Saudaraku...
Tahun 2016, umat bersatu dari segala penjuru berdatangan ke Jakarta dengan lantunan Takbir untuk membela fatwa Ulama. Kamu tahu, kan? Suara Imam besar kita meraung ditengah lautan manusia membakar semangat persatuan. Pemimpin kafir itu harus jatuh. Jakarta harus dipimpin oleh orang beriman. Oleh orang yang mendapat restu dari Ulama. Hidden power Islam di aktualkan dalam aksi 411 dan 212. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Orang kafir memang kalah di Pilkada DKI. Imam besar hengkang ke luar negeri dengan kasus yang memalukan. Narasi besar yang kita perjuangkan harus berhadapan dengan Pedang Hukum yang sangat tajam. Presiden mengeluarkan PERPPU Ormas karena itu. HTI dibubarkan. Yang lain terancam kalau tidak patuh kepada Pancasila.
Tahun 2016, umat bersatu dari segala penjuru berdatangan ke Jakarta dengan lantunan Takbir untuk membela fatwa Ulama. Kamu tahu, kan? Suara Imam besar kita meraung ditengah lautan manusia membakar semangat persatuan. Pemimpin kafir itu harus jatuh. Jakarta harus dipimpin oleh orang beriman. Oleh orang yang mendapat restu dari Ulama. Hidden power Islam di aktualkan dalam aksi 411 dan 212. Tapi apa yang terjadi setelah itu? Orang kafir memang kalah di Pilkada DKI. Imam besar hengkang ke luar negeri dengan kasus yang memalukan. Narasi besar yang kita perjuangkan harus berhadapan dengan Pedang Hukum yang sangat tajam. Presiden mengeluarkan PERPPU Ormas karena itu. HTI dibubarkan. Yang lain terancam kalau tidak patuh kepada Pancasila.
Kita meradang marah. Tetapi hanya sebatas marah yang harus dipendam dalam sakit tak terungkapkan. Betapa tidak? 10 tahun SBY berkuasa, kita mampu menghadang setiap rencana ingin mengubah Undang Undang Ormas. Tak ada kekuatan politik yang punya alasan kuat untuk mengubah UU Ormas. Tetapi karena aksi 411 dan 212, TNI dan POlri mendesak presiden agar mengubah UU Ormas. Dan karena itu elite Politik yang selama ini membela kita tidak bisa berbuat banyak. Karena memang aksi 411 dan 212 itu sudah membuat negara terancam. Membuat persatuan dan kesatuan terancam. Membuat Pancasila terancam.
Tidak itu saja. UU anti teroris dan UU ITE juga di revisi. Maka lengkaplah jalan semakin sempit. Padahal UU teroris dan ITE itu juga selama era SBY tidak pernah bisa di ubah. Karena kekuatan elite politik sangat kuat memberi ruang kepada kita untuk tumbuh dan berkembang dalam narasi perjuangan. Tapi kita masih punya harapan. Pemilu 2019 kita harus rebut kekuasaan. Ya hanya lewat pemilu kita punya hak konstitusi menjatuhkan rezim. Para ulama mampu menguasai Prabowo-Sandi untuk menjadi icon perjuangan bersyariah. Ijtima ULama dikeluarkan untuk itu. Agar semua umat bersatu. Tapi apa yang terjadi? Jokowi menang. Menang yang sangat menyakitkan. Tidak seharusnya terjadi.
Kita belum kalah. Kita harus perjuangkan kemenangan Prabowo sampai batas akhir perjuangan. Allah meridhoi perjuangan kita. Doa umat pasti didengar Allah. MK jalan akhir kita berharap kemenangan. Tetapi di MK pun kita kalah. Kalah yang lebih menyakitkan. Ke mana Allah? Mengapa Allah tidak mendengar doa kita? Demo yang kita lakukan menentang itu, berujung rusuh. BN yang merupakan salah satu pemimpin kita, juga lari keluar negeri karena kasus pidana. Dan setelah itu apa ? Prabowo yang kita banggakan, malah berangkulan dengan PDIP, partai yang kita tuduh pendukung penista Agama. Prabowo yang kita dukung, tetaplah pembela Pancasila, bukan pembela panji kita.
Selama periode kekuasaan Jokowi, kita merasa diatas angin dalam narasi bela Agama dan bela Ulama. Kita sangat yakin presiden yang planga plongo itu terlalu lemah untuk berhadan dengan kita. Tetapi yang terjadi, dialah yang membuat kaki dan tangan kita terpotong. Suara kita tercekit. Langkah semakin tersok. Untuk itu semua, dia tidak berbuat banyak. Terakhir gerakan mahasiswa yang diharapkan dapat memicu gelombang aksi terus berlanjut sampai menjelang pelantikan presiden, berujung rusuh dan mahasiswa pun kehilangan simpatik rakyat banyak. Simpatik terhadap Jokowi semakin meluas. Sebentar lagi pasti akan ada pembersihan kampus dari gerakan khilafah. Para rektor tidak bisa lagi punya alasan, Kalau engga jabatanya akan copot karena UU.
Jokowi hanya diam tanpa amarah dan melihat kita menari dalam narasi perang akbar. Semakin kencang kita menekannya semakin kencang badai menerpa kita dan kita selalu jadi orang kalah. Mengapa ? Kita berdoa hal yang buruk terhadap Jokowi, tetapi yang mendoakan kebaikan jauh lebih banyak untuk Jokowi. Dan Jokowi selalu berdoa yang terbaik untuk kita. Musuh kita bukan Jokowi, tetapi diri kita sendiri, memusuhi hakikat agama kita sendiri. Yang kita hadapi adalah Allah. Itulah sebabnya mengapa setiap gerakan , kita selalu kalah. Manalah mungkin bisa mengalahkan Allah? ya kan.
Mungkinkah kita bisa menyadari ini semua? . Agar kita kembali kepada hakikat islam. Hakikat, cinta bagi semua, rahmatanlilalamin. Menjadi pengawal Pancasila, mejadi obor Persatuan dan kesatuan seperti para ulama pendiri republik ini. Mungkinkah…
Salam
Dalam narasi yang tak sudah.
ABK
No comments:
Post a Comment