Di salah satu kecamatan di propinsi Hunan, saya sempat sholat magrib di masjid yang ada tidak jauh dari restoran kami makan. Di tempat itu pria dan wanita sholat diruang yang sama. Namun dipisahkan oleh tirai. Saya dapat melihat wanita sholat tampa mukena. Mereka sholat dengan Jilbab dan baju lengan panjang ( ada juga kaus lengan panjang ). Bawahannya ada yang pakai Celana panjang dan ada juga pakai rok sampai ke mata kaki. Ya, mereka menggunakan pakaian yang mereka kenakan sehari hari. Saya tanya kepada taman di china mengapa wanita china tidak gunakan mukena? Jawabnya wanita china umumnya adalah pekerja di ladang atau di pabrik. Dan waktu mereka sangat sempit untuk sholat. Makanya mereka sholat dengan pakaian yang lekat di badan aja. Itu engga salah. Yang salah kalau engg sholat
Di Indonesia pada umumnya wanita sholat menggunakan mukena karena waktu mereka sebagian besar ada dirumah. Di balik mukena tidak ada lagi pakaian. Tetapi wanita yang kerja di kantor , pakai Mukena tanpa melepas pakaiannya. Jadi Mukena itu hanya jadi uniform bukan untuk tujuannya agar bersih dan suci. Kalau dibaca sejarah wanita menggunakan jilbab itu merupakan tradisi wanita Yahudi. Kalau anda ke libanon anda akan lihat bagaimana wanita Yahudi menggunakan jilbab. Dan ini ditiru oleh orang Arab. Dan kemudian kini ditiru oleh orang Indonesia. Padahal tadinya wanita Indonesia hanya kenakan kerudung sekedar lekat dikepala. Itu engga salah. Yang salah menggunakan pakaian sexi ditempat umum atau tempat ibadah.
Pakaian dan juga tradisi sosial setiap bangsa berbeda. Itu yang dimaksud dengan kebudayaan. Sebelum agama diperkenalkan, kebudayaan sudah ada. Cara makan, berbicara, berpakaian, bersenggama, bertani, berternak, bertetangga, gotong royong. Semua itu ada dalam kebudayaan. Lantas dimana agama ? Agama tidak mengubah kebudayaan tetapi memperkuat kebudayaan agar orang lebih tenteram dan saling mencintai. Kalau karena kebudayaan itu orang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi, itu hal yang lumrah. Yang penting perubahan itu bukan karena paksaan politik tetapi atas dasar kenyamanan dan kearifan lokal. Contoh sarung yang dipakai oleh orang Jawa itu tradisi dari Yaman. Para santri merasa nyaman mengenakan sarung daripada gamis. Itu engga salah.
Para wali dulu ketika memperkenalkan Islam ke Nusantara tidak bertujuan mengubah kebudayaan yang ada. Contoh cara bertani kita belajar dari china. Itu tidak diubah. Hanya para wali menperkuat tradisi itu sesuai dengan tuntunan Islam. Seperti cerita wayang dan tembang Jawa, syairnya mengikuti ajaran Islam tentang akhlak. Nujuh hari, 40 hari dan sebagainya sebagai cara menghormati orang mati diubah menjadi tradisi yasinan agar orang ingat mati. Bukankah ingat mati adalah kecedasan spritual tertinggi. Mengapa? Para wali focus kepada perbaikan akhlak daripada bersibuk soal fikih, halal atau haram.
Memang sumber segala sumber Islam itu adalah Al Quran dan hadith namun implementasinya dalam kehidupan sosial dan budaya tidak bisa ada monopoli kebenaran fikih. Yang namanya fiqih itu adalah tafsir dan setiap tafsir tidak ada yang pasti benar. Ia akan terasa benar ketika anda memaafkan orang yang membenci anda dan mencintainya. Menemui orang yang tidak mau bersilahturahmi dengan anda. Mendoakan yang baik untuk orang yang memfitnah dan menghujat anda. Memberi kepada orang yang tidak mau memberi kepada anda. Berdamai dengan orang yang keras hati. Amanah ketika diberi titipan. Hidup sederhana. Itulah yang diajarkan oleh semua pondok pesantren NU kepada santrinya agar mereka cerdas hidup untuk rahmat bagi semua.
Islam nusantara adalah Islam cinta damai dengan mereka yang berbeda dan gemar gotong royong , karena budaya kita mendidik itu, beda dengan Islam di timur tengah yang budayanya doyan tauran.
No comments:
Post a Comment