Apa yang terjadi setelah crisis
global. Pada tahap awal (2008) kepanikan hanya bersifat terbatas yaitu para
mereka yang terlibat langsung dalam permainan pasar uang. Namun tahun demi
tahun kepanikan semakin meluas. Apa pasal? Seorang teman di Eropa
bercerita kepada saya bahwa sebelum krisis global dia menanamkan semua dana
tabungannya serta dana pinjaman pensiunnya untuk berinvestasi di pasar uang dan
modal. Bertahun tahun kondisi tersebut membuat dia sangat aman secara financial
karena dia tetap bisa berkonsumsi melalui berhutang ( instant loan) dengan
jaminan porfollio investasinya dan setiap bulan dia mendapatkan yield yang
jumlahnya kadang lebih besar dibandingkan biaya hidupnya sebulan. Karena itu
dari waktu ke waktu jumlah dana dalam investasi portfolio semakin dia tambah
dan perbesar. Dari semua itu dia sudah bermimpi banyak tentang masa depannya
setelah pensiun. Tapi apa yang terjadi kini? Semua portfolio investasinya jatuh nilainya karena market
fall down. Kini hidup tanpa asuransi, lambat namun pasti sisa harta tergerus oleh biaya hidup yang semakin mahal (efek inflasi). Hanya masalah waktu , dia akan tamat...
Apa yang
menimpa teman saya itu juga terjadi bagi
99% kelompok menengah di Eropa, AS dan ASIA. TIdak ada lagi pesta akhir
tahun ketempat tempat wisata berkelas. Tidak ada lagi kebebasan financial untuk
berkosumsi apa saja. Tidak ada lagi bonus dan gaji ke 14 karena perusahaan
semakin kehilangan pasar untuk terus berproduksi. Ada yang masih beruntung karena tidak terkena PHK namun biaya hidup yang
sudah terlanjur mahal tak bisa lagi ditutupi dari pendapatan gaji yang tanpa
bonus. Yang terkena PHK dihadapkan pada
biaya hidup yang tinggi dan tekanan debt collector atas hutang kredit konsumsi
seperti rumah, kendaraan dan lain lain. Makanya tak aneh banyak terjadi bunuh
diri. Banyak yang gila. Banyak rumah tangga hancur. Banyak orang tua terlunta
lunta di jalanan. Tingkat homeless meningkat, Tingkat jobless meningkat. Apa
yang terjadi kini adalah proses yang by design seharusnya sedari awal sudah
disadari oleh public. Tapi mereka terlena karena kemudahan dan kemanjaan yang
di create oleh pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan ( ilusi).
Semua tahu bahwa sebelum krisis, AS dan Eropa menjadi tutor bagi negara manapun untuk mengelola pertumbuhan ekonomi. Kampusnya menjadi incaran para mahasiswa diseluruh dunia. Betapa tidak? Lihatlah faktanya, kata teman saya. Banjirnya likuiditas perbankan, tingginya index bursa, rendahnya suku bunga, tingginya angka pertumbuah ekonomi, telah membuat pemerintah merasa yakin bahwa semua berjalan dengan baik. Kepercayaan public di indikasikan dengan tingginya rating surat hutang pemerintah, tingginya rating lembaga perbankan, tingginya rating emiten 500 fortune. Secara makro sehat. Bagaimana mikro? Ada excuse ketika sector produksi dalam negeri menurun. Sudah saatnya eropa dan AS tidak lagi membuat barang barang remeh. Biarkan Negara lain yang buat. AS dan Eropa berfocus kepada high tech yang berbasis riset. Karenanya harus ada penyesuain paradigm dari industry remeh ke industry berat. Upah harus dinaikan berlipat. Akibatnya Industri remeh tak sanggup mengikuti UMR yang tinggi , yang bertahan kalah bersaing dengan barang buatan china yang murah.Akibatnya yang kecil terpaksa hengkang ke China dan Vietnam. Namun, industry high tech tak memberikan output yang hebat. Akumulasi modal nasional semakin tidak efisien namun pemerintah tetap tidak menyadari akan hal itu dan terus hidup dalam manajemen ilusi.
Semua tahu bahwa sebelum krisis, AS dan Eropa menjadi tutor bagi negara manapun untuk mengelola pertumbuhan ekonomi. Kampusnya menjadi incaran para mahasiswa diseluruh dunia. Betapa tidak? Lihatlah faktanya, kata teman saya. Banjirnya likuiditas perbankan, tingginya index bursa, rendahnya suku bunga, tingginya angka pertumbuah ekonomi, telah membuat pemerintah merasa yakin bahwa semua berjalan dengan baik. Kepercayaan public di indikasikan dengan tingginya rating surat hutang pemerintah, tingginya rating lembaga perbankan, tingginya rating emiten 500 fortune. Secara makro sehat. Bagaimana mikro? Ada excuse ketika sector produksi dalam negeri menurun. Sudah saatnya eropa dan AS tidak lagi membuat barang barang remeh. Biarkan Negara lain yang buat. AS dan Eropa berfocus kepada high tech yang berbasis riset. Karenanya harus ada penyesuain paradigm dari industry remeh ke industry berat. Upah harus dinaikan berlipat. Akibatnya Industri remeh tak sanggup mengikuti UMR yang tinggi , yang bertahan kalah bersaing dengan barang buatan china yang murah.Akibatnya yang kecil terpaksa hengkang ke China dan Vietnam. Namun, industry high tech tak memberikan output yang hebat. Akumulasi modal nasional semakin tidak efisien namun pemerintah tetap tidak menyadari akan hal itu dan terus hidup dalam manajemen ilusi.
Mengapa ilusi? Karena
Peningkatan sisi permintaan yang tinggi tidak didasarkan kepada pendapatan real
tapi kebijakan moneter untuk memungkinkan perbankan melakukan eskpansi kredit
konsumsi. Sementara sisi produksi melemah kalah akibat konpetisi global dan
konsumen lebih cenderung membeli barang import yang berkualitas dan murah. Pada
diri public ( pengusaha) melekat satu
prinsip “kalau bisa beli kenapa harus bikin” dan pemerintah mengaminkan dengan kata
kata “ apa lagi kalau membeli jauh lebih murah daripada bikin sendiri. “ karenanya
produksi China diterima dengan senang hati. Walau bukanlah produk berbasis
tekhnologi tinggil. Hanya produk sederhana seperti mainan anak anak, sikat
gigi, sepatu, pakaian, alat dapur ,tusuk gigik , peniti, jarum, dll. Namun karena
jumlahnya massive dan berkesinambungan, maka tanpa disadari sebagian besar
barang yang di konsumsi bangsa AS dan Eropa dari sejak bangun tidur sampai
tidur kembali berasal dari pabrik yang ada dichina. Dari depan rumah sampai ke
setiap sudut rumah , pasti terdapat barang bermerek Made in china. Ketika krisis terjadi, China tampil sebagai lender bagi AS dan Eropa untuk memberikan solusi dan sekaligus pelajaran " jangan malas, jangan manja". Bisahkan AS dan Eropa mendapatkan pelajaran?
Menurut teman saya bahwa yang membuat bangsa Eropa dan AS menjadi pemimpin peradaban modern yang
ditandai dengan semangat inovasi, pioniritas, kreatifitas, pekerja keras dan
pantang menyerah, karena budaya. Satu satunya yang membuat budaya menjadi alat perjuangan manusia menyelesaikan masalah kesehariannya adalah agama. Agama menuntun orang untuk berbudaya kasih sayang , kerjasama, hormat menghormati, kerja keras, kreatif, inovatif, pionir dan adil. Jadi mengapa dengan budaya itu? tanya saya. Budaya itu sudah mengabur karena agama sudah lama ditinggalkan kecuali hanya sebagai ritual simbolik status dan bukan sebagai alat untuk membangun peradaban unggul. Generasi yang ada kini telah terkooptasi
dengan slogan, “buy low sell high and pay later”. Masalahnya yang low menjadi
mahal dan yang mahal tak laku dijual sementara yang mau menerima syarat pay
later sudah tidak ada lagi karena lost trust. Kini semua telah terjadi. Amerika dan Eropa bukan hanya menghadapi masalah ekonomi tapi masalah budaya. Ini tidak bisa diselesaikan dengan cepat. Butuh waktu panjang dan lama. Apakah AS dan Eropa bisa menyadari ini?
Kita harus mendapatkan hikmah
dari kejatuhan Eropa dan AS. Pertahankan agama agar budaya kasih sayang dan gotong royong tetap menjadi keseharian kita. Apapun yang terjadi kita akan tetap menjadi bangsa yang kuat, karena iman dan ikhsan.