Apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim, juga berlaku bagi kita sebagai bentuk apa yang disebut dengan detachment - buah dari iman dan kedahsyatan. Pisau tajam itu melekat dileher si anak , tapi Aku bukan lagi subject yang bertindak. Tak ada rasa sakit, sedih , cinta, harapan, ketakutan, tak ada aku. Semuanya adalah titah-Mu. Sejenis bunuh diri yang sublime. Berkorban adalah peniadaan ganda. Meniadakan aku dan meniadakan apa yang bagian dari diriku. Apa yang luar biasa dari cerita kitab mulia ini bukanlah kejaiban Allah mengganti si anak ,pada saat terkakhir, dengan seekor domba. Apa yang luar biasa adalah bahwa kita jarang mengingat si bapak yang menangis, walau akhirnya berdiri dalam puncak detachment—proses bunuh diri yang sublime itu.
Tiap agama mengagungkan proses yang seperti itu. Siti Masyitoh yang mati direbut air mendidih. Santo Agustinus yang terbelenggu dengan tubuh dirajang anak panah. Urinara yang menyerahkan daging tubuhnya dipotong potong untuk dimakan elang yang ganas , karena ia melindungi seekor burung yang lemah. Tak setiap orang dicatat sebagai syuhada, tentu, tapi semuanya membangun sejarah. Sejarah tumbuh dari pengorbanan yang paling bersehaja seperti menahan lapar karena puasa atau masuk mall tanpa belanja , dll dan sampai dengan tindakan yang paling mengerikan seperti Masyitoh dan Nabi Ibrahim , yang merupakan sebuah kisah manusia yang unggul. Manusia penakluk diri, manusia yang tulus dan lulus ujian dan bukan manusia yang menggungkan nasip yang dahsyat
Apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim memang tak mungkin terulang. Berabad abad manusia mencoba menirukan momen pengorbanan yang mengerikan itu, tapi dalam banyak hal berkorban akhirnya sebuah siasat untuk sebuah ekpektasi terukur bukan gaip. Manusia berpuasa karena inginkan sorga. Manusia ingin bersedekah karna ingin berkah harta. Manusia ingin memberi karena meminta. Itulah sebabnya kini kita melihat berkorban jadi kehilangan sifat sakralnya ketika ada pamrih.. Kita hidup dalam tarikh berjuis, dengan korban , tapi korban itu tidak dipersembahkan kepada yang gaip dan suci. Korban itu dipersembahkan kepada kekuatan manusia sendiri. Hutan lebat jadi gundul dan gersang. Sungai jernih jadi kubangan Lumpur lapindo. Laut mengamuk. Yang gaib dan suci seperti mati, setidaknya dalam hipotesis.
Ulama berkotbah untuk mengingatkan makna berkorban tapi kita harus membayar waktu yang dikorbankannya untuk datang. Berkorban tak lagi disertai krisis yang akut, melainkan menawarkan sebuah substitusi dan sebuah “perdagangan”instant. Yang kita berikan sebagai korban tak lagi punya sifat yang unik, lengkap dan tak tergantikan. Ia sudah diperlakukan sebagai sekedar alat penukar, menggantikan sebuah nilai yang bukan lagi nilai sendiri. Ia seperti lembar uang kertas yang diberikan seorang penderma disudut jalan kepada seorang pengemis. Atau selembar cek kepada aggota dewan yang mau me ngorbankan amanah rakyat. Dizaman ketika yang suci, taqwa dan iman kepada yang gaip telah terhalau, hanya penguasa yang boleh benar dan mendapatkan kemenangan. Semua kita harus menerima dikorbankan walau sebetulnya wajah kita juga adalah wajah sang Maha Kuasa, yang juga semakin samar samar karena semangat jihad berkorban telah terhalau dalam keseharian kita.