Mungkin seusia saya kini ( diatas
50 tahun ) , 90% pria minang adalah pengusaha ( wiraswasta). Jadi hanya 10%
yang jadi pegawai. Mengapa? Ketika itu orang tua mengajarkan kepada pria minang
bahwa “ Jan jadi pagawai, umua panjang rasaki diagakan” ( jangalah jadi
pegawai, karena umur panjang tapi rezeki di taker oleh orang lain). Disamping
itu ada lagi budaya minang yang mengatakan :Kaluak Paku kacang Balimbiang,
Tampuruang lenggang-lenggangkan, Bao manurun ka Saruaso. Tanamlah siriah jo
ureknyo. Anak di pangku kamanakan dibimbiang. Urang kampuang dipatenggangkan.
Tenggang nagari jan binaso. Tenggang sarato jo adaiknyo. Kalau diartikan secara
bebas adalah setiap pria minang tentu akan punya anak bila dia berkeluarga.
Anak dan ponakan haruslah menjadi tanggung jawabnya. Namun letak tanggung
jawabnya berbeda. Kalau anak tanggung jawab melekat secara biologis , dan
ponakan tanggung jawab melekat karena
budaya. Itu sebabnya orang minang mengistilahkan “anak dipangku” , “ponakan di bimbing.”
Bila tanggung jawab kepada anak dan ponakan ( anak adik/kakak perempuan)
terlaksana maka ada lagi yang menjadi tanggung jawab pria minang , yaitu menjaga
agar negeri tidak hancur ,terutama adat dan agama. Jadi setiap putra minang
memang dididik sebagai agent perlindungan untuk keluarga besar, kampung, negeri
dan juga negara. Untuk bisa melaksanakan didikan adat itu maka tidak mungkin
pria minang mengandalkan hidupnya hanya
dari bertani atau menjadi pegawai. Bertani
, hasilnya sudah ditentukan dengan seluas lahan yang ada. Pegawai , gajinya
sudah ditentukan oleh pemberi kerja. Baik bertani maupun menjadi pegawai hanya cukup
menghidupi anak dan istri atau Istilah orang tua dikampung, sama seperti beruk di hutan, sama sama hidup mementingkan diri sendiri dan keluarga.
Lantas bagaimana tanggung jawab
untuk ponakan? Harap maklum, pria minang
bila sudah berumah tangga.selalu didatangi oleh ponakannya untuk menumpang
tinggal. Apakah sanggup gaji sebagai pegawai atau hasil bertani menanggung
biaya hidup plus itu? Kalaupun gaji mencukupi belum tentu istri ikhlas bila harus
berbagi untuk ponakannya. Karena istri tahu bahwa satu satunya penghasilan
suami ya dari Gaji dan tentu ia ingin menabung untuk bekal masa tua. Dan ini
belum lagi bila harus ikut menanggung biaya perkawinan ponakan perempuan, yang
merupakan prioritas bagi putra minang sama seperti dia menjaga anak gadisnya
sendiri. Mungkin karena dasar itulah makanya setelah dewasa orang minang pergi
merantau. Merantau bukan untuk menjadi jongos atau pegawai atau buruh seperti
penduduk asal daerah lain. Tapi merantau untuk berniaga. Orang minang punya
istilah soal merantau ini “Karatau madang di hulu, Babuah babungo balun, Marantau
bujang dahulu, Dirumah paguno balun”. ( merantaulah kamu dahulu karena dikampung kamu belum berguna.) Untuk berguna ya harus sukses. Umumnya putra minang merantau tidak punya
modal , kadang pergi hanya naik bus seperti dulu saya merantau. Uang hanya
cukup untuk makan selama diperjalanan. Namun bekal ketrampilan untuk bisa
survival dirantau hampir dimiliki oleh semua putra minang, seperti memasak,
menjahit pakaian, memperbaiki jam tangan, bertukang, dll. Umunya mereka mendapat
didikan dari pamannya. Memang tugas paman untuk mendidik ponakannya agar bisa
survival dan mandiri.
Biasanya sampai ditempat tujuan,
putra minang akan mencari induk semang melalui bantuan dari teman yang telah
lebih dulu merantau. Jadi bukannya mendatangi sanak family. Seperti ungkapan
adat ; Jika buyung pergi kelepau.Hiu beli belanak beli.Ikan panjang beli dahulu.
Jika buyung pergi merantau. Ibu cari dunsanak cari. Induk semang cari dahulu. Dari
induk semang inilah dia membangun trust melalui kerja keras dan loyalitas , dan
berharap suatu saat mendapat modal untuk berniaga. Selalu biasanya upaya itu
berhasil.Karena upaya membangun trust itu bukan pandai mencari muka tapi memang
didikan surau selama dikampung membuat putra minang memang religius dan
berakhlak islami. Sehingga tidak sulit bagi mereka untuk mendaptkan trust dari
induk semangnya. Itu saya alami ketika mendapatkan modal awal dari orang asing,
yang bukan orang Islam. Jadi wiraswasta bagi budaya minang adalah budaya
mencetak seorang pria menjadi “laki laki”.Dia harus memulai dari “nol”.Dia
harus merasakan sakitnya diacuhkan orang lain, pedihnya kata dari induk semang
karena barang tak laku dijual, dia harus menanti makan sampai barang laku
terjual. Dia harus berkorban demi amanah dari induk semang. Dari nothing inilah
dia tumbuh seperti ulat didalam kepompong yang berusaha keluar melalui lubang kecil untuk menjadi kupu kupu yang indah. Menjadi
something. Jadi merantau untuk berniaga sebagai adat merupakan cara
melaksanakan Sunnah Rasul bawa setiap laki laki adalah pemimpin dan setiap
pemimpin akan diminta pertanggungan jawabnya kelak dihadapan Allah. Mengapa ?
Melalui wiraswasta ala adat minang kami dididik secara mandiri untuk menjadi
pemimpin.
Karena kepemimpinan adalah hasil
dari proses perubahan karakter atau transformasi internal dalam diri seseorang.
Kepemimpinan lahir dari proses panjang
perubahan dalam diri seseorang. Ketika adat dan agama sebagai visi dan misi
hidupnya, ketika terjadi kedamaian dalam diri dan membentuk bangunan karakter
yang kokoh, ketika setiap ucapan dan tindakannya mulai memberikan pengaruh
kepada lingkungannya, dan ketika keberadaannya mendorong perubahan dilingkungannya
, pada saat itulah seseorang lahir menjadi pemimpin sejati. Jadi pemimpin bukan
sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang
tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang. Prinsip kepemimpinan itu adalah kejujuran. Ada keteladanan agung dari Muhammad SAW, Rasul Allah. Sebelum beliau diangkat sebagai Rasul pada usia 40 tahun, terlebih dahulu beliau adalah wiraswasta yang dikenal dengan sebutan Al-Amin. Artinya orang yang bisa dipercaya dan selalu menjaga amanah. BIla orang jujur maka dia akan amanah. Bila dia amanah maka hanya kebenaran yang keluar darinya. Bila kebenaran yang tampak maka hanya kebaikan yang akan ditebar kepada orang sekitarnya. Otomatis keadilan akan tegak. Itu true leader. Allah mengajarkan kita bagaimana memilih pemimpin. Sebagaimana nasihat dari Iman Besar Ja’far Ash-Shadiq bahwa Janganlah engkau melihat kualitas diri seseorang itu dari panjang rukuk dan sujudnya, tetapi lihatlah dari kejujuran dan kesetiaan dalam menjalankan amanah. Rasul memiliki qualifikasi itu semua sebagai pemimpin umat. Ini teladan kita.
Walau tentara atau professonal itu dilatih kepemimpinan namun dia bukan pemimpin sejati karena apapun yang dia lakukan dia bersandar kepada perintah orang lain dan tunduk kepada orang lain, bukan pada dirinya sendiri ( kepada Tuhan). Walau dia sukses sebagai pengusaha namun dia tumbuh karena harta orang tuanya dan berkolusi dengan penguasa maka dia bukanla pemimpin sejati. Hidup jokowi tak ubahnya seperti didikan adat minang , bahwa seumur hidupnya tidak pernah jadi pegawai kecuali magang di BUMN, sama seperti Rasul yang tidak pernah jadi jongos. Dia mengawali wiraswasta dengan modal nol karena dia lahir dari keluarga miskin. Dari wiraswasta itulah dia menjadi pemimpin keluarga besarnya. Suksenya sebagai pengusaha tidak menjadikan dia penggemar RIBA. Usahanya tidak punya hutang karena modal kerja dan Investasi dia dapat dari tabungan dan kepercayaan dari relasinya. Relasinya sangat percaya dengan dia.Itulah buah akhlak dimana kerja keras menjaga amanah dan jujur bersikap, membuat siapapun akan bersimpati.Ketika dia berhasil sebagai pengusaha dan memimpin keluargabesarnya maka kotanya ( solo) dia pikirkan untuk dibenahinya. Setelah usai membenahi kotanya maka diapun merasa terpanggil untuk membenahi yang lebih besar yaitu Ibukota.Ketika merasa tugas menyelesaikan Ibukota perlu peran lebih besar seorang Presiden maka diapun tanpa ragu bersedia untuk dicalonkan sebagai presiden. Semua itu terjadi by process, bukan dadakan. Bila saatnya datang , dia tak bisa menolak namun kapan itu akan datang dia berserah diri kepada Allah.itu tercermin dari sikapnya yang sederhana.Adat minang menanamkan budaya rendah hati namun penuh percaya diri tanpa ada perasaan inferior complex kecuali kepada Allah dan orang tua.
Tapi berjalannya waktu dan karena perubahan zaman, kini jarang sekali ada anak muda minang yang berani berwiraswasta.Bahkan banyak anak muda yang terdidik baik dan lulusan universitas terbaik malah jadi pegawai diperusahaan asing atau PNS karena ingin mendapatkan kepastian penghasilan dan masa depan. Ya , memang mental jongos adalah selalu ingin rasa aman padahal didunia ini bukan tempat aman tapi tempat cobaan yang setiap orang harus menghadapinya. Mungkin kini 90% putra minang adalah pegawai dan hanya sisanya 10% yang berniaga. Alhamdulilah, putra saya yang walau tamat S2 memilih untuk berwiraswasta dengan ala adat minang: Berakit rakit kehulu, berenang ketepian. Bersakit sakit dahulu, bersenang senang kemudian...bukan harta yang dituju tapi nilai kepemimpinan, nilai seorang pria yang pantas dilahirkan oleh seorang bundo kanduang..
Walau tentara atau professonal itu dilatih kepemimpinan namun dia bukan pemimpin sejati karena apapun yang dia lakukan dia bersandar kepada perintah orang lain dan tunduk kepada orang lain, bukan pada dirinya sendiri ( kepada Tuhan). Walau dia sukses sebagai pengusaha namun dia tumbuh karena harta orang tuanya dan berkolusi dengan penguasa maka dia bukanla pemimpin sejati. Hidup jokowi tak ubahnya seperti didikan adat minang , bahwa seumur hidupnya tidak pernah jadi pegawai kecuali magang di BUMN, sama seperti Rasul yang tidak pernah jadi jongos. Dia mengawali wiraswasta dengan modal nol karena dia lahir dari keluarga miskin. Dari wiraswasta itulah dia menjadi pemimpin keluarga besarnya. Suksenya sebagai pengusaha tidak menjadikan dia penggemar RIBA. Usahanya tidak punya hutang karena modal kerja dan Investasi dia dapat dari tabungan dan kepercayaan dari relasinya. Relasinya sangat percaya dengan dia.Itulah buah akhlak dimana kerja keras menjaga amanah dan jujur bersikap, membuat siapapun akan bersimpati.Ketika dia berhasil sebagai pengusaha dan memimpin keluargabesarnya maka kotanya ( solo) dia pikirkan untuk dibenahinya. Setelah usai membenahi kotanya maka diapun merasa terpanggil untuk membenahi yang lebih besar yaitu Ibukota.Ketika merasa tugas menyelesaikan Ibukota perlu peran lebih besar seorang Presiden maka diapun tanpa ragu bersedia untuk dicalonkan sebagai presiden. Semua itu terjadi by process, bukan dadakan. Bila saatnya datang , dia tak bisa menolak namun kapan itu akan datang dia berserah diri kepada Allah.itu tercermin dari sikapnya yang sederhana.Adat minang menanamkan budaya rendah hati namun penuh percaya diri tanpa ada perasaan inferior complex kecuali kepada Allah dan orang tua.
Tapi berjalannya waktu dan karena perubahan zaman, kini jarang sekali ada anak muda minang yang berani berwiraswasta.Bahkan banyak anak muda yang terdidik baik dan lulusan universitas terbaik malah jadi pegawai diperusahaan asing atau PNS karena ingin mendapatkan kepastian penghasilan dan masa depan. Ya , memang mental jongos adalah selalu ingin rasa aman padahal didunia ini bukan tempat aman tapi tempat cobaan yang setiap orang harus menghadapinya. Mungkin kini 90% putra minang adalah pegawai dan hanya sisanya 10% yang berniaga. Alhamdulilah, putra saya yang walau tamat S2 memilih untuk berwiraswasta dengan ala adat minang: Berakit rakit kehulu, berenang ketepian. Bersakit sakit dahulu, bersenang senang kemudian...bukan harta yang dituju tapi nilai kepemimpinan, nilai seorang pria yang pantas dilahirkan oleh seorang bundo kanduang..
No comments:
Post a Comment