi, tidak punya posisi formal di manapun, tetapi semua itu bisa eksis karena tergantung kepada eksitensi mereka.
Mereka hanya 2 % dari populasi dunia, tapi 90% sumber daya keuangan dunia mereka kuasai. Gaya hidup mereka tidak membutuhkan aktualisasi diri. Tidak masuk daftar orang kaya. Karena bagi mereka If you can actually count your money, then you're not a rich man , kalau anda atau orang lain bisa hitung uang anda, maka anda bukan orang kaya. Sangat humble , tapi high profit dan secure. Lantas apa yang mereka cari dalam hidup ini? “ At the end of the day, it's not what I learned but what I taught, not what I got but what I gave, not what I did but what I helped another achieve that will make a difference in someone's life…and mine”

Ya perbedaan strata bukan karena kaya atau pintar tapi soal sikap mental. Perbedaan nasip lebih karena perbedaan sikap mental itu sendiri. So change your attitude..

Perbedaan dan Radikal

Politik pecah belah AS.
Graham F seorang ex CIA yang kemudian menjadi Analis bidang politik timur tengah mengatakan bahwa ISIS yang menciptakan adalah AS. Tetapi Professor Noam Chomsky punya pendapat lain. Tentu tidak tepat Pemerintah AS berada dibalik terbentuknya ISIS. Tetapi kalau AS di balik pemikiran terbentuknya ISIS itu ada benarnya. Ini bagian dari politik memecah belah umat islam. Itu yang dilakukan oleh direktur rekontrusi IRAK, Paul Bremer paska serangan AS ke Irak tahun 2003.
Paul Bremer sangat sadar bahwa kekuatan bangsa Irak adalah persatuan. Tadinya di Irak tidak ada kompik SARA. Semua aman aman saja. Kecuali kelompok separatis etnis Kurdi, yang kebetulan Islam Syiah. Tetapi walau Sadam itu bermahzab Sunni, dia tidak pernah meminggirkan kaum syiah di Irak. Oleh Paul Bremer, kerukunan beragama inilah yang dipecahnya dengan menghapus dialog antar golongan dan memperuncing perbedaan. Tentu dia menggunakan kelompok yang didukungnya untuk membenci kelompok lain. Sehingga kerukunan antar golongan yang berabad abad berlangsung, hancur sudah. Satu sama lain saling curiga.
Paul Bremer tentu punya dasar melaksanakan strategy itu. Sejarah mencatat ketergantungan Rezim Arab Saudi kepada AS dan Israel karena AS berhasil memberikan dukungan kepada Raja Arab melalui kaum Wahabi. Sejak saat itu yang berkuasa sesungguhnya adalah ulama Wahabi, dan Raja tersandera secara politik karena itu. Munculnya gerakan islam radikal di seluruh dunia yang dibiayai Raja atas saran Ulama sangat significant menyebarkan permusuhan antar sekte di Islam. Itulah sebabnya umat islam tidak pernah bisa bersatu dalam menyelesaikan masalah Arab-israel
Namun zaman berganti, situasi juga berubah. Sejak kejatuhan wallstreet tahun 2008, paradigma politik AS juga berubah. AS lebih focus kepada kepentingan domestik daripada jadi polisi dunia. Namun gerakan seperti Al Qaeda, yang kemudian beranak haram namanya ISIS sudah established. Mereka tidak hanya perang sekte tetapi sudah menyatakan perang kepada dunia dan ingin menguasai dunia melalui kekerasan. Mereka dibalik hancurnya Syriah, Yaman, Libia. AS sudah tidak lagi sepenuhnya bisa mengendalikan gerakan itu. Apalagi kerusuhan itu sudah bekulindan soal politik, bisnis dan konspirasi antar elite untuk berkuasa.
10 tahun setelah runtuhnya wallstreet, atau tahun 2018, Arab Saudi melakukan perubahan radikal. Ulama Wahabi yang keras , penyokong radikalisme ditangkapi dan dipenjara. Kebebasan mimbar agama dibatasi. Arab juga menyatakan perang kepada ISIS dan semua gerakan radikal. Perang terhadap teroris. Mengapa? Arab Saudi sadar setelah harga minyak jatuh, Timur Tengah engga lagi seksi. Para TNC yang selama ini memanjakan Saudi dan membiayai gerakan wahabisme, tidak lagi peduli kepada Arab Saudi yang sedang terluka karena defisit APBN yang terus membesar. Puncaknya adalah gagalnya Saudi Aramco listing di NY. Ini semakin membuat kecewa Arab.
Arab Saudi baru menyadari bahwa perpecahan dalam islam itu karena politik adu domba AS agar mereka lupa akan hak haknya terhadap SDA MIGAS dan selalu tergantung kepada AS. Seluruh negara di Timur Tengah sudah punya kesadaran yang sama dengan Arab Saudi. Berteman dengan siapapun lebih baik, tanpa harus di sekat oleh agama dan sekte. Tidak ada lagi keraguan berangkulan dengan China, ,Rusia dan israel. Anehnya manakala negara Arab sudah kembali kepada islam rahmatanlilalamin, tetapi di Indonesia sebagian umat islam justru berjalan mundur seperti Timur tengah sebelum tahun 2018. Bisa saja ini ada kaitanya dengan AS yang ingin memecah belah Indonesia agar lemah, dan SDA dengan mudah dikontrol TNC dari AS.

Persepsi yang berbeda.
Saya perhatikan terjadi perdebatan yang tidak sudah antara beberapa kelompok di masyarakat. Perdebatan itu berangkat dari cara berpikir yang berbeda. Sebetulnya tidak perlu dipermasalahkan kalau kita menyadari perbedaan itu sesuatu yang wajah. Tentu menjadi masalah serius kalau karena perbedaan itu menimbulkan kebencian dan permusuhan. Menimbulkan pemikiran radikal yang merasa paling benar dan yang lain pasti salah. Ini engga sehat. Makanya UU ITE tidak menyasar perbedaan pendapat dan kritik tapi punya istilah ujaran kebencian ( hate speech). Di dunia ini orang terbelah karena tiga hal cara berpikir yang berbeda.

Pertama. Pemikiran textbook atau tekstual, orang cederung berpikir konservatif. Apa yang ditulis buku dia percaya dan kreatifitas jadi berkurang. Di Indonesia pemikiran textbook ini paling banyak.  Dalam beragama pemahamannya tergantung ulama, dan ulama tergantung buku bacaannya. Sementara bacaan buku ulama, itu bersumber dari ilmuwan islam yang juga cara berpikirnya textbook.  Di dunia sekular juga sama. Skripsi akan bernilai hebat kalau banyak footnote dan referensi dari berbagai buku. Studi hebat terfocus kepada pemikiran textbook.  Nah kalau kaum sekular dan agama berdialogh dengan cara berpikir textbook, ya sampai kapanpun tidak akan nyambung. Karena masing masing mereka sudah ada road block sendiri. Masing mereka mudah digiring kedalam isme dan aliran agama untuk tujuan politik. Sama sama radikal nya.

Kedua. Pemikiran rasional dan realitas, ini tidak banyak di Indonesia. Tapi umumnya pengusaha punya mindset seperti ini. Ya kalau mindset nya textbook, tentu gampang di begoin oleh orang lulusan universitas dan mudah bangkrut di tangan predator. Orang yang punya pemikiran rasional mudah diajak bicara. Pemikiran mereka terbuka. Tentu selagi dibicarakan itu masuk akal. Makanya orang berpikir rasional itu tidak disukai oleh orang yang berpikir textbook baik dari sisi agama maupun sekular.  Golongan islam yang berpikir textbook, menganggap kaum rasional itu golongan islam liberal. Sementara bagi pemikir sekular textbook, juga menganggap hal yang sama, yaitu kelompok libertarian atau liberalisme.

Ketiga. Pemikiran intuisi, cara berpikir intuisi ini tidak banyak di Indonesia , mungkin termasuk langka. Karena mereka tidak lagi melhat textbook, tidak lagi mengandalkan akal tetapi sudah lebih kepada intuisi. Kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas, yang ditempa oleh pengalaman dan hati yang bersih. Orang yang berpikir dengan intuisi punya kekayaan spiritual yang tinggi.  Tidak risau dengan cara orang berpikir textbook maupun dengan orang yang berpikir rasional. Umumnya orang yang berpikir intuisi ini sudah selesai dengan dirinya, seperti Jokowi.

Makanya ada istilah cebong dan kampret , kemudian ada lagi istilah kadal gurun, itu karena perbedaan pemikiran. Sama sama radikal.  Keduanya sama saja,  kalau kepepet akan mudah terpancing melakuan hate speech. Terserah anda mau berpikir dengan cara apa, tapi sebaiknya jangan berlebihan. Agar tidak jadi bigot. Dan bahagia pun dapat diraih dengan cara sederhana.



Sunday, October 06, 2019

Narasi yang tak sudah

Saudaraku...
Tahun 2016, umat bersatu dari segala penjuru berdatangan ke Jakarta dengan lantunan Takbir untuk membela fatwa Ulama. Kamu tahu, kan? Suara Imam besar kita meraung ditengah lautan manusia membakar semangat persatuan. Pemimpin kafir itu harus jatuh. Jakarta harus dipimpin oleh orang beriman. Oleh orang yang mendapat restu dari Ulama. Hidden power Islam di aktualkan dalam aksi 411 dan 212. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Orang kafir memang kalah di Pilkada DKI. Imam besar hengkang ke luar negeri dengan kasus yang memalukan. Narasi besar yang kita perjuangkan harus berhadapan dengan Pedang Hukum yang sangat tajam. Presiden mengeluarkan PERPPU Ormas karena itu. HTI dibubarkan. Yang lain terancam kalau tidak patuh kepada Pancasila.
Kita meradang marah. Tetapi hanya sebatas marah yang harus dipendam dalam sakit tak terungkapkan. Betapa tidak? 10 tahun SBY berkuasa, kita mampu menghadang setiap rencana ingin mengubah Undang Undang Ormas. Tak ada kekuatan politik yang punya alasan kuat untuk mengubah UU Ormas. Tetapi karena aksi 411 dan 212, TNI dan POlri mendesak presiden agar mengubah UU Ormas. Dan karena itu elite Politik yang selama ini membela kita tidak bisa berbuat banyak. Karena memang aksi 411 dan 212 itu sudah membuat negara terancam. Membuat persatuan dan kesatuan terancam. Membuat Pancasila terancam.
Tidak itu saja. UU anti teroris dan UU ITE juga di revisi. Maka lengkaplah jalan semakin sempit. Padahal UU teroris dan ITE itu juga selama era SBY tidak pernah bisa di ubah. Karena kekuatan elite politik sangat kuat memberi ruang kepada kita untuk tumbuh dan berkembang dalam narasi perjuangan. Tapi kita masih punya harapan. Pemilu 2019 kita harus rebut kekuasaan. Ya hanya lewat pemilu kita punya hak konstitusi menjatuhkan rezim. Para ulama mampu menguasai Prabowo-Sandi untuk menjadi icon perjuangan bersyariah. Ijtima ULama dikeluarkan untuk itu. Agar semua umat bersatu. Tapi apa yang terjadi? Jokowi menang. Menang yang sangat menyakitkan. Tidak seharusnya terjadi.
Kita belum kalah. Kita harus perjuangkan kemenangan Prabowo sampai batas akhir perjuangan. Allah meridhoi perjuangan kita. Doa umat pasti didengar Allah. MK jalan akhir kita berharap kemenangan. Tetapi di MK pun kita kalah. Kalah yang lebih menyakitkan. Ke mana Allah? Mengapa Allah tidak mendengar doa kita? Demo yang kita lakukan menentang itu, berujung rusuh. BN yang merupakan salah satu pemimpin kita, juga lari keluar negeri karena kasus pidana. Dan setelah itu apa ? Prabowo yang kita banggakan, malah berangkulan dengan PDIP, partai yang kita tuduh pendukung penista Agama. Prabowo yang kita dukung, tetaplah pembela Pancasila, bukan pembela panji kita.
Selama periode kekuasaan Jokowi, kita merasa diatas angin dalam narasi bela Agama dan bela Ulama. Kita sangat yakin presiden yang planga plongo itu terlalu lemah untuk berhadan dengan kita. Tetapi yang terjadi, dialah yang membuat kaki dan tangan kita terpotong. Suara kita tercekit. Langkah semakin tersok. Untuk itu semua, dia tidak berbuat banyak. Terakhir gerakan mahasiswa yang diharapkan dapat memicu gelombang aksi terus berlanjut sampai menjelang pelantikan presiden, berujung rusuh dan mahasiswa pun kehilangan simpatik rakyat banyak. Simpatik terhadap Jokowi semakin meluas. Sebentar lagi pasti akan ada pembersihan kampus dari gerakan khilafah. Para rektor tidak bisa lagi punya alasan, Kalau engga jabatanya akan copot karena UU.
Jokowi hanya diam tanpa amarah dan melihat kita menari dalam narasi perang akbar. Semakin kencang kita menekannya semakin kencang badai menerpa kita dan kita selalu jadi orang kalah. Mengapa ? Kita berdoa hal yang buruk terhadap Jokowi, tetapi yang mendoakan kebaikan jauh lebih banyak untuk Jokowi. Dan Jokowi selalu berdoa yang terbaik untuk kita. Musuh kita bukan Jokowi, tetapi diri kita sendiri, memusuhi hakikat agama kita sendiri. Yang kita hadapi adalah Allah. Itulah sebabnya mengapa setiap gerakan , kita selalu kalah. Manalah mungkin bisa mengalahkan Allah? ya kan.
Mungkinkah kita bisa menyadari ini semua? . Agar kita kembali kepada hakikat islam. Hakikat, cinta bagi semua, rahmatanlilalamin. Menjadi pengawal Pancasila, mejadi obor Persatuan dan kesatuan seperti para ulama pendiri republik ini. Mungkinkah…
Salam
Dalam narasi yang tak sudah.

ABK

Kualitas elite rendah..

  Dari diskusi dengan teman teman. Saya tahu pejabat dan elite kita   berniat baik untuk bangsa ini. Namun karena keterbatasan wawasan dan l...