Tahun 1983, saya kalau pulang kerja kadang mampir ke Sarinah. Putri dari bibi saya kerja di Sarinah sebagai Pramuniaga. Saya hanya lewat aja lewat konter dia dan dia senyum melihat saya. Kemudian setelab bosan keliling konter. Saya dekati dia. “ Aku disuruh Mak Tuo jemput eli. “ Kata saya. Maktuo itu panggilan untuk kakak perempuan ayah. Karena memang Mak Tuo saya pesan “ kalau kau mampir ke Sarinah, antar pulang sekalian adik kau.“
Satu watku saat saya datang mau jemput lagi. Di konternya ada ponakan ayahnya. Baju parlente. Insinyur. Kerja di BUMN dan saat pulang pakai mobil. Ya udah saya pulang naik bajay. Sejak itu saya tahu diri. Kalau datang jemput, saya lihat dari jauh. Kalau tidak ada yang jemput ya saya tawarkan diri. Kalau engga mau, ya udah saya pulang aja.
Tahun 1983. Saya punya teman wanita, Florence. Kami satu kantor. Dia minta diantar ke rumah tantenya. Tetapi sampai di rumah tantenya, dia pulang diantar sama teman sekolahnya yang lebih tua dari dia. Menggunakan kendaraan sedan. Saya pulang sendirian naik. Mana hujan deras. Bajay engga ada. Terpaksa saya jalan kaki dari komplek rumah tantenya ke ke pinggir jalan. Besoknya ketemu dia di kantor, saya biasa saja. Saya tahu diri aja.
Tahun 1984 saya punya teman wanita, Risa. Tiga bulan kenalan. Dia bilang pengen nonton FIlem. Ya saya tawarkan diri untuk ajak dia. Dan dia mau. Tapi saaat saya datang jemput, sudah ada pria lain yang datang lebih dulu. Saya lihat dia sedang santai dengan pria itu di teras. Saya tahu diri. Ya sebelum dia lihat saya, lebih baik saya pulang aja. Tetapi dalam perjalanan saya lihat dia goncengan naik motor pergi keluar. Padahal saya datang karena dia minta. Ya udah. Biasa saja.
Mengapa saya ceritakan ini? Saya tidak punya kemewahan untuk dapatkan perhatian dari wanita. Saat itu usia saya masih muda. Dan saya sedang dalam impian mengejar cita cita mengubah nasip saya. Jadi saya tahu diri aja. Bahkan sikap mereka itu menjadi pemicu saya. “ Pria miskin tidak akan pernah dapat tempat terhormat di hadapan wanita.” Itu wajar saja. Dan saya tidak perlu kecewa. Apalagi dalam usia muda semua orang punya banyak pilihan.
Kalau akhirnya Florence tidak pernah mau menikah dengan saya. Itu juga saya maklum. Siapa saya yang pantas mendapatkan lebih. Ada wanita cantik yang mau berteman, itu udah alhamdulilah. Begitu juga dengan Risa yang pergi begitu saja meninggalkan saya. Yuni waktu awal kerja sama saya sempat menikah lagi dengan Pilot. Setelah cerai, sempat pacaran beberapa kali. Dia tidak pernah punya perasaan kepada saya. Dia hanya focus kerja saja. Saya juga engga ogah ikut campur masalah personal dia. Yang penting kerjaannya bagus dan make money untuk saya.
Ketika saya akhirnya menikah karena pilihan orang tua, saya tahu bahwa andaikan istri saya punya kebebasan memilih tentu dia tidak akan pilih saya. Makanya selama berumah tangga saya tidak tanya apakah dia jatuh cinta atau tidak kepada saya. Mau saja dia menjadi istri itu udah alhamdulilah. Kalau dia tidak merasa terbebani hidup bersama saya, karena dia memang tidak punya ekspektasi berlebihana. Hanya mengikuti aliran takdir saja.
Semua orang punya hak menentukan piliha di usia emasnya. Dan saat itu bagi mereka saya bukan pilihan yang tepat. Wajar saja. Di masa muda saya tidak begitu di kepoin oleh istri. Tetapi setelah tua ini istri selalu kawatirkan saya. Dan para sahabat wanita saya, mereka masih sendiri dan tidak bisa jauh dari saya. Kalau saya tidak bisa seperti yang mereka harapkan, salah saya dimana ?
Moral cerita: Jadilah diri sendiri dan tahu diri. Dah gitu aja.