Ada tiga teori tentang loyalitas pemilih dalam pemilihan umum. Yang partama adalah teori Identification atau Michigan Model ( 1997) yang menjelaskan bahwa pemilih mengindentifikasikan diri dengan partai politik yang mereka dukung. Artinya pemilih menentukan pilihannya sesuai dengan paham partai tersebut ( demokrat, sosialis atau nasionalis ). Kedua, adalah pendekatan social loyality, dikenal dengan model eropa yang mengatakan variable identitas sosial adalah faktor lain penentu perilaku pemilih dalam pemilihan. Artinya dalam teori ini pemilih tidak lebih sebagai alat penegasan pemilih ( voters affirmation ) terhadap loyalitas sosial tertentu seperti agama, etnisitas komunitas dimana mereka dilahirkan, atau kesamaan profesi dll. Ketiga, adalah teori kompetensi dan integritas calon. Artinya pemilih lebih tertarik pada kualitas kandidat yang berlaga dipemilihan , atau isu kampanye yang dikomunikasikan pasangan calon, tanpa mempersoalkan identitas sosial kandidat.
Di Indonesia yang menerapkan pemilihan langsung, kelihatannya system sengaja dibentuk untuk menggiring masyarakat agar memenuhi teori pertama dan kedua. Pedekatan teori pertama dan kedua, tidak membutuhkan kader partai yang berkualitas tapi cukup membeli suara rakat baik melalui jargon agama atau langsung tebar uang kepada rakyat dan bila perlu mengatur anggota KPUD untuk mencurangi jumlah suara.
Untuk mencapai pendekatan teori ketiga, nampaknya agak sulit. Karena bagi calon yang mempunyai integritas dan kualitas tidak mungkin dapat bertanding tanpa ada dukungan dari anggota dewan yang mewakili partai politik didewan. Kualitas ditentukan oleh sejauhmana loyalitas candidate terhadap partai politik. Bukan rahasia umum lagi bahwa setiap calon yang berkualitas terjegal di putaran pencalonan karena tidak didukung oleh partai politik. Menurut sinyalemen bahwa setiap calon dimintai dana oleh anggota DPRD atau Partai agar mereka lolos dalam pencalonan. Teman saya yang terlibat dalam LSM dan dikenal dekat dengan masyarakat baik kualitas maupun integritasnya membina perekonomian wilayah, terjegal karena tidak punya cukup uang untuk mendapatkan dukungan dari partai.
Bila keadaan seperti ini maka sulit sekali indonesia akan mendapatkan calon pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat. Biang persoalannya adalah terletak pada system demokrasi negeri ini yang menerapkan system ” wakil rakyat ”. Dimana apabila rakyat sudah menetapkan pilihannya menempatkan seseorang sebagai wakil rakyat dalam pemilu maka itu adalah final. Dengan demikian , para ” wakil rakyat ” tersebut bebas melakukan apa saja tanpa perlu lagi berkonsultasi dengan rakyat. Dimata mereka apapun sikap mereka adalah wujud dari perwakilan itu sendiri. Soal ada ketidak senangan rakyat, ” ya silahkan tunggu pemilu yang akan datang ”. Makanya tidak aneh , bila seseorang sudah terpilih sebagai wakil rakyat maka dia tidak perlu lagi dekat dengan pemilihnya. Andai ada publik yang meminta calon bupati/gubernur bukan dari partai , maka para wakil rakyat ( orang partai) bisa saja mengatakan ” tidak ” dan kalau publik memaksakan kehendak agar calonnya yang bukan orang partai diikutkan dalam pemilihan maka akan terganjal aturan (system ).
Lain halnya dengan system ” mandataris rakyat ” . Dalam system ini anggota dewan adalah mereka yang benar benar mewakili rakyat. Bicara , sikap dan tindakan bahkan pikiran mereka berorientasi pada rakyat. Mereka selalu merasa perlu mendengar dan berkonsultasi dengan rakyat langsung. Kebijakan mereka adalah mengakomodasi keinginan dan kepentingan rakyat. Singkatnya system ini tidak bisa dilepaskan peran mereka sebagai mandataris rakyat dan harus bertanggung jawab langsung kepada rakyat dan bukan kepada partai. System ini nampaknya diterapkan oleh Malaysia. Reformasi Deng di China adalah perubahan system dari perwakilan rakyat menjadi mandantaris rakyat. Artinya kesuksesan pemerintah lokal atau pejabat partai lokal diukur dari sejauh mana mereka dapat mengakomodasi kehendak rakyat dan berdialog langsung kepada rakyat. Dengan demikian kekuasaan dasar pertemanan sudah tidak ada lagi dan tergantikan dengan kekuasaan untuk rakyat.
System yang ada sekarang ini membentuk model structure pengelolaan negara berdasarkan golongan dan kelompok. Atau meminjam istilah ekstrim adalah ”gerombolan”.. Wakil rakyat dan partai menjadi penentu hitam putih perpolitikan , sementara rakyat ditempatkan sebagai konsumen, yang harus menerima apa adanya setiap kebijakan. System dan praktek perpolitikan seperti ini bukan "produk kemarin", melainkan sebuah fenomena politik yang menyejarah. Sejarah membuktikan bahwa kita memang punya tradisi mengisolasi rakyat dari politik. Ketika reformasi digulirkan dan demokrasi multipartai kita tetapkan , ia sebetulnya merupakan kelanjutan sejarah yang belum juga berhasil kita potong dimana rakyat selalu terjajah akan hak haknya dari gerombolan ( elite ) penguasa. . Memang budaya menjajah terlalu kental dalam perpolitikan kita. Sampai kapan ini akan terus berlangsung ?
Di Indonesia yang menerapkan pemilihan langsung, kelihatannya system sengaja dibentuk untuk menggiring masyarakat agar memenuhi teori pertama dan kedua. Pedekatan teori pertama dan kedua, tidak membutuhkan kader partai yang berkualitas tapi cukup membeli suara rakat baik melalui jargon agama atau langsung tebar uang kepada rakyat dan bila perlu mengatur anggota KPUD untuk mencurangi jumlah suara.
Untuk mencapai pendekatan teori ketiga, nampaknya agak sulit. Karena bagi calon yang mempunyai integritas dan kualitas tidak mungkin dapat bertanding tanpa ada dukungan dari anggota dewan yang mewakili partai politik didewan. Kualitas ditentukan oleh sejauhmana loyalitas candidate terhadap partai politik. Bukan rahasia umum lagi bahwa setiap calon yang berkualitas terjegal di putaran pencalonan karena tidak didukung oleh partai politik. Menurut sinyalemen bahwa setiap calon dimintai dana oleh anggota DPRD atau Partai agar mereka lolos dalam pencalonan. Teman saya yang terlibat dalam LSM dan dikenal dekat dengan masyarakat baik kualitas maupun integritasnya membina perekonomian wilayah, terjegal karena tidak punya cukup uang untuk mendapatkan dukungan dari partai.
Bila keadaan seperti ini maka sulit sekali indonesia akan mendapatkan calon pemimpin yang sesuai dengan kehendak rakyat. Biang persoalannya adalah terletak pada system demokrasi negeri ini yang menerapkan system ” wakil rakyat ”. Dimana apabila rakyat sudah menetapkan pilihannya menempatkan seseorang sebagai wakil rakyat dalam pemilu maka itu adalah final. Dengan demikian , para ” wakil rakyat ” tersebut bebas melakukan apa saja tanpa perlu lagi berkonsultasi dengan rakyat. Dimata mereka apapun sikap mereka adalah wujud dari perwakilan itu sendiri. Soal ada ketidak senangan rakyat, ” ya silahkan tunggu pemilu yang akan datang ”. Makanya tidak aneh , bila seseorang sudah terpilih sebagai wakil rakyat maka dia tidak perlu lagi dekat dengan pemilihnya. Andai ada publik yang meminta calon bupati/gubernur bukan dari partai , maka para wakil rakyat ( orang partai) bisa saja mengatakan ” tidak ” dan kalau publik memaksakan kehendak agar calonnya yang bukan orang partai diikutkan dalam pemilihan maka akan terganjal aturan (system ).
Lain halnya dengan system ” mandataris rakyat ” . Dalam system ini anggota dewan adalah mereka yang benar benar mewakili rakyat. Bicara , sikap dan tindakan bahkan pikiran mereka berorientasi pada rakyat. Mereka selalu merasa perlu mendengar dan berkonsultasi dengan rakyat langsung. Kebijakan mereka adalah mengakomodasi keinginan dan kepentingan rakyat. Singkatnya system ini tidak bisa dilepaskan peran mereka sebagai mandataris rakyat dan harus bertanggung jawab langsung kepada rakyat dan bukan kepada partai. System ini nampaknya diterapkan oleh Malaysia. Reformasi Deng di China adalah perubahan system dari perwakilan rakyat menjadi mandantaris rakyat. Artinya kesuksesan pemerintah lokal atau pejabat partai lokal diukur dari sejauh mana mereka dapat mengakomodasi kehendak rakyat dan berdialog langsung kepada rakyat. Dengan demikian kekuasaan dasar pertemanan sudah tidak ada lagi dan tergantikan dengan kekuasaan untuk rakyat.
System yang ada sekarang ini membentuk model structure pengelolaan negara berdasarkan golongan dan kelompok. Atau meminjam istilah ekstrim adalah ”gerombolan”.. Wakil rakyat dan partai menjadi penentu hitam putih perpolitikan , sementara rakyat ditempatkan sebagai konsumen, yang harus menerima apa adanya setiap kebijakan. System dan praktek perpolitikan seperti ini bukan "produk kemarin", melainkan sebuah fenomena politik yang menyejarah. Sejarah membuktikan bahwa kita memang punya tradisi mengisolasi rakyat dari politik. Ketika reformasi digulirkan dan demokrasi multipartai kita tetapkan , ia sebetulnya merupakan kelanjutan sejarah yang belum juga berhasil kita potong dimana rakyat selalu terjajah akan hak haknya dari gerombolan ( elite ) penguasa. . Memang budaya menjajah terlalu kental dalam perpolitikan kita. Sampai kapan ini akan terus berlangsung ?
No comments:
Post a Comment