Sedari kecil anak anak kalau
pulang sekolah yang pertama dipanggilnya adalah ibunya. Apapun masalah mereka bicara dengan ibunya. Semua kebutuhan
mereka meminta kepada ibunya. Bahkan setelah berumah tangga , tetap ibunya
sebagai magnit. Istri saya tidak pernah mengambil keputusan penting soal anak
tanpa persetujuan saya, seperti kapan anak boleh bawa mobil sendiri,kapan boleh
tinggal diluar, izin jalan jalan, dan setiap keputusan saya selalu ada syarat
dan istri saya dapat menyampaikan syarat itu kepada anak anak dengan “bahasa
ibu”. Mengapa mereka lebih dekat kepada ibunya dibandingkan saya? Sebagai anak
yang juga putra dari ibu saya ,saya dapat merasakan alasan anak anak dekat
dengan ibunya. Apa itu ? karena mereka merasakan ketulusan tanpa syarat pada
ibunya. Ibu bagi mereka sebagai kekuatan ketika mereka lemah, sebagai
penyeimbang ketika mereka ragu, sebagai tempat teraman dan terdamai didunia. 5000 tahun sebelum masehi,manusia di
Barat mempercayai “Bunda Agung”.Suatu lambang imajiner tentang ketulusan yang
menentramkan. Semua orang, baik secara individu maupun kolektif menyimpan “bunda agung” sebagai archetype, sebagai
citra yang terawat dalam jiwa. Karena itu mereka bergerak kesatu arah dalam
semangat kebersamaan. Agaknya sama dengan dikita “ibu Pertiwi” yang dipercaya
sebagai tempat yang damai untuk pulang, karena disana ada “pemurah” penuh kasih
dan sayang.
Tapi archetype itu kemudian tersingkir
oleh citra Tuhan sebagai Bapa yang membatasi manusia dengan hukum dan
pembalasan. Agama diperkenalkan tentang reward dan punishement. Tentang sorga
dan neraka. Sesuatu yang sebetulnya agung tentang Tuhan menjadi hablur oleh
prinsip kapitalisme agama. Orang dekat kepada Tuhan karena berharap sorga
dimana semua serba menyenangkan tanpa kerja keras. Sejak itu bunda agung
dipertanyakan, ibu pertiwi diragukan dan ketulusan/keikhlasan berubah menjadi
rakus. Di masa itulah Adam Smith merumuskan pemikirannya tentang ekonomi: pada
mulanya adalah Langka, dan langka pun jadi gerak, dan gerak menuju ke kekayaan.
Ekonomi berjalan dari premis itu. Apalagi dari langka pula lahir nilai. Ketika
kemudian yang berkuasa adalah ”nilai tukar”, uang dan bank pun kian berperan.
Bank, yang memproduksi uang, sekaligus membuat uang sebagai sesuatu yang
terbatas jumlahnya. Dengan memberikan pinjaman seraya memungut bunga, bank akan
memperoleh lebih banyak uang tanpa ia harus memperbanyak uang yang beredar. Di
barat dan juga di Indonesia, uang dan sistem peredarannya itulah yang membuat
Langka dan Rakus ”terus menerus diciptakan dan diperbesar”. Bank Sentral, yang
merawat langkanya uang dengan menjaga suku bunga, secara tak langsung
menguntungkan mereka yang menyimpan uang di bank. Investasi di sektor riil jadi
tak selalu memikat—terutama ketika dana bisa dengan cepat melintasi batas
nasional dalam rangkaian pinjam meminjam dengan bunga berbunga. Lapangan kerja
makin sedikit. Ketimpangan pun menajam, seperti di Indonesia kini, dan semua
itu karena kapitalisme berarti rakus dan rakus berarti tidak ada ketulusan.
China ketika menerima
kapitalisme, yang pertama dikendalikan oleh negara adalah sifat rakus dan tetap
menjadikan Mao sebagai kiblat tentang ketulusan seorang ibu. Bagi Deng, semua
didunia ini hanyalah omong kosong bila
ketulusan tidak ada lagi. Karenanya Deng tidak terlalu mengatur mekanisme pasar
tapi mengatur ritme jantung dari kapitalisme. Apa itu? Uang. Negara memastikan
hanya negara yang tahu nilai uang itu.Tidak boleh ada orang lain tau , apalagi
pihak asing. Berapa kurs RMB tergantung oleh negara bukan oleh pasar. Rakyat
tidak boleh pegang mata uang asing.Rakyat tidak bisa bebas memindahkan dananya
keluar negeri. Berapapun devisa ekspor yang mereka dapatkan, itu akan diambil
oleh negara dan mereka akan mendapatkan RMB. Siapapun yang menempatkan uang
dibank akan rugi dalam jangka panjang karena negara menerapkan pajak
progressive terhadap tabungan/devosito. Orang tidak boleh semakin kaya dengan
hanya tiduran menikmati bunga. Orang harus kerja dengan uangnya agar distribusi
uang melahirkan pabrik dan usaha yang menampung angkatan kerja. China
menerapkan kapitalisme namun by system orang dipaksa “memberi”, dipaksa ikhlas.
Dari itulah negara punya legitimasi dan dipercaya untuk semua orang berkiblat kesatu
arah, Partai Komunis.
Nabi Muhammad SAW datang memperkenalkan
Islam tentang makna ketulusan. Tidak ada batas antara Manusia dengan Tuhan.
Setiap orang beriman percaya bahwa didalam dirinya ada islam, ada rahmatan
lilalamin, ada bunda agung, ada ibu pertiwi, dan ada Tuhan. Semuanya tentang
hakikat memberi dan pemurah. Berkali kali krisis politik dan ekonomi terjadi,indonesia
tetap berdiri tegak bukan karena pemerintah kuat tapi karena didalam diri
rakyat indonesia sebagian besar ada islam. Islam itu adalah ”memberi”. ”Memberi” membebaskan manusia dari
rakus, dari kapitalisme. Hanya dalam memberi, dalam berkorban, orang menemukan
sesuatu yang suci, justru dalam sadar tanpa laba, ya seperti keikhlasan
seorang ibu. Karena ibu, Tuhan membuat
semua menyenangkan, dan mendamaikan. Bila semangat “memberi” memudar,
keikhlasan terhalau maka sebetulnya Islam sudah hilang di negeri ini, karena islam sudah removed dihati umat islam.
Islam yang ada hanyalah islam simbol ritual yang miskin spiritual sosial,yang selalu
bertikai dalam amarah tak berkesudahan...