Waktu merantau ke jakarta. Saya hanya tamatan SMA. Pertama saya datangi adalah keluarga Ibu saya. Selama tinggal di rumahnya saya tahu diri. Pagi setelah sholat subuh saya pel lantai rumah dari dapur sampai ke depan. Cuci piring kotor. Tetapi belum seminggu. Saya dibawa kerumah sepupu papa saya. Di rumah paman. Saya juga berusaha menempatkan diri sebaik mungkin. Bersihkan rumah. Suapin anaknya makan. Apapun disuruh saya kerjakan. Namun belum sebulan, saya diantar ke rumah sepupu papa saya yang lain. Baru datang. Ditanya, kapan pulang. Saya tidak menyalahkan keluarga besar ibu dan papa saya. Kalau sedara saya tidak mau dibebani itu karena bagi mereka saya tidak ada masa depan. Hanya tamatan SMA. Tidak lulus PTN. Orang tua tidak mampu. Saya tidak iri dengan mereka yang juga tinggal di rumah sedara saya, yang dapat perlakuan baik. Itu karena mereka kuliah di Jakarta. Orang tua mereka mampu biayai.
Saya tinggalkan rumah sedara saya. Saya jalan kaki dari Senen ke tanah abang dengan ransel dipunggung saya. Tidak ada tujuan. Sejak itu saya bertekad, untuk kerja apa saja asalkan dapat survival. Saya tetap mencintai sedara saya. Tidak ada prasangka buruk apapun. Itu wajar saja. Mereka pasti ada alasan. Kalau saya tidak mengerti sikap mereka. Maka yang pasti salah adalah saya. Bukan mereka. Saya harus berusaha mengerti sediri. Ini hidup saya, tentu hanya saya dan Tuhan saja. Tidak ada urusan dengan orang lain.
Di tanah abang saya buka notes kecil berisi alamat sedara saya di Jakarta. Dia dagang di tanah abang. Sampai di tokonya, dia beri alamat rumah. Saya disuruh ke rumahnya. Pertama kali saya lihat ketika pintu rumah terbuka adalah anak gadis yang masih pakai seragam SMU. “ Bang Jeli ya. Masuklah. “ Katanya tersenyum. Saya ceritakan bahwa saya dari kampung. Mau kerja apa saja. " Tinggal disini aja. Ayah ada usaha konveksi. Abang bisa jahit kan. " Katanya. Saya mengangguk. Dia adalah adik sepupu saya. Kelak 3 tahun kemudian, gadis yang buka pintu rumah ini jadi istri saya.
Seperti biasa pagi pagi saya bersihkan rumah dari dapur sampai depan rumah. Pagi saya buka toko di tanah abang. Setelah itu saya kerja jahit pakaian kodian. Hanya setahun saya sudah dapat kerjaan sebagai penata buku dan juga ngajar kursus malam hari. Saat itu saya merasa sedikit ada sayap untuk berproses jadi elang. Tidak lagi tinggal di rumah sepupu. Mandiri. Namun setiap minggu hari libur saya tetap datang ke rumah sepupu saya. Apa saja saya kerjain di rumah. Termasuk ngajarin sepupu saya bahasa inggris dan tatabuku. Kadang kerjakan PR matematikanya. Begitu cara saya berterimakasih.
Kalau akhirnya saya pindah jalur jadi pengusaha. Itu karena perasaan diskrimasi sebagai anak tamatan SMU. Saya merasa lebih keras kerja. Lebih rajin tetapi tetap tidak ada harganya. Saya tahu betapa tingginya status sarjana. Sementara adik saya 5. Saya anak laki laki tertua. Kalau hanya jadi pegawai penatabuku, memang cukup untuk hidup saya. Tetapi bagaimana saya bisa membantu orang tua saya, menjadi tongkatnya dimasa tua.
“ Kalau sudah tahu engga ada masa depan. Engga ada respek, ngapain terus berharap dari kerja. Rasa hormat itu kita sendiri yang ciptakan, bukan orang lain. Kalau orang lain menghargai kita, itu karena kita memang punya nilai jual. Kalau engga, itu salah sendiri. Wajar saja. Kami etnis China, jangankan jadi PNS, kuliah di PTN aja walau pintar, tetap saja sulit diterima. Ya jadi pedagang juga engga buruk. Nikmati sajalah hidup ini apa adanya dan tahu diri siapa kita.” Kata teman saya mencerahkan saya. Kata katanya itu tercata baik di buku harian saya. Sampai kini kami tetap bersahabat.
Kemarin saya bertemu dengannya. “ Jel “ serunya “ Dalam usia menua ini, kita harus bersyukur kepada Tuhan. Nikmat terbesar itu adalah kesehatan. Kita berdua engga ada penyakit yang serius. Saya masih bisa setir jauh. Engga ada asam urat, kolestrol , diabetes. Darah tinggi jelas engga ada. Di Spa saya lihat kamu Treadmill bisa satu jam. Itu nikmat lebih dari harta. Apalag anak anak udah mandiri. Walau kita bukan konglomerat tetapi Tuhan beri kita kesehatan. Itu lebih dari harta apapun. Kalau kita punya financial freedom, itu karena hidup kita sederhana. Kesederhanan itu kita dapat berkat pengalaman hidup yang pahit, terabaikan dan bangkrut berkali kali “ Katanya.