Saya naik taksi menuju
pulang.'Dari arah Sarinah dipersimpangan lampu merah pasar tanah abang, polisi
menghentikan taksi. Polisi itu memberitahu kesalahan supir bahwa dia melanggar
lampu merah. Dengan lembut supir taksi menyangkal bahwa dia tidak menerobos
lampu merah ( saya tahu supir itu tidak salah ). Polisi mengambil SIM supir taksi itu
dan minta supir taksi itu mengikutinya. Tidak berapa lama supir itu kembali
dengan tersenyum. Terdengar supir
itu berbcara lambat seperti berbisik namun saya bisa mendaengarnya.Dia berkata “alhamdulilah
saya dizalimi oleh polisi. ya Allah beri kesabaran kepadaku menerima cobaan
ini. Beri hidayah kepada polisi itu agar dia tahu mana yang halal dan mana yang
haram” Ketika saya tanyakan mengapa dia memaafkan
padahal polisi itu telah menzoliminya. Menurutnya itu sunnah Rasul. Dia mencintai Rasul dan dia harus tiru akhlak Rasul bahwa maafkan orang yg mendzolimi sebelum orang itu meminta maaf dan doakan orang yang menzolimi agar
Allah memberi Hidayah. Dari seorang
supir taksi saya dapat pencerahan tentang mengamalkan apa yg diimani. Dia
miskin, namun dia kuat
teramat kuat tanpa amarah memaki pejabat Pemerintah yang mendzoliminya dan tetap mendoakan
untuk kebaikan. Padahal banyak
orang pintar ,paham ilmu hadith, namun tidak bisa mengamalkan imannya. Bahkan ketika orang menghujat Rasul dia
marah, teramat marah sehingga lupa bahwa Rasul tidak pernah mengajarkan marah apabila beliau
dihina. Beliau selalu memaafkan dan mendoakan musuhnya.
Islam tidak mengajarkan amarah. Bahkan Ali Bin
Thalip di medan perang, batal membunuh
musuhnya yang sudah tak berdaya hanya karena musuhnya meludahinya sehingga
timbul amarah. Ali tidak ingin berperang dan akhirnya membunuh karena
amarah. Perang terjadi bukan karena kebencian dan amarah tapi atas dasar dimensi moral
untuk kalimah Allah; tegaknya keadilan, dibelanya kebenaran dan dijalankannya
kebaikan. Islam mengajarkan kelemah lembutan sebagai replikasi sifat kasih sayang
kepada semua termasuk non muslim. Kita mungkin pernah mendengar kisah
Rasulullah saw. yang selalu diludahi oleh seorang Yahudi ketika beliau hendak
pergi ke masjid. Namun, beliau membalas perlakuan tersebut dengan senyum. Hal
yang paling menarik dalam kisah ini adalah ketika orang Yahudi tersebut sakit,
Rasulullah saw. adalah orang pertama yang menjenguknya. Di sinilah letak
keluhuran akhlak beliau yang memaafkan orang yang telah menzalimi beliau.
Akhirnya orang Yahudi tersebut masuk Islam lantaran kagum terhadap akhlak
beliau. Ajaran tentang sikap memaafkan
ini telah termaktub dalam beberap ayat dalam Al-Qur’an. Diantaranya, QS.
Al-A’raf ayat 199, QS. As-Syura’ ayat 40 dan QS. Ali Imran ayat 134. Ayat-ayat
tersebut mengajarkan kepada umat Islam untuk menjadi orang yang pemaaf,
walaupun orang yang membuat kesalahan tersebut belum atau tidak mau meminta
maaf. Karena sikap memaafkan merupakan keluhuran budi dan akhlak yang harus
dijunjung tinggi oleh umat Islam sebagai pengikut Rasulullah saw.
Pemaaf tidak mungkin bagi sipembenci. Pemaaf
tidak mungkin bagi sipemarah. Pemaaf tidak mungkin orang yang egoistis atau
tinggi hati. Pemaaf hanya mungkin bagi orang yang hatinya lembut. Memaafkan
karena ia bukan pemarah, bukan pembenci dan bukan orang yang ego atau tinggi
hati. Dia rendah hati dan mengutamakan kebaikan bagi orang lain. Secara
kejiwaan menyehatkan dan tentu berdampak raga yang juga sehat. Dalam jurnal
ilmiah EXPLORE (The Journal of Science and Healing), menjelaskan bahwa terdapat
cukup banyak bukti yang menunjukkan perilaku memaafkan mendatangkan manfaat
kesehatan bagi orang yang memaafkan. Harun Yahya dalam artikelnya yang berjudul
“Sikap Memaafkan dan Manfaatnya bagi Kesehatan”, menyatakan, “Menurut
penelitian terakhir, para ilmuwan Amerika membuktikan bahwa orang-orang yang
mampu memaafkan itu lebih sehat, serta baik jiwa maupun raga”. Orang-orang yang
diteliti menyatakan bahwa penderitaan mereka berkurang setelah memaafkan orang
yang menyakiti mereka. Penelitian tersebut menunjukkan, orang yang belajar
memaafkan merasa lebih baik, tidak hanya secara batiniah, namun juga jasmaniah.
Sebagai contoh, telah dibuktikan bahwa berdasarkan penelitian, gejala-gejala
pada kejiwaan (gangguan pada pikiran dan hati) dan tubuh seperti sakit punggung
akibat stress (tekanan jiwa), susah tidur, dan sakit perut sangatlah berkurang
pada orang-orang yang memaafkan ini.
Dr. Frederic Luskin dalam bukunya Forgive for
Good, menjelaskan bahwa sifat pemaaf merupakan resep yang telah terbukti bagi
kesehatan dan kebahagiaan. Buku tersebut memaparkan bagaimana sifat pemaaf
memicu terciptanya keadaan baik dalam pikiran seperti harapan (cita-cita),
kesabaran, serta percaya diri dengan mengurangi kemarahan, penderitaan, lemah
semangat dan stress. Inilah bukti konkret bahwa ajaran Al-Qur’an dan tauladan
yang dicontohkan Rasulullah saw. tentang sikap memaafkan mempunyai berbagai
macam hikmah, manfaat dan dampak positif, terutama pada kesehatan dan
kebahagiaan seseorang yang selalu memaafkan orang lain. Hasil-hasil penelitian
diatas hanyalah sebagian kecil bukti-bukti manfaat dari sikap memaafkan. Sebab,
ada sesuatu yang lebih besar yang akan dicapai seseorang jika selalu memaafkan
orang lain, yaitu derajat al-Muttaqin atau termasuk orang-orang yang bertakwa.
Derajat inilah yang akan mengantarkan seseorang yang selalu memaafkan orang
lain menuju surga Allah swt. sebagaimana dijelaskan dalam QS. Ali Imran ayat
134.Mari menjadi orang pemaaf. Caranya? mulailah hilangkan sifat pembenci
kepada siapapun. Mulailah hilangkan ego atau tinggi hati. Mulailah hilangkan
sifat mudah marah. Ya kita semua bisa seperti Supir taksi itu. Dalam keadaan
miskin dia kuat …teramat kuat. Karena benar kata Allah, bagi orang beriman
apapun itu baik baginya. Bila datang nikmat dia bersyukur,bila datang kesulitan
dia bersabar..
2 comments:
Terima kasih sudah menulis tentang ini pak. Saya suka baca blog bapak. Tulisannya bagus2 dan mencerahkan...
Salam hangat dari Kairo
ngena banget pak, terima kasih pak udah nulis artikel ini...saya akan save dalam hati
Post a Comment