Uje atau Ustadz Jeffry Al Buchori
tutup usia akibat peristiwa kecelakaan bermotor dijalan raya. Ribuan pengiring
jenazah mengantarnya ketempat peristirahatan terakhir. Ustadz Jeffry adalah icon
anak muda yang sukses sebagai Dai dikota besar. Sebelum menjadi Dai, dia sempat terjerumus oleh budaya kota yang brengsek. Ketika dia bertobat, dia menemukan dirinya dan
mengabdikan dirinya untuk dakwah. Berkat media massa, ia menjadi populer layaknya selebritis. Program acaranya di TV mendapat rating tinggi.
Business travel menjual paket super plus untuk Umroh bareng ustadz Jeffry, laku keras. Di Jakarta ada ratusan masjid. Ada ratusan majelis taklim. Ada ratusan kelompok pengajian. Yang kesemuanya membutuhkan Dai sebagai pencerah. Kehadiran Dai berkelas selebritis dalam suatu acara sudah menjadi trend image bagi komunitas kelas menengah atas. Dan tentu semua berhubungan dengan business yang dikelola secara managerial. Dari kegiatan berdakwah itu rezeki mengalir deras sehingga membuat dia menjadi kelompok menengah yang punya kendaraan mewah , rumah mewah dan motor mewah ( motor besar ber cc 650).
Menjadi ustadz dikota besar seperti Jakarta, menurut teman saya sama dengan menerangkan tempat yang terang benderang. Mengapa ? karena sumber ilmu dan tempat bertanya tersebar luas dimana mana. Artinya pedakwah berada disuatu komunitas yang sudah “melek” lahir batin tentang agama. Namun Jakarta juga merupakan komunitas yang paling banyak orang "lupa". Tempat mereka yang lupa itu bukan berada di Masjid, di studio TV yang biasa hadir mendengar ceramah sang Dai tapi di Penjara, di Rumah Sakit, di Lokalisasi pelacuran, di Panti Rehabilitasi, Panti Sosial. Mereka adalah korban akibat budaya kota yang brengsek. Seharusnya ketempat tempat itulah mereka harus didatangi oleh Dai agar mereka bertobat dan dekat kepada ALlah. Namun tak banyak ustadz yang mau mendatangi tempat itu. Tak banyak yang siap untuk datang berdakwah tanpa dibayar apapun. Apalagi kalau sudah menjad Dai terkenal dan acap muncul di media TV, bahkan sudah pula menjadi bintang iklan.Maka semakin jauh untuk mendekat kepada komunitas yang lupa itu, sebagaimana Madam Teresa lakukan di komunitas muram kota Bombai. Sebetulnya ada banyak ustadz hebat berkelas ulama yang mewakafkan hidupnya untuk syiar agama didaerah terpencil. Mereka berjuang tanpa lelah, tanpa uang saku hanya karena mencari ridho Allah.
Menjadi ustadz dikota besar seperti Jakarta, menurut teman saya sama dengan menerangkan tempat yang terang benderang. Mengapa ? karena sumber ilmu dan tempat bertanya tersebar luas dimana mana. Artinya pedakwah berada disuatu komunitas yang sudah “melek” lahir batin tentang agama. Namun Jakarta juga merupakan komunitas yang paling banyak orang "lupa". Tempat mereka yang lupa itu bukan berada di Masjid, di studio TV yang biasa hadir mendengar ceramah sang Dai tapi di Penjara, di Rumah Sakit, di Lokalisasi pelacuran, di Panti Rehabilitasi, Panti Sosial. Mereka adalah korban akibat budaya kota yang brengsek. Seharusnya ketempat tempat itulah mereka harus didatangi oleh Dai agar mereka bertobat dan dekat kepada ALlah. Namun tak banyak ustadz yang mau mendatangi tempat itu. Tak banyak yang siap untuk datang berdakwah tanpa dibayar apapun. Apalagi kalau sudah menjad Dai terkenal dan acap muncul di media TV, bahkan sudah pula menjadi bintang iklan.Maka semakin jauh untuk mendekat kepada komunitas yang lupa itu, sebagaimana Madam Teresa lakukan di komunitas muram kota Bombai. Sebetulnya ada banyak ustadz hebat berkelas ulama yang mewakafkan hidupnya untuk syiar agama didaerah terpencil. Mereka berjuang tanpa lelah, tanpa uang saku hanya karena mencari ridho Allah.
Teman sepermainan saya ketika kecil yang kini berjihad di Desa terpencil di Lampung sebagai Ustadz. Disamping mengajar mengaji dan imam masjid , dia juga bertani serta menjadi tukang di desa itu. Tidak hanya memberikan pencerahan soal agama tapi juga soal bertani dan ketrampilan tukang kayu. Bila ada pertikaian rumah tangga ,dia akan menjadi hakim yang adil. Bila ada sengketa soal tanah, dia menjadi hakim yang sejuk. Apapun permasalahan sehari hari warga desa akan selalu datang kepadanya untuk diselesaikan. Walau begitu dia bukanlah Kepala Desa. Dia hanya guru lulusan PGA ( Pendidikan Guru Agama). Walau itu adalah desa terpencil yang jarang didantangi pejabat dari kota, yang tak ada lampu listrik namun warga desa itu merasa hidup terang benderang karena seorang ustandz yang hadir ditengah mereka. Ustadz yang selalu tersenyum menghadapi hidup yang tak ramah ini , yang selalu memberikan inspirasi kepada warga desa untuk tetap punya hope. Kehadian Dai bersertifikasi ustadz sangat diperlukan di daerah yang jauh dari uang saku ceramah. Sangat diperlukan. Mengapa ?
Seorang warga Papua, yang menjadi
muallaf 5 tahun yang lalu, tetapi belum tahu Al Fatihah dan belum bisa shalat.
Alasannya? Belum pernah ada yang mengajarkannya! Mungkin dulu dia dengar
ceramah, atau diskusi dengan seorang Muslim, sehingga merasa yakin bahwa Islam
adalah agama yang benar dan mau masuk Islam. Tapi setelah itu, dia tidak ketemu
seorang ustadz yang bisa membinanya, jadi hanya baca syahaddat saja. Setelah 5
tahun, dia merasa diabaikan dan tidak pernah ketemu ustadz, jadi akhirnya dia
putus asa, tinggalkan Islam dan kembali ke agama Kristen. Demikian cerita yang
saya dapat dari Blog pribadi Pegiat Islam. Apakah mualaf itu salah sehingga
pantas kafir ? saya tidak tahu. Yang pasti ketika hidayah dibukakan Allah kepadanya,
tidak ada satupun umat islam yang terpanggil untuk menjadi Pembina sang mualaf
itu. Kita bisa saja berdalih bahwa itu bukan urusan kita. Kita bisa saja
berdalih apa saja. Tapi yang harus
diketahui bahwa memang hidayah hak Allah namun segala sesuatunya dibumi ini
harus bertemu antara syariat dan hakikat. Untuk sampainya hakikat ilahiah maka
perlu syariat dengan hadirnya Rasul dimuka bumi sebagai messanger tentang
hakikat itu.
Karena Rasul tidak akan ada lagi
setelah Nabi Muhammad tutup usia. Siapapun yang merasa punya ilmu agama cukup
maka dia memikul tanggung jawab untuk menjadi pencerah ditempat yang gelap. Sebetulnya
tanggung jawab dakwah itu bukan hanya orang berilmu agama. Siapapun kita yang
beragama Islam punya tunggung jawab yang sama (Ali Imran:104). Bila kita tidak
mampu melangkahkan kaki untuk berjihad maka gunakan harta untuk membantu
perjuangan itu. Ada teman saya seorang pengusaha yang memberikan zakatnya
kepada Ustadz atau Dai yang tinggal di daerah terpencil. Uang zakat itu untuk
kebutuhan biaya hidup ustadz berserta keluarganya dan diapun menanggung biaya
asuransi kesehatan bagi ustadz dan keluarganya. Apabila orang berilmu dan orang
berharta bersatu dalam berjihad demi tegaknya syiar Islam maka perjuangan Islam
akan hebat sehebat ketika awal Rasul mensyiarkannya. Bukan masalah siapa
digaris depan dan siapa digaris belakang. Tapi semua berbuat karena ingin meninggikan
kalimat Allah, demi tegaknya kebenaran, kabaikan dan keadilan dimuka bumi.