Thursday, February 20, 2025

Indonesia ku...?

 


Ketika harapan hablur. Ketika ketidak pastian mengubur asa. Daripada mati dalam harapan hampa. Bagusnya rantau diperjauh. Ke negeri orang kita berlayar. Aku bukan tidak nasionalis. Hanya saja pejabat negeri ini yang gagal mengemban amanah konstitusi. Bacalah UUD 45 pasal 27 ayat 2. Kita siap kerja apa aja. Tetapi peluang kerja tidak tersedia, bahkan yang kerja kena PHK. Kita siap bertani. Tapi lahan diserobot. Bahkan lautpun di pagar. Kita siap berdagang. Tapi peluang dagang dimakan rente. Demikian katanya saat kutemui di luar negeri.


Kamu tahu nak. Kataku mencerahkan. Negeri kita termasuk 20 negara dengan produksi bruto diatas USD 1 trilon. Kita salah satu dari sedikit negara yang bisa tumbuh positif ditengah krisis global. Kita  pemain utama dalam bisnis tambang dunia. Eskportir nikel nomor 1 dunia. Eksportir batubara nomor 3 dunia. Eksportir emas nomor 6 dunia. Kita jago dibidang Agro. Eksportir CPO nomor 1 dunia. Kita negara besar dan tentu bangsa besar. Apakah itu tidak cukup untuk kita bersukur dan bersabar? 


Aku tahu, katanya. Walau aku hanya buruh migran, aku tidak bodoh seperti kebanyakan warga Indonesia. Aku tahu, dan aku berhak bertanya. Untuk apa kehebatan itu semua, kalau dari 5 Balita, 1 stunting. Dari 4 anak Indonesia 1 kelaparan. Dari 5 Gen Z, 1 dalam keadaan tidak punya pekerjaan, Pendidikan dan tidak terlatih mandiri. Di negeri orang. Lapangan kerja tersedia mudah bagi siapa saja yang mau kerja. Dan itu dengan upah yang layak beda dengan di Indo, yang ala kadarnya. Keamanan terjaga, hukum tegak. 


Mereka bisa saja mengatakan bahwa aku tidak nasionalis hanya karena aku hijrah ke negeri orang. Itu hanya kepengohan orang politik yang hidup mewah dari kebodohan warga negara yang tak paham akan hak hak nya.  Mereka seperti Hitler dan kaum fasis yang mengatakan “How fortunate for governments that the people they administer don't think.” Mereka gunakan istilah nasionalisme untuk memasung rakyat. Tapi mereka lupa, bahwa globalisasi membuat orang dengan mudah mengejek nasionalisme yang korup, Politik populisme yang menipu, 50% uang Bansos dikorup.


Warga negara lain juga kerja di luar negeri tapi mereka kerja di perusahaan milik bangsanya sendiri atau di proyek yang negaranya biayai. Sementara TKI sama dengan mereka yang berasal dari negara yang miskin dan korban perang atau konflik regional. Mereka dipaksa oleh situasi untuk minggat. Negeri yang mereka banggakan, yang selalu meminta pajak penjualan dan pembelian, penghasilan. Tapi tak bertanggung jawab mendelivery amanah konstitusi.


Cobalah kamu bayangkan, negeri ini memang tidak pernah ada secara substansi kecuali symbol vulgar tentang kekuasaan yang hipokrit. Ekonomi berjalan hanya diatas angka angka tanpa makna seperti lukisan tanpa imaginasi dan rasionalitas. President yang selalu meminta persatuan dan kesatuan kepada rakyat tapi tak cukup punya nyali melawan kekuatan oligarkhi. Elite sibuk melegitimasi skema menjarah sumber daya alam lewat state capture. 


Maka jangan tanya soal sense of crisis. Jangan kaget bila negara lan mengurangi pegawai birokrasi dan Menteri.  Kita malah menambahnya. Disaat negara lain berhemat untuk bayar utang. Kita malah terus menambah hutang. Penghematan hanya realokasi dari sosial ke state capitalism lewat Danantara. Negara lain punya sense of crisis dengan mengerem growh PDB agar tercapai growh inklusif. Kita malah memacunya dengan mengorbankan anggaran Pendidikan. Tentu dimasa depan Rasio GINI akan semakin timpang.


Kebingungan saya tentang Indonesia, terutama ketika menyaksikan kehidupan Samad si buruh tani yang pendapatannya dibawah UMR atau Udin driver ojol yang lebih 1/4 income nya dimakan oleh aplikator. Tubuh mereka tetap kokoh berdiri atau dipaksa tegar dalan nestapa. Lantas apa yang diharapkan oleh si Samad dan Si Udin. Mengapa mereka masih betah hidup ditengah ketidak pedulian sebuah system dari rumah besar bernama Indonesia ? 


Ya, Mereka hidup dalam spirit masa lalu tentang cita cita kemerdekaan. Mereka menantinya walau hanya mungkin sebuah kepastian tentang kematian yang sia sia. Karena masalalu , mereka hidup untuk hari ini dan hari esok. Tapi memang harapan di negeri ini terlalu mahal kecuali slot judol. Mereka sebenarnya adalah kumpulan orang yang jadi korban narasi politik. Mindset terjajah. Yang baru disadari ketika ajal menjemput dalam sesal dan mata melotot.


Ketika saya berjumpa dengan TKI di luar negeri dan bertanya tentang tanah air. “ Saya kangen simbok. “ itu jawabnya. Bukan, “ Saya kangen Indonesia. “ Seakan indonesia adalah nightmare. Tentang harapan akan keadilan dan kemakmuran yang hampa. Sementara setiap hari kekuatan kita terus berkurang untuk bertahan hidup menghadapi harga yang terus naik. Sampaikan kapan ?, Mungkin saya tidak sesabar orang lain. Yang hidup dalam euforia politik populis dan tetap bersabar menanti harapan, katanya.


Saya berusaha mencerahkan. Bahwa Indonesia adalah sebuah proyek kebersamaan kita. Sebuah kemungkinan yang menyingsing. Sebuah cita cita yang digayuh generasi demi generasi. Sebuah perjalanan yang kita jalani dengan kelelahan. Tanah air adalah sebuah ruang masa kini yang kita arungi karena sebuah harapan hari esok yang lebih baik. Percayalah.


Tapi TKI itu menjawab “ saya kangen simbok tapi saya butuh uang. Nanti kalau tabungan saya cukup barulah saya pulang. “ Indonesia ada dan passport pun melegitimasi orang untuk jadi jongos di negeri orang. Tentu untuk sebuah harapan, walau terasing dan terlempar jauh dari negeri sendiri. Hidup tanpa harapan adalah bukan hidup. Menerima kalah dengan tanga menadah uang bansos adalah pencundang. Cukup pemerintah saja yang pecundang dihadapan oligarki, tidak saya, katanya.


Jangan sedih kawan. Kita boleh marah  kepada mereka yang membuat kita terhina. Justru itu adalah ujud karena rasa cinta itu sendiri kepada sebuah nama yang kita agungkan, Indonesia. Daripada hidup korup di negeri sendiri dan menjadi beban negara, ada baiknya perjauh langkah merantau. Di kejauhan ribuan mill dari tanah zamrud katulistiwa, airmata mengalir ketika mendengar lagu "Indonesia tanah airku”


Tanah airku tidak kulupakan,

Kan terkenang selama hidupku,

Biarpun saya pergi jauh,

Tidak kan hilang dari kalbu.

Tanah ku yang kucintai.

Engkau kuhargai.

Walaupun banyak negri kujalani.

Yang masyhur permai dikata orang.

Tetapi kampung dan rumahku.

Di sanalah kurasa senang.

Tanahku tak kulupakan.

Engkau kubanggakan”.


Kesedihan semakin menjadi jadi karena lagu ini sudah jarang terdengar di telivisi dan di istana. Dia sudah digantikan oleh lagu dengan ritme melankolis ala rock atau popsong. Dimanakah Indonesia ? Jangan jangan kita sudah menerima bulat kata kata dalam lirik lagu imaging “Imagine there's no countries “ Saya tak bisa menyangkal dari semua ini.  Apa arti nasionalis?.  Jawaban itu semakin terdegradasi oleh laku mantan pejabat MA menyimpan uang suap hampir Rp. 1 triliun di rumahnya yang megah dan 3 juta hektar lebih lahan negara diserobot untuk kebun sawit yang diputihkan.


Di luar negeri, saya berusaha membaca dengan teliti di papan kurs mata uang di samping desk receptionist Hotel. Tidak ada kurs yang berlaku untuk Rupiah. Saya sedih karena uang yang melambangkan legitimasi negara tidak diakui dinegeri orang.  Saya tetap bingung dalam kesedihan sambil berusaha tersenyum ketika petugas imigrasi mengecap passport saya dan berkata “ Selamat datang di Tanah Air…” Ya, negeri yang tak kulupakan dan engkau kubanggakan...



No comments:

Sehat selalu pak...

  Kalau saya terkesan mendukung Prabowo dan kadang terkesan mengkritik, itu karena kecintaan saya kepada negeri ini. Saya tahu  niatnya sang...