Pada dasarnya masyarakat
Indonesia itu direkat oleh hubungan Patron –Klen. Istilah ‘patron’ berasal dari
ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti ‘seseorang yang memiliki
kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh. Sedangkan klien berarti ‘bawahan’ atau orang
yang diperintah dan yang disuruh. Selanjutnya, pola hubungan patron-klien
merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak
sederajat, baik dari segi status, kekuasaan, maupun penghasilan, sehingga
menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior), dan patron
dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior). Atau, dapat pula diartikan bahwa
patron adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya.
Pola relasi seperti ini di Indonesia lazim disebut sebagai hubungan bapak-anak
buah, di mana bapak mengumpulkan kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara
membangun sebuah keluarga besar atau extended family. Setelah itu, bapak harus
siap menyebar luaskan tanggung jawabnya dan menjalin hubungan dengan anak
buahnya tersebut secara personal, tidak ideologis dan pada dasarnya juga tidak
politis. Pada tahap selanjutnya, klien membalas dengan menawarkan dukungan umum
dan bantuan kepada patron. Para Patron ini adalah mereka ketua Adat, pemuka
Agama, tokoh masyarakat atau orang yang dituakan, para cerdik pandai, bangsawan,ketua
LSM. Mereka bukanlah pejabat formal
namun secara defakto kekuasaan mereka real. Mereka dihormati dan disegani oleh
komunitasnya.
Kalaulah Patron – Klen itu tumbuh
secara alamiah maka itu bagus.Karena dia diuji oleh waktu dan tentu penghargaan
dari klen atas dasar pengabdian tulus Patron. Namun rusaknya Patron Klein ini adalah ketika era kolonial. Pemerintah
Belanda sengaja ikut campur dalam terbentuknya Partron ditengah masyarakat. Seseorang
yang dikenal dekat dan loyal dengan
Belanda saja yang diakui sebagai patron. Karena rakyat tidak bisa lari
dari ketergantungan dengan pemerintah maka mereka tidak bisa menolak ketika patron yang harus mereka
ikuti tidak sepenuhnya yang mereka inginkan.
Menempatkan Soekarno sebagai Boneka di zaman Jepang juga adalah satu
bentuk mengendalikan klen untuk setia kepada kepentingan pemerintah (jepang). Terpilihnya
Soekarno sebagai Presiden karena faktor Patron dimana orang jawa sangat
mengagumi Soekarno. Para pendiri negara sadar betul akan kepatronan Soekarno dihadapan penduduk yang hampir 100
juta ketika itu. Ketika PEMILU diadakan tahun 1955 , sudah dapat ditebak bahwa
para Patron yang ada ditengah masyarakat Indonesia , yang tadinya patuh dibawah
Soekarno, terpecah belah sesuai dengan bendera Partai. Soekarno melihat ini
sebagai suatu realitas yang bisa menjadi ancaman bila tidak dikelola. Itu
sebabnya Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin untuk menarik kelompok nasionalis, agama, komunis dalam satu
barisan. Karena hanya mereka inilah para
patron yang real ditengah masyarakat.
Jatuhnya Soekarno karena
kehebatan operasi inteligent yang menarik keluar barisan agama dari kekuatan
Soekarno. Issue yang ditebarkan ketengah rakyat adalah bahwa Komunis anti
Tuhan. PKI akan membunuh semua orang beragama utamanya umat islam. Black
Campaign ini berhasil membangkitkan pembrontakan dikalangan patron islam untuk
bersama sama dengan Tentara mengganyang PKI dan sekaligus menjatuhkan Soekarno.
Ketika Soeharto tampil , cara cara menggunakan patron sebagai penghubung antara
pemerintah dengan rakyat tetap digunakan. Karenanya Soeharto bersama TNI ikut
aktif mengawasi terbentuknya Patron ditengah masyarakat. Hanya mereka yang
dikenal loyal saja yang bisa diakui sebagai Patron. Golkar sebagai mesin
politik Soeharto tahu betul bagaimana
menggalang kekuatan dari para patron ini. Makanya Golkar selalu menjadi
pemenang dalam setiap pemilu. Namun bagaimanapun keberadaan patron yang tidak
tumbuh secara alamiah dan lebih karena rekayasa kekuasaan atau dipaksakan
dicangkokan ditengah klen sebetulnya adalah kekuatan mengambang. Terbukti
ketika era Reformasi dan diberlakukannya demokrasi langsung, patron karena
faktor agama , budaya, sosial , kalah oleh Partai Demokrat yang tidak mengusung patron yang
sudah exist tapi mendekati patron real yang selama era Soeharto diabaikan.
Mereka inilah yang jadi kekuatan untuk mempengaruhi rakyat untuk tidak patuh
kepada tokoh agama , tokoh masyarakat dan lainnya karena kemaruk soal harta dan
mengabaikan tujuan kemakmuran. Partai Demokrat unggul karena sebagian besar memang
rakyat ( klen ) sudah muak dengan patron yang exist tersebut.
Walau berbagai daerah existensi
patron bentukan Golkar rezim Soeharto sebagian besar tereliminasi oleh angin
kencang reformasi namun tidak bagi Banten, yang setelah reformasi termasuk
daerah yang tetap dipagar oleh patron bentukan Golkar. Hal ini karena ada satu tokoh masyarakat
bernama Chasan Sochib. Katanya dia bergelar Tubagus karena merupakan keturunan
Sultan Banten. Ketokohannya sangat berpengaruh di Banten. Dia pula yang
menggalang para patron yang ada di Banten untuk meminta DPR mengesahkan
pemisahan Banten dari Jawa Barat. Dengan Banten sebagai provinsi maka Golkar
dapat lebih leluasa melokalisir kekuatan politiknya diwilayah ini dan menjadi
penyumbang suara terbesar dalam PEMILU dibandingkan wilayah lainnya. Namun
karena keberadaan patron itu bukan
karena niat untuk pengabdian atas dasar agama, budaya tapi karena kepentingan
pribadi maka instrik diantara patron tidak bisa dihindarkan. Mereka tidak
peduli dengan klen ( rakyat). Mereka hanya peduli pada diri mereka sendiri. Diantara
mereka punya prinsip “berbeda pendapat kalau pendapatan berbeda. Artinya selagi
“bagi bagi”kue tidak adil maka mereka akan saling bunuh diantara mereka. Itu sebabnya
Djoko Munandar kader Golkar yang jadi Gubernur Banten tersingkir karena kasus korupsi,dan
digantikan oleh Atut. Menurut cerita ia
tersingkir karena konplik Patron dari Ayah Atut ( Chasan Sochib ). Kini apa yang menimpa Atut percis sama seperti
kejatuhan Djoko Munandar,namun penggantinya adalah Rano Karno yang konon
katanya PDIP berhasil meng eliminate sebagian besar patron bentukan golkar di
Banten melalui politik “wong cilik”.Ya untuk banten yang sebagian besar
rakyatnya masih sangat miskin, jargon Wong Cilik “ itu sangat ampuh untuk
menarik rakyat keluar dari status quo.
Kalaulah hubungan Patron klen itu
atas dasar untuk kebaikan demi kebenaran dan tegaknya keadilan maka kemakmuran dan kesejahteraan akan terjadi ditengah
masyarakat. Pengikat Patron dengan klen yang sangat kokoh adalah cinta dan
kasih sayang atas dasar agama dan budaya. Tanpa dasar cinta dan kasih sayang
maka hubungan patron klen hanyalah hubungan kapitalis yang dapat luntur oleh
waktu dan kondisi, dan Atut sudah merasakannya kini. Tugas Rano Karno bersama kader PDIP di Banten untuk mengembalikan patron klen tumbuh secara alamiah dan menjadi kekuatan real ditengah masyarakat dalam membangun Banten menjadi lebih baik , lebih makmur dari sebelumnya.