Supir taksi yang saya tumpangi. Berkata bahwa pendapatan tidak seperti sebelum COVID. Dari tahun ketahun pendapatan terus menurun. Tahun ini berat sekali. Penyebabnya karena semakin banyaknya taksi online dan tentu penumpang memang berkurang. “ Mungkin karena engga tega melihat keadaan saya, anak saya yang tamat SMU bantuin ibunya buat kue di rumah untuk dijual. “ kata driver itu.
Supir taksi itu walau pendapatannya tidak pasti. Tergantung omzet. Namun dalam catatan BPS dianggap bukan pengangguran. Anaknya yang bantu ibunya bikin kue juga tidak dianggap penggangguran terbuka walau tidak digaji. Karena kerja bantu ibunya. Data BPS jumlah pengangguran terbuka memang berkurang dari 4,82% pada tahun 2024 menjadi 4,76 pada tahun 2025. Itu karena ayah atau keluarga tidak bisa lagi sebagai undertaker keluarga.
Jobstreet menulis dalam laporan Hiring, Compensation and Benefits 2025, menyebutkan bahwa 42% perusahaan mengurangi jumlah pegawai. Paling banyak terdampak adalah karyawan tetap penuh waktu (27%), disusul oleh pekerja paruh waktu, kontrak, dan temporer. Bahkan pekerja premium seperti media TV, seperti Kompas TV, CNN TV, Inews, TVone, Global TV, Net TV, ANTV, TVRI. RRI sudah melakukan PHK. Itu sudah berlangsung sejak tahun 2023. Data sampai tahun 2024 sudah 1200 di PHK. Kini terus bertambah jumlahnya.
Pengangguran dari tahun ketahun terus bertambah. Pada februari 2025 data menyebutkan jumlah pengangguran mencapai 7,28 juta orang. Meningkat 83 ribu dibandingkan tahun 2024. Mengapa pemerintah tidak bergitu concern dengan data ini? Karena PDB kita ditopang oleh pekerja informal yang mencapai 59,40%. Siapa yang dimaksud dengan informal? Termasuk mereka yang bekerja di keluarga walau tidak dibayar seperti anak petani petani, anak pengelola usaha rumahan.
Pekerja formal sebesar 40,60%. Jangan anggap pekerja formal itu semua karyawan pabrik atau PNS atau BUMN. Itu termasuk kenek atau asisten tukang bangunan atau mereka yang sekedar pembantu sesuai kontrak, yang jumlah lebih separuh dari mereka yang kerja formal di BUMN, Swasta, PNS dan buruh pabrik. Jangan tanya berapa penghasilan mereka. Tentu dibawah UMR. Itupun karena PHK dari tahun ketahun terus berkurang significant.
Meliat data itu kita sangat miris apalagi ditengah euphoria pertumbuhan ekonomi, yang jelas bukan inclusive growth atau bukan pertumbuhan yang berkeadilan. Apa penyebabnya? Tidak ada program yang berspektrum jangka Panjang berbasis create job. Semua kebijakan sectoral hanya bersifat pragmatis politis menjaga ritme kekuasaan yang dibatasi 5 tahun dan focus kepada pertumbuhan ekonomi lewat ekspansi belanja APBN dan utang.
YMP Prabowo Subianto memberikan sorotan terhadap elite-elite yang dinilai tidak memahami secara utuh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Menurutnya, fakta ini dibuktikan karena kekayaan Indonesia selama ini justru lebih banyak mengalir ke luar negeri. Tahukah YMP? Bahwa pendapatan negara dari pajak korporate yang mengolah SDA dan PBH dari SDA, itu setiap tahun sebagian mengalir ke luar untuk bayar utang dan bunga utang.
Artinya selagi debt trap, selama itu juga kekayaan kita mengalir keluar. Itu fakta bahwa by system dan design kita terjajah lewat neocolonialism. Kebijakan ekonomi kita memang mengharuskan kekayaan lari keluar. Selama itu juga kita seperti orang kebingungan dan disorientasi. Tidak akan beranjak kemana mana, bahkan tanpa disadari kita mundur. Buktinya era Soeharto pertumbuhan industry 30% terhadap PDB. Sekarang dibawah 20%. Artinya kita mengalami deindustrialisasi.
Lantas apa solusinya ?
Sejak tahun 2004 kita tidak focus kepada policy pro job dan create job. Itu terbukti dengan terus meningkatnya dana subsidi langsung atau Bansos. Era 2015 hingga 2023 telah mencapai Rp 3.319,2 triliun. Tahun 2024 Rp 455,9 Triliun. Artinya pemerintah gagal menyediakan lapangan kerja. Uang sebanyak itu hanya berakhir kepada angka peningkatan PDB dan bertambahnya utang. Karena belanja yang tidak pro job tetapi pro toilet.
Bayangkan, kalau dana sebesar Rp. 3775 triliun itu dipakai untuk create job seperti perbaiki tataniaga pertanian, membangun ekosistem pertanian berbasis ecology farm, revitalisasi industry padat karya, pembangunan Industri substitusi impor, uang sebanyak itu lebih dari cukup. Karena memang tidak perlu ongkos besar. Dukungan market domestic yang besar reliable sebagai sumber cashflow.
Jadi kesimpulannya, sudahilah program populis. Karena kita bukan negara kaya. Asset kita memang besar tetapi cash cekak. Tanpa hutang APBN stuck. Kelola saja sumber daya yang ada dengan focus kepada Create job. Multiplier effect nya berupa peningkatan tax ratio yang bisa menjadi sumber pembiayaan berkelanjutan, termasuk untuk membangun infrastruktur tanpa harus berhutang. Memang tidak mudah dan tidak bisa cepat. Tetapi kita punya hope, itupun Kalau index korups membaik.
No comments:
Post a Comment