Waktu kunjungan ke Changsha (
Hunan, China ), teman saya dengan senang hati mengantar saya ke Mesjid untuk
sholat jumat. Lokasi masjid tidak jauh dari Stadion Olah raga dan nampak
terawat sangat baik. Ukuran mesjidnya cukup besar dengan diapit dua menara.
Arsitekturnya sepertinya gabungan dari Arstitektur China dan Spanyol. Tamannya
luas dan bersih. Ketika masuk kedalam masjid , saya bingung karena suasana sunyi.
Apakah saya suda telat. Tapi saya lirik jam saya , ini masih belum waktunya
sholat. Kedatangan saya disambut oleh 5 orang. Mereka semua pengurus masjid.
Mereka membawa saya kedalam masjid. Kemudian, salah satu dari mereka azan. Apakah
mereka sholat Jum’at baru akan dimulai
hanya karena menanti saya.? Belum hilang kebingungan saya, salah satu dari
mereka berdiri dipodium untuk kotbah jumat. Saya tidak paham apa yang
disampaikan namun berlangsung sangat cepat sekali. Usai kotbat Jumat, salah
satunya maju sebagai imam sholat. Makmum sholat jumat ini hanya lima orang,
saya, tukang azan, pengkotbah dan dua lainnya dari pengurus. Semua proses sejak
saya datang sampai selesai sholat jumat, berlangsung kurang lebih 30 menit. Teman saya menjawab kebingunan saya dengan
penjelasan bahwa sebelum saya datang dia sudah menelphone pengurus masjid. Mereka
sudah biasa lakukan untuk para turis,khususnya untuk acara sholat jumat. Tapi
mereka juga melayani untuk turis melakukan sholat lim waktu. Namun imamnya
tetaplah mereka.
Huogongdian (Temple of Fire-god) Restaurant |
Malamnya saya diajak teman
dinner. Tempatnya bekas komplek Vihara. Vihara itu tetap berdiri utuh namun
telah berubah fungsi. Tempat persembahan berubah fungsi menjadi toko cindera
mata dan museum. Dibelakang vihara itu ada asrama para Biksu yang
sudah berubah fungsi menjadi restoran berlantai dua. Suasana restoran seakan
membawa kita kemasa era sebelum revolusi kebudayaan dimana Vihara menjadi
pengikat antara rakyat dengan agamanya. Saya bingung mengapa vihara dirubah
jadi restoran. Sementara masjid di biarkan berdiri. Hal ini saya tanya keteman
saya yang kebetulan adalah pejabat pemda. Menurutnya, China tidak melarang
masjid berdiri tapi melarang umat islam mengorganisir zakat infak dan sadaqah. Mengapa?
Tanya saya tambah bingung. Untuk melemahkan Islam, tidak perlu masjid
dirobohkan tapi larang mereka mengorganisir zakat, infak dan sadaqah. Lambat
namun pasti maka Islam akan memudar dan tentu masjid akan ditinggalkan umat. “
Anda bisa liat tadi di Masjid. Yang sholat hanya anda. Itu yang memimpin ritual
sholat juga tidak paham apa itu Islam. Mereka di training oleh Dinas Pariwista bagaimana
melaksanakan ritual sholat jumat. Pemerintah china menanggung semua kebutuhan biaya
merawat masjid, honor pengelola masjid, dalam pos anggaran kebudayaan.
Lantas mengapa Vihara ditutup,
bahkan diganti dengan restoran.? tanya saya.Dengan tersenyum teman saya itu
berkata,melemahkan budha haruslah dengan menghilangkan tempat ibadah. Karena
tempat ibadah adalah lambang persatuan dan kekuatan mereka. Beda dengan islam,
dimana kekuatan umat Islam itu adalah berbagi satu sama lain. Selagi mereka
berbagi bukan karena agamanya, kita engga peduli. Itu urusan pribadinya dengan
Tuhannya.Tapi kalau di organisir maka mereka menjadi kekuatan yang mengancam
kekuatan negara dimanapun. Saya tidak tahu apakah kata teman ini memang menjadi
kebijakan politik negara China namun sebagai kader Parti komunis china maka itu
dapat dipahami karena Partai Komunis punya dokrin tidak boleh ada isme lain
selain Komunisme. Apapun kekuatan diluar partai Komunis harus dilemahkan. Itu
sebabnya tidak ada isme lain yang bisa hidup ketika Partai Komunis memegang
kekuasaan. Juga bila isme lain seperti Agama memegang kekusaan maka komunisme
tidak boleh ada. Menurut teman itu, bukan hanya komunisme yang melemahkan
gerakan Islam tapi juga isme lain seperti Kapitalisme dan sosialisme.
Kapitalisme menanamkan budaya individualisme dan hedonisme sehingga orang
menjadi individu yang miskin empati untuk berbagi. Sosialisme menanamkan budaya
orang hidup serba tergantung kepada negara sehingga orang malas berproduksi
tentu akhirnya tidak mampu berbagi. Mereka menjadi kumpulan komunitas yang
bergantung kepada negara,bukan kepada Tuhannya. Demikia katanya tersenyum
dengan penuh arti seakan meminta saya tidak hanya sekedar memahaminya.
Saya termenung. Benarlah, dalam
suasana demokrasi sekalipun , walau umat islam mayoritas namun partai yang
mengusung bendera islam tetap tidak bisa
unggul. Banyak ormas islam tidak punya
pengaruh besar menentukan arah kebijakan politik yang bersumber kepada Al Quran
dan hadith. Banyak sekali aliran Islam berjuang untuk tegaknya syariah islam
namun mereka bagaikan kunang kunang atau
buih ditengah laut yang mudah tersibak oleh sampan terkecil. Teman saya ada
benarnya bahwa walau Islam mayoritas tapi kekuatan islam semakin melemah karena
semakin memudarnya semangat berbagi dan digantikan oleh budaya individualistik.
Begitu banyak kegiatan tabligh Akbar diadakan dimasjid namun itu tak lebih seperti
ajang motivasi keimanan dan ketaqwaan, bukan ajang berbuat nyata dalam program
berbagi. Seperti program The Tzu Chi yang menggalang semua orang dari semua
lapisan untuk berbagi. Ya berbagi apa saja yang mereka punya untuk cinta. Saya rasa tidak ada salahnya belajar dari gerakan
Tzu Chi. Saya yakin apabila gerakan ormas Islam bisa meniru cara Tzu Chi maka
gerakan itu tidak akan butuh waktu lama untuk menjadi kekuatan yang
diperhitungkan. Karena umat islam mudah sekali tersentuh kepada siapapun yang
membelanya bukan lewat kata kata tapi lewat perbuatannya. Karena islam itu ada
di hati dan hati hanya bisa ditaklukan dengan cinta. Ormas islam harus mampu merebut cinta itu
dengan program cinta.
Semoga kita mendapatkan hikmah
dari keadaan di China. Kalau kekuatan spritiual kita di masjid tidak
menimbulkan semangat berbagi maka tunggulah kekuatan umat Islam akan memudar
dan akhirnya kalah total...KIni kita sudah kalah tapi belum kalah total. Tidak
ada salahnya untuk berbenah diri..mari kerja ,kerja dan perterbal empati agar
bisa berbagi...
No comments:
Post a Comment