Fakta selama Pandemi.
Corona itu ada. Tetapi bukan Virus penyebab kematian tetapi badai sitokin. Itu fakta. Vaksin adalah zat atau senyawa yang berfungsi untuk membentuk daya tahan tubuh. Vaksin dapat merangsang tubuh agar menghasilkan antibodi yang dapat melawan virus. Fakta, Vaksin bukan obat anti virus tetapi zat untuk membentuk daya tahan tubuh. Fakta kalaupun kita sudah divaksin, tubuh kita tidak sehat, daya tahan tubuh turun, bisa juga kena COVID lagi. Tetapi fakta juga dampak setelah divaksin tidak seburuk yang belum divaksin. Kalaupun ada yang fatal itu bukan kasus umum.
Selama pandemi fakta ekonomi kita terpuruk. Data GNI kita drop sehingga world bank turunkan status kita dari kategori negara berpenghasilan menengah ke atas (upper-middle income) menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah (lower-middle income). Jumlah orang miskin selama Pandemi tahun 2020 berdasarkan data BPS bertambah 2,76 juta dibandingkan tahun sebelumnya. Data dari Credit Suisse report tahun 2020 jumlah orang kaya selama pandemi ini juga meningkat 61,69% dibandingkan tahun sebelumnya. Jadi yang miskin nambah, ya kaya juga nambah.
Di tengah anggaran Jumbo mengatasi Pandemi, fakta juga bisnis pharmasi khusus COVID-19 meningkat drastis. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata kuartal III/2020 meningkat 14,96 persen secara tahunan. Kebutuhan bahan baku obat (BBO) naik 30-300 persen dan itu 90% impor. Itu fakta. Artinya belanja obat khusus COVID-19 menguntungkan asing atau big pharma.
Fakta juga kebijakan penanganan wabah tidak konsisten sehingga angka kematian terus bertambah. Kalau tadinya kebijakan PSBB diserahkan kepada Daerah , sekarang di tangani langsung langsung oleh pusat lewat PPKM. Apakah akan berhasil? kita tidak tahu. Kalaupun nanti berubah lagi, itu juga tidak perlu terkejut. Ya namanya wabah dan darurat atas hal yang baru, tentu kebijakan trial and error. Itu fakta.
Tingkat kepatuhan 20 propinsi terhadap prokes rendah atau dibawah standar. Itu fakta. Lima provinsi dengan penambahan terbesar kasus harian Covid-19 tertinggi adalah DKI, Jawa Barat, jawa Tengah, Jawa timur, Yogyakarta namun yang tertinggi adalah DKI. Secara nasional DKI mencatat rekor tertinggi kasus COVID-19. Kapan Pandemi ini akan berakhir? tidak ada yang tahu. Itu fakta. Dah gitu aja.
Setiap ada kebijakan yang berkaitan dengan produksi walau itu merugikan pengusaha namun selalu ada trade off nya dari pemerintah. Misal kalau ada pengurangan jam kerja karena kebijakan PPKM, pasti pemerintah sediakan subsidi upah buruh. Sehingga pengusaha tidak perlu bayar 100%. Sebagian ditanggung oleh pemerintah. Itu sudah dilakukan tahun lalu. Prosesnya nya gampang. Online kok. Bahkan kalau tidak mengajukan permintaan subsidi malah ditegor. Kawatir upah buruh dikurangi pengusaha. Padahal pemerintah mau talangi. Tetapi kalau pengusaha tidak minta subsidi dan upah tetap bayar utuh, ya tidak ada masalah.
Saya yakin tahun ini akan ada lagi subsidi upah diberikan pemerintah kepada pengusaha pabrikan. Jadi sebetulnya tidak ada masalah. Yang jadi masalah upah buruh itu hanya 8% dari total cost produksi. Sisanya yang besar adalah bunga bank. Biaya penyusutan investasi termasuk investasi marketing. Ini kalau kapasitas produksi menurun akan berpengaruh kepada laba rugi. Tetapi cash flow tetap aman kalau pemerintah memberikan subsidi bunga dan relaksasi angsuran utang bank. Tahun lalu pemerintah memberikan subsidi bungan dan relaksasi angsuran. Bahka pengusaha juga dapat trade off berupa insentif pajak.
Jadi sebenarnya pengusaha itu aman. Resiko kebijakan ada pada pemerintah. Era jokowi ini pemerintah baik banget sama pengusaha. Bayangin aja. Ada perusahaan yang bertahun tahun untung gede dan cadangan laba besar, tetap aja dapat subsidi program PC PEN. Itu industri otomatif contohnya. Duluan dapat insentif pajak agar omzet tidak menurun. Engga tanggung tanggung jumlah yang diberikan pemerintah triliunan rupiah.
Saya secara pribadi sebenarnya kasihan dengan Jokowi. Dia berjuang selama satu periode membuat APBN kredibel dan kuat, cadangan devisi besar. Tetapi karena pandemi ini, uang itu abis begitu saja. Keluar seperti air bah. Bahkan total anggaran PC PEN lebih besar dari anggaran bangan jal toll dan pelabuhan. Tahun ini dana PC PEN sebesar Rp. 900 triliun lebih, sementara untuk PMN BUMN hanya Rp 37 triliun yang bertugas melanjutkan ruas jalan toll yang tertunda.
Ditengah situasi itu terus aja Jokowi disalahkan, bahkan mau dilengserkan. Kalaulah bukan Jokowi yang presiden, saya yakin tidak akan dapat biaya gratis pasien COVID-19.Mau tahu berapa total biaya pasien COVID ? Untuk ODP/PDP/Konfirmasi Tanpa Penyakit Komplikasi biayanya mencapai Rp. 63,5 juta. Kalau dibarengi dengan Penyakit Komplikasi biaya nambah lagi jadi Rp. 77 juta. Kalau dirawat sampai dua minggu bisa bertambah menjadi Rp. 231 juta. Nah kalau sebulan bisa mencapai Rp. 495 juta. Hitunglah berapa jumlah pasien yang dirawat di RS.
Jadi sebenarnya orang yang tidak patuh prokes dan tidak mau vaksin dia sebenarnya bukan saja merugikan dirinya tetapi juga merugikan orang banyak. Mengapa ? biaya perawatan mereka yang tanggung negara. Itu uang pajak. Padahal kalau mereka patuh, uang negara hemat. Tapi mereka engga sadar itu. Saya yakin kalau bukan Jokowi presiden, tidak akan ada BLT khusus. Saya yakin engga akan heboh COVID ini. Mengapa ? kalau engga ada cuan ya mana ada yang mau ributin. Dah gitu aja. Semoga kita baik baik saja. Tetap bersyukur punya Jokowi.