Wednesday, September 07, 2022

Berpikir sederhana


 

Tadi siang sampai jam 3 saya ikut pertemuan di kantor kementrian. Kebetulan saya dijadikan narasumber. Sebenarnya ini ajang konsultasi saja. Kebetulan lembaga dibawah presiden, ketuanya minta saya ikut memberikan sumbang saran. Bingung aja. Pedagang sempak dijadikan narasumber. Dari awal saya hanya menyimak saja. Semua apa yang mereka katakan terlalu tinggi untuk saya pahami. Sangking hebatnya, saya sendiri engga mudeng.


Giliran saya bicara. Ya saya katakan.” Apalagi yang harus saya sampaikan. Semua presentasi hebat hebat. Mungkin lulusan Harvard aja kalah. Tapi ada pertanyaan sederhana saya. Mengapa begitu hebatnya rencana dan program, susah sekali terjadi transformasi bidang ekonomi? “ kata saya pandang mereka semua.


“ Sejak era Pak Harto, ekonomi kita tergantung kepada belanja domestik. Bukan berdasarkan industri dan produksi. Selalu bergantung kepada produk tradisional dari SDA. Akibatnya berapapun kita hutang, ya pada akhirnya hanya meningkatkan daya beli saja, bukan meningkatkan kemandirian ekonomi dibidang industri dan manufaktur. “ Kata saya seraya tersenyum.


“ Mau bukti ? Sejak era Soeharto sampai Jokowi, masih mengandalkan Subsidi untuk mengamankan mesin ekonomi. Apa artinya ? Sejak era Soeharto sampai sekarang, tidak terjadi transformasi ekonomi. Kita engga kemana mana. “ Kata saya seraya minum air.


“ Emang ada perubahan tapi yang berubah, daya beli makin tinggi dari kelas menengah yang tumbuh pesat. Dan kelas menengah ini bukan mereka yang bangun industri dan manufaktur dengan produk fenomenal dan inovatif. Sebagian mereka hidup dari rente atau bekerja di bisnis rente. Justru semakin besar kergantungan kepada impor.


Dan semakin besar kebocoran APBN dan semakin besar distorsi ekonomi semakin besar dampak moral hazard, dengan skandal datang silih berganti. Dari kasus investasi bodong, IPO bermasalah, produk link, reksadana link, pinjol, judi online, mismatch investasi dana pensiun Taspen, BPJS Tenaga kerja, Belum lagi masalah DMO dan DPO sawit, masalah Cost recovery migas, dan masih banyak lagi yang semuanya semakin hari semakin canggih dan semakin besar jumlahnya. Faktanya ICP kita semakin memburuk dari tahun ke tahun. “ Kata saya.


Saya terdiam sebentar.


“ Negeri kita ini. Era pak Harto, sedikit bicara, banyak rencana, tapi banyak kerja. Era Gus Dur, engga ada rencana, engga ada kerja, banyak canda. Era Megawati, sedikit rencana, sedikit kerja, sedikit pula bicara. Era SBY, banyak rencana, banyak wacana, tapi sedikit kerja. Era Jokowi, engga banyak rencana, sedikit wacana, tetapi banyak kerja. Faktanya sejak era pak harto sampai jokowi tetap aja menjadikan subsidi sebagai solusi.


Cara berpikir anda semua yang terpelajar bukan membuat saya semakin cerdas, tetapi semakin bego. Bagi saya dan juga rakyat, berapapun harga engga peduli. Yang penting engga bokek. Kalau bokek, berapapun subsidi tetap aja bego. Jadi cobalah buat aturan agar orang engga bokek, Mencari  rezeki mudah. Perbaiki saja tata niaga dan hapus semua rente.  Tapi, Ya suka suka kalian saja. “ Kata saya dan mengakiri omong


No comments:

Akhlak atau spiritual

  Apa pendapat bapak soal kenaikan pajak PPN 12 % “ tanya Lina. Peningkatan tarif PPN tujuannya tentu untuk meningkatkan penerimaan negara d...