Dari sekumpulan anak anak yang asyk bermain dan para orang tua yang duduk diam sambil memandangi lintas jalan tol yang macet merayap. Ada kesan haru biru dari wajah wajah mereka. Dari kehidupan damai dalam kumpulan komunitas desa kini terdampar ditempat pengungsian. Lambat namun pasti desa yang damai telah berubah menjadi kubangan Lumpur panas. Rahmadhan yang khusu terganggu sudah oleh prahara yang seharusnya tidak perlu terjadi. Mereka adalah rakyat yang lemah. Bahkan terlalu lemah untuk melawan hegemoni penguasa yang maha berkuasa dinegeri ini.
Tragedi luapan lumpur Lapindo semakin menambah buram rentetan pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak-hak dasar lainnya, khususnya bagi kelompok khusus, yaitu anak-anak, perempuan, manusia lanjut usia, penyandang cacat, dan lainnya, oleh korporasi penambangan di Nusantara. Tercatat untuk sementara ada enam desa yang harus ditenggelamkan atau dikorbankan karena tanggul yang ada dipastikan tidak akan mampu menahan luapan lumpur yang semakin ganas, terlebih musim hujan akan segera datang.
Walaupun pemerintah melalui Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah berkilah bahwa ini bukan bencana nasional, tapi kenyataannya luapan lumpur Lapindo telah menyebabkan kerugian dan dampak kehidupan secara langsung bagi belasan ribu manusia dan secara tidak langsung bagi puluhan ribu orang lainnya. Lumpur telah merusak habitat tempat manusia menjalankan roda penghidupannya selama ini.
Tragedi ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat mahal dari alam akibat kecerobohan manusia dan korporasi, sehingga persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan pada persoalan ganti rugi atau ganti untung semata. Masa depan hidup dan sumber penghidupan belasan ribu manusia telah direnggut. Mereka mengalami stres, bingung, marah, dan gamang menatap masa depan mereka. Kehilangan rumah, tanah, dan terpisah dari keluarga serta leluhur merupakan bentuk kehilangan identitas diri dan budaya yang tidak bisa dilupakan serta diganti begitu saja. Relokasi masyarakat ke tempat yang baru, apalagi yang tidak sesuai dengan ekosistem asal, akan menimbulkan rumitnya persoalan, karena harus beradaptasi dan berakulturasi dengan masyarakat yang telah ada di sekitar wilayah relokasi tersebut dengan potensi sumber daya alam yang berbeda dengan daerah asal.
Persoalan lain yang mengemuka, mana yang lebih penting, keselamatan manusia atau kelestarian lingkungan alam. Ini merupakan sebuah trade-off yang harus diperhitungkan dengan hati-hati. Persoalan keselamatan penduduk adalah hal yang urgen dan mendesak untuk segera diselesaikan. Adapun persoalan lingkungan berdimensi jangka panjang dan jika tidak hati-hati akan semakin memperluas tragedi yang masih berlangsung, baik bagi alam maupun masyarakat lainnya. Di sinilah kebijakan pemerintah dan masyarakat diuji untuk mencari penyelesaian yang terbaik, khususnya bagi perlindungan hak asasi manusia.
Penduduk jawa memang menghadapi ancaman serius akan masa depannya. Didalam perut bumi mereka terkandung potensi sumber daya mineral yang membuat para petualang korporasi berusaha untuk menggalinya. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada 2002, ada 42 blok penambangan di Pulau Jawa dan perairan sekitarnya. Jumlah ini masih terus bertambah lagi mengingat potensi sumber daya mineral dan tambang yang diperkirakan masih sangat besar di perut Pulau Jawa. Di Jawa Timur saja, pada 2002, ada peningkatan dari 20 blok menjadi 28 blok pada 2006. Bisa dibayangkan betapa rawan kehidupan masyarakat di sekeliling proyek karena Pulau Jawa mempunyai konsentrasi penduduk yang sangat besar dengan 65 persen penduduk Indonesia ada di Jawa. Jumlah penduduk di sekitar blok-blok penambangan mencapai sekitar 62 juta jiwa dari total sekitar 130 juta penduduk di Pulau Jawa. Pulau Jawa yang rawan bencana akan bertambah rentan karenanya.
Mereka kaum yang lemah hanya pasrah menatap masa depannya. Tentu sambil berharap agar ada kebijakan public yang lebih berkeadilan bagi masa depan mereka. Akankah pemerintah menutup mata dengan peristiwa ini hingga menganggap ini hanyalah bagian dari peristiwa alam. Akankah para korporasi yang rakus dapat mengembalikan kesadaran manusiawinya untuk lebih peduli akan lingkungan hidup dari mereka yang tidak pernah mengerti apa apa dari proses tekhnologi memanfaatkan potensi alamnya.. Hanya orang yang bebal yang tidak dapat mengambil hikmah dari peristiwa ini. Betulkan Bang Ical ?
Tragedi luapan lumpur Lapindo semakin menambah buram rentetan pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak-hak dasar lainnya, khususnya bagi kelompok khusus, yaitu anak-anak, perempuan, manusia lanjut usia, penyandang cacat, dan lainnya, oleh korporasi penambangan di Nusantara. Tercatat untuk sementara ada enam desa yang harus ditenggelamkan atau dikorbankan karena tanggul yang ada dipastikan tidak akan mampu menahan luapan lumpur yang semakin ganas, terlebih musim hujan akan segera datang.
Walaupun pemerintah melalui Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah berkilah bahwa ini bukan bencana nasional, tapi kenyataannya luapan lumpur Lapindo telah menyebabkan kerugian dan dampak kehidupan secara langsung bagi belasan ribu manusia dan secara tidak langsung bagi puluhan ribu orang lainnya. Lumpur telah merusak habitat tempat manusia menjalankan roda penghidupannya selama ini.
Tragedi ini merupakan sebuah pelajaran yang sangat mahal dari alam akibat kecerobohan manusia dan korporasi, sehingga persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan pada persoalan ganti rugi atau ganti untung semata. Masa depan hidup dan sumber penghidupan belasan ribu manusia telah direnggut. Mereka mengalami stres, bingung, marah, dan gamang menatap masa depan mereka. Kehilangan rumah, tanah, dan terpisah dari keluarga serta leluhur merupakan bentuk kehilangan identitas diri dan budaya yang tidak bisa dilupakan serta diganti begitu saja. Relokasi masyarakat ke tempat yang baru, apalagi yang tidak sesuai dengan ekosistem asal, akan menimbulkan rumitnya persoalan, karena harus beradaptasi dan berakulturasi dengan masyarakat yang telah ada di sekitar wilayah relokasi tersebut dengan potensi sumber daya alam yang berbeda dengan daerah asal.
Persoalan lain yang mengemuka, mana yang lebih penting, keselamatan manusia atau kelestarian lingkungan alam. Ini merupakan sebuah trade-off yang harus diperhitungkan dengan hati-hati. Persoalan keselamatan penduduk adalah hal yang urgen dan mendesak untuk segera diselesaikan. Adapun persoalan lingkungan berdimensi jangka panjang dan jika tidak hati-hati akan semakin memperluas tragedi yang masih berlangsung, baik bagi alam maupun masyarakat lainnya. Di sinilah kebijakan pemerintah dan masyarakat diuji untuk mencari penyelesaian yang terbaik, khususnya bagi perlindungan hak asasi manusia.
Penduduk jawa memang menghadapi ancaman serius akan masa depannya. Didalam perut bumi mereka terkandung potensi sumber daya mineral yang membuat para petualang korporasi berusaha untuk menggalinya. Menurut data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pada 2002, ada 42 blok penambangan di Pulau Jawa dan perairan sekitarnya. Jumlah ini masih terus bertambah lagi mengingat potensi sumber daya mineral dan tambang yang diperkirakan masih sangat besar di perut Pulau Jawa. Di Jawa Timur saja, pada 2002, ada peningkatan dari 20 blok menjadi 28 blok pada 2006. Bisa dibayangkan betapa rawan kehidupan masyarakat di sekeliling proyek karena Pulau Jawa mempunyai konsentrasi penduduk yang sangat besar dengan 65 persen penduduk Indonesia ada di Jawa. Jumlah penduduk di sekitar blok-blok penambangan mencapai sekitar 62 juta jiwa dari total sekitar 130 juta penduduk di Pulau Jawa. Pulau Jawa yang rawan bencana akan bertambah rentan karenanya.
Mereka kaum yang lemah hanya pasrah menatap masa depannya. Tentu sambil berharap agar ada kebijakan public yang lebih berkeadilan bagi masa depan mereka. Akankah pemerintah menutup mata dengan peristiwa ini hingga menganggap ini hanyalah bagian dari peristiwa alam. Akankah para korporasi yang rakus dapat mengembalikan kesadaran manusiawinya untuk lebih peduli akan lingkungan hidup dari mereka yang tidak pernah mengerti apa apa dari proses tekhnologi memanfaatkan potensi alamnya.. Hanya orang yang bebal yang tidak dapat mengambil hikmah dari peristiwa ini. Betulkan Bang Ical ?