Di dalam pesawat saya termenung. Di ruang kabin kelas terbagi. Economy dan business class. Kelas berbeda, pelayanan juga berbeda, tentu harga beda. Di Rumah sakit dan Gerbong kereta perbedaan kelas juga ada. Bahkan hotel pun ada kelas sesuai bintangnya. Perumahan juga ada kelas real estate dan kelas RSS. Siapapun anda, suka tidak suka anda berada pada dimensi dimana segala sesuatu diukur dari uang. Kalau bicara uang maka didalamnya ada effort mendapatkan pengetahuan dan kekayaan literasi serta skill. Ada effort untuk dapatkan koneksi dan konsesi. Dan perlu effort besar untuk mengorganisir semua itu menjadi alat berkompetisi ditengah sumber daya yang terbatas.
Tentu tidak semua juara, ada juga yang kalah. Dan tentu karenanya jarak yang kalah dan menang akan terus jauh dan jauh, atau dikenal dengan Rasio GINI. Kita tidak bisa mengabaikan kebebasan pasar yang memang menciptakan ketidak adilan. Karena prinsip free will siapapun bisa menang dan bisa kalah. Ini soal mindset. Ini tabiat dasar manusia. Menurut Yoshihiro Francis Fukuyama dalam bukunya “ Identity Contemporary Identity Politics and the Struggle For Recognition”. Adanya perbedaan strata sosial itu sebagai upaya pengakuan sosial dari identitas seseorang. Itu karena Timos atau keinginan untuk pengakuan martabat, isothymia atau tuntutan untuk dihormati pada kondisi yang sama dan megalothymia atau keinginan untuk diakui sebagai superior.
***
Di tengah dorongan berkompetisi itu, kebutuhan telah bergeser kepada keinginan terhadap hegemoni. Pasar financial terbuka bagi siapa saja. Kita tidak bisa lagi mengatakan bahwa saya bangsa Indonesia dan saya warga negara, maka saya berhak dapatkan tambang nikel. Nyatanya yang berhak adalah China, yang punya akses financial. Anda cukup jadi buruh dan konsumen saja. Lantas apa arti nasionalisme dan kekayaaan sumber daya alam kalau toh nyatanya kita dimarginalkan.? Jangan tanya soal nasionalisme. Persepsi anda salah soal nasionalisme.
Sejak paham kebangsaan diperkenalkan abad ke-18 atau diterapkan pada awal abad ke-19 dengan Deklarasi Kemerdekaan Amerika atau dengan Revolusi Perancis. Dalam konteks idiologi, nasionalisme itu absurd. Karena sampai kini sulit ditemukan definisi yang tepat untuk istilah nasionalisme. Mengapa ? Ok lah. Webster mendefinisikan nasionalisme sebagai "pengabdian kepada bangsanya sendiri". Tapi apa itu "bangsa"? Apakah negara tersebut didefinisikan dalam istilah geografis, yaitu, sebagai wilayah geografis dengan batas-batas yang diakui, atau dalam istilah budaya/politik? Misalnya, sebagai suatu kelompok bahasa, agama, atau etnis, atau sebagai kelompok yang ditetapkan secara hukum?
Nah, dalam sebagian besar kasus, terdapat sedikit ambiguitas. Dalam kasus tertentu pada suatu negara, identitas budaya/politik tidak sesuai dengan identitas geografis yang didefinisikan dengan baik dan diterima secara umum. Oorang-orang Yahudi sebelum Perang Dunia II Eropa, orang-orang kulit hitam di AS saat ini-atau karena kemauan politik rakyat dan kesatuan geografis berada dalam konflik-misalnya, Tepi Barat Sungai Yordan, Kepulauan Falkland. Seringkali sulit untuk mengatakan apakah perdebatan yang terjadi adalah mengenai definisi yang tepat untuk " bangsa” atau tentang sikap politik seseorang terhadap kelompok yang bersangkutan.
Misal, orang jawa secara demographi, memang mayoritas. Bahkan presiden semua orang jawa. Tetapi secara geographi, minoritas. Secara ekonomi dan sosial juga minoritas dibandingkan dengan penduduk etnis China dan Arab. Walau Islam adalah agama mayoritas di Indonesia namun kehormatan sosial dan ekonomi tetap ada pada agama minoritas seperti Kristen dan Budha. Rasa hormat dan martabat itu bergeser kepada Ekonomi dan sosial. Etnis China tidak penting jadi presiden, asalkan mereka kontrol ekonomi dan sosial. Dan mereka tidak merasa inferior complex.
Belakangan muncul fenomena globalisasi. Semakin absurd lah nationalisme. Melalui eksploitasi pasar dunia, kapitalisme telah memberikan karakter kosmopolitan pada produksi dan konsumsi di setiap negara. Tidak ada lagi istilah kemandirian sebagai bangsa, hubungan multilateral terjadi meluas, ketergantungan diikat dengan konsesus WTO dan dibina oleh OECD. Bendera boleh saja Merah Putih, lagu kebangsaan boleh saja berkumandang. Bahasa indonesia boleh saja bahasa persatuan. Tetapi tanpa valas negara bangkrut dan otomatis nasionalisme omong kosong. Dengan fakta ini maka jelas definisi bangsa sudah tidak tepat. Dan semakin kacau lagi setelah munculnya Khilafahisme dan Marxisme. Keduanya benar benar tidak mengakui nationalisme yang absurd itu.
Karena proses sejarah kapitalime diterima secara slow motion oleh setiap bangsa. Kalau ada yang menyimpulkan tanpa nasionalisme maka tidak ada kapitalisme. Atau sebaliknya. Itu ada benarnya. Di era kapitalisme, masyarakat hanya menjadi sumber daya untuk berfungsinya pasar. Dengan demikian kehidupan sosekpol tidak ada lagi ikatan komunal tradisional untuk lahirnya kearifan lokal dan semangat gotong royong. Mengapa ? Ketika prosedur pertukaran ekonomi asimetris menjadi prinsip utama dalam hubungan manusia, masyarakat terbagi menjadi dua golongan. Pertama. Sebuah jaringan individu yang mementingkan diri sendiri yang terorganisir dengan baik dan terstruktur secara ketat, yang secara permanen berjuang untuk keuntungan ekonomi semata. Kedua. Sekumpulan buruh dan kaum miskin dieksploitasi untuk kepentingan kelompok pertama.
Terjadinya perbedaan soslal ekonomi ini menimbulkan rasa penghinaan yang sehingga melahirkan identitas kesukuan dan agama. insentif sosialnya ? Ya terjadinya konflik psikis. Orang luar Jawa mungkin saja iri dengan proyek kereta cepat Jakarta Bandung yang menelan anggaran lebih Rp.100 T APBN undertake. Fenomena ini telah dimanifestasikan di barat yang disebut kaum kiri baru. Kalau di Indonesia adalah kaum kanan baru, dari kelompok Islam, Dampaknya semakin melebarnya kesenjangan antara kedua strata tersebut membuat prinsip penting kapitalisme mengenai akumulasi modal tanpa akhir tidak berkelanjutan secara sosial. Sebab, adanya ketidak adilan sosial berpotensi terjadi chaos. Yang mungkin mengancam stabilitas seluruh sistem. Itulah yang terjadi di Amerika Latin, Afrika, dan bubarnya USSR.
***
Oleh karena itu, setelah membaca jurnal berjudul “ Political cheating oleh John R.Lott Jr. “ Ideology can prevent rather than cause opportunistic behavior.” Saya terpaksa membaca lagi buku tentang lahirnya Pancasila. Saya termenung. Oh ternyata bapak bangsa kita sudah menyadari potensi konflik dari adanya paham kebangsaan itu. Makanya dalam pancasila kita tidak mengenal nasionalisme. Tetapi persatuan Indonesia. Lantas bagaimana persatuan itu dipertahakan. Caranya? Ada pada sila pertama dan kedua. Yaitu landasannya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena Tuhanlah kita bersatu. Apa substansi dari Ketuhanan itu? Yaitu Kemanusian yang adil dan beradab.
Apa makna Kemanusian yang adil dan beradab itu? Mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Semua agama mengajarkan itu. Prinsip Pancasila sila kedua itulah yang dilanggar Ketua MK dengan meloloskan Gibran sebagai Cawapres. Kemudian DKPP juga menyatakan ketua KPU melanggar Etika. Tetapi Jpkowi mendiamkan saja itu. Tampa ada tindakan dan sikap apapun.
Warning dari Para Akademisi atau guru besar agar Jokowi kembali kepada nilai nilai etika, itu tidak lebih karena kecintaan mereka kepada NKRI. Apalagi Sri Sultan HBX mengingatkan Jokowi jangan sakiti Ibu Megawati. Karena dia putri Proklamator. Sebenarnya itu kata bersayap, yang bermakna, patuhi Pancasila kalau ingin NKRI utuh. Sebenarnya itulah yang diperjuangkan ibu Megawati yaitu mengutamakan persatuan dan kesatuan. Ya politik persatuan atas dasar cinta bagi semua, bukan hanya cinta kepada keluarga atau anak sendiri.