Mungkin sepanjang sejarah Pemilu yang paling bersih dan jujur adalah Pemilu pada tahun 1955. Saat itu belum ada money politik. Setiap partai punya narasi idiologi yang jelas dan akar rumput yang memang mengakar. Maklum sebelum Indonesia di proklamirkan sebagai bangsa merdeka, sudah ada tiga besar kekuatan politik yang mengakar. Yaitu Agama, Komunis dan nasionalis. Tiga kekuatan itu berjasa secara politik memperjuangkan kita lepas dari system colonialisme. Hanya saja, yang nasionalis ada yang condong ke agama, nasionalis religious seperti Hatta. Ada juga yang condong ke Komunis, nasionalisme sosial seperti Syahrir dan Tan Malaka.
UUD 45 yang sudah ada tidak dianggap sebagai konstitusi. Karena dibuat dalam waktu singkat dan tergesa gesa oleh mereka yang mengaku wakil rakyat Indonesia. Sebagai bangsa merdeka yang memilih bentuk republic, maka sudah seharusnya kita punya UUD yang dibuat oleh mereka yang dipilih langsung oleh rakyat. Pemilu 1955 adalah pemilu pertama kali sejak kita proklamirkan kemerdekaan. Agenda utama tentu membuat UUD.
Namun apa yang terjadi setelah Pemilu? Ketika tiga golongan itu duduk satu meja dalam suasana damai, ternyata mereka tidak bisa dipersatukan. Masing masing dengan ego idiologinya sendiri sendiri. Keadaan ini diperhatikan oleh Soekarno. Kalau dibiarkan terus dewan konstituante tanpa ada kata sepakat melahirkan UUD, maka lama lama NKRI akan bubar. Apa yang diperjuangkan sekian lama dan berdarah darah, untuk lahirnya negara kesatuan akan sia sia. Makanya dengan dukungan ABRI, Soekarno pada tanggal 5 juli 1959 mengeluarkan dekrit Kembali kepada UUD 45 dan otomatis dewan konstituate dibubarkan. Demokrasi dibuang ke tong sampah. Sebenarnya dari awal Soekarno tidak setuju Dektrit itu. Tapi karena dorongan ABRI dekrit itu harus dilaksanakan.
Namun jangan pula dianggap bahwa Soekarno pro demokrasi dalam arti demokrasi liberal. Dalam notule rapat dengan PPKI (panitia persiapan kemerdekaan Indonesia ), Soekarno tegas meminta agar hak-hak manusia dan warga negara tidak dicantumkan dalam undang-undang dasar Indonesia. Artinya jangan karena alasan HAM, nilai nilia kepemimpinan jadi lemah. Indonesia negara besar dan tidak bisa dipimpin dengan lemah. Pemimpin harus kuat. Dan karenanya demokrasi harus terpimpin. Dan setelah Soekarno jatuh, UUD 45 itu diteruskan oleh Soeharto. Presiden menjadi Lembaga tak tertandingi. Yang berhak menafsirkan Idiologi Pancasila adalah presiden. Semua orang harus ditatar P4 untuk memahami tafsir itu. Dan Soeharto berkuasa 32 tahun dalam stabilitas politik, keamanan dan ekonomi. Namun juga 32 tahun dalam KKN.
Ketika Soeharto jatuh. Ada kehendak kuat untuk mengembalikan demokrasi secara utuh lewat amandemen UUD 45. Lembaga demokrasi seperti KPK, MK, DPD, MPR, DPR, dan lain lain dibentuk. Sharing power terstruktur sedemikian rupa namun share holder tetaplah Partai. Belakangan di era Jokowi, ada UU ITE hate speech. Yang sebenarnya mengurangi hak warga negara menyampaikan pendapat. Kemudian muncul lagi wacana RUU Pers dan penyiaran. RUU TNI. Yang semuanya mengarah kepada esensi dari UUD 45. Presiden memang bukan diktator tapi konduktor orchestra oligarki yang mengolok olok civil society.
Perjalanan sejarah bangsa kita diwarnai oleh proses yang tidak sabar menjalankan visi saat kemerdekaan di proklamirkan. Sampai hari ini kita masih bicara politik dan menjadikan politik sebagai panglima. Sementara Visi keadilan sosial terlupakan oleh kekuasaan yang memang memabukan. Dengan retorika yang diulang-ulang, lewat pecintaran yang tidak pernah kehabisan drama, tentang Pemimpin yang hebat dan selalu benar, ternyata akhirnya gagal!
Tidak ada system negara atau idiologi yang bisa jadi jembatan emas. Semua kembali kepada pribadi masing masing elite penguasa. Bahwa kekuasaan itu ibarat jembatan tipis setipiis rambut dibelah 7. Apabila jatuh tergelincir. Di bawahnya menanti jilatan api panas yang siap menelan. Sikap hati hati sangat diperlukan. Setidaknya hati hati menerima pujian. Jangan sampai membuat sombong. Hati hati menerima fasilitas, jangan sampai kemaruk harta. Ya perkuat keseimbangan antara spiritual dan intelektual atau cerdas hidup. Bukan bangunan megah dan proyek hebat ukuran sukses memimpn tetapi kepemimpinan yang menginspirasi rakyat untuk mandiri dan punya martabat sebagai bangsa merdeka.