Kemarin antrian gas melon membuat nenek nenek meninggal karena kelelahan. Itu karena kebijakan pemerintah terkait distribusi gas melon atau tabung gas 3 kilogram, di mana tidak lagi boleh dijual di warung-warung dan hanya boleh didistribusikan melalui pangkalan. Yang katanya upaya perbaikan tata Kelola distribusi subsidi gas. Apapun alasannya, sebenarnya pemerintah sedang ngakali gimana caranya memperlambat cash flow belanja subsidi LPG. Tapi pemerintah lupa, kalau Gas melon itu sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat. Tidak bisa ditunda.
Saat awal kebijakan ( UU No.22/ 2001 MIGAS) mengkonversi bahan bakar rumah tangga dari Minyak Tanah ke Gas, kita memilih LPG sebagai penggantinya. Bukan LNG. Sampai saat ini Indonesai masih mengimpor 75% kebutuhan domestik LPG ( liquified petroleum gas ). LPG dibuat dari crude oil dan kita sebagai negara net importir crude oil. Nah karena LPG khusus untuk rakyat miskin disubsidi, tentu membebani APBN. Karena harga yang terus naik dan kurs yang terus melemah.
Walau lifting minyak bumi Indonesia terus merosot, namun pada waktu bersamaan gas bumi melimpah. Dari gas bumi ini diolah menjadi LNG ( liquified natural gas). Nah neraca dagang LNG kita relative terjaga. Sementara future nya juga sangat bagus. Kita punya cadangan gas raksasa di Blok Masela, Maluku, yang rencananya tahun 2030 beroperasi. Pada 2023 juga ditemukan sumber gas jumbo (giant discovery), yang masuk lima besar temuan sumber gas raksasa di dunia.
LNG itu berasal dari Gas bumi. Yang terbuang ke udara kalau tidak segera diolah. Perlu logistic yang handal untuk mengirim Gas bumi ke pusat pengolahan LNG. Umumnya demi efisiensi, pusat pengolahan gas bumi ada di lapangan gas itu sendiri. Setelah itu LNG dikirim ke terminal gasifikasi. Di luar negeri seperti China, Jepang, Eropa, AS, LNG itu dari storage gasifikasi didistribusikan ke Pabrik dan rumah tangga lewat Pipa. Jadi walau mahal investasinya namun dalam jangka panjang sangat murah.
Sementara untuk Indonesia mungkin mahal sekali kalau menggelar pipa secara nasional karena kita negara kepulauan. Perlu infrastruktur Logstik LNG pada setiap pulau. Nah ini memerlukan sarana logistic yang besar, terdiri dari kapal cargo LNG dan terminal LNG di Pelabuhan bongkar. Dan kemudian disalurkan lewat Pipa ke pabrik dan rumah tangga. Kita masih sangat minim akan infrastruktur ini.
Pertanyaan sederhana adalah mengapa kita masih mengandalkan LPG untuk kebutuhan domestic. Sementara LNG hanya 19,5% untuk pasar domestic. Itupun untuk keperluan industry, bukan rumah tangga. Padahal kita punya resource LNG sangat besar. Dari sisi harga jelas LNG lebih murah dibandingkan LPG. Menjawab pertanyaan ini tidak sulit. Sama seperti pertanyaan mengapa kita selalu impor BBM dan ekspor Crude oil. Itu karena ulah mafia MIGAS. Hampir sebagian besar (80%) produksi LNG kita sudah diijon ( offtake ) oleh trader. Semua dikapalkan ke China, Jepang dan Korea.
Mafia itulah yang membuat kebijakan kemandirian industry migas jadi terhambat, yang sehingga kita terus tergantung impor. Makanya engga aneh kalau kita ngotot pakai LPG. Ini terkait dengan 75% kebutuhan domestic LPG dari import. Tidak ada rencana konkrit membangun infrastruktur LNG. Malah rencananya secara berlahan akan dikonversi dengan DME ( Dimethyl Ether ) dari batubara. Lagi lagi untuk mengamankan bisnis konglo Batubara terutama hilirisasi Batubara. Jadi otak rusaknya kebijakan efisiensi sumber daya alam kita memang oligarki. Mereka yang membuat pemerintah keliatan dungu.
Ya kasihan aja nenek miskin di Tanggerang yang harus mati karena antri untuk beli gas melon. Padahal negerinya kaya SDA migas. Seharusnya SDA itu membuat dia Makmur, bukan semaput dalam papa. " Tuhan, jaga negeriku dari para komprador. Hanya Engkau yang bisa lawannya. Sementara mereka tidak takut kepada Engkau."