Orang tua saya mengajarkan saya “ Alun takilek la takalam.” Belum keliatan sudah terbaca. Artinya kalau kita beradapan dengan orang lain, kita harus punya sense melihat dari apa sikap dan perkataannya. Seorang datang melamar sebagai direktur Pemasaran. Saya sudah punya data tentang dia sebelumnya. Tentu sudah melwati proses rekrutmen yang ketat. Walau begitu hebat data dan rekomendasinya. Tidak otomatis membuat saya bersikap memilihnya. Begitu pula sebaliknya. Walau data tentang orang itu tanpa ada rekomendasi dari tempat asal dia kerja namun saya tidak berprasangka buruk. Ketika bertemu, saya akan coba bersikap santai tanpa ada jarak. Saya yakinkan pada dirinya bawa saya teman bicara yang enak.
Bagaimana anda meningkatkan penjualan? Itu pertanyaan awal saya setelah suasana akrab. Kalau dia menjawab lebih banyak retorika dan atas dasar pengalaman dia waktu bekerja ditempat sebelumnya serta menyalahkan kantornya yang lama, serta memuji idenya hebat. Maka saya tahu orang ini sedang membangun ide untuk memancing emosi saya agar percaya kepada dia. Saya tidak suka. Orang semacam ini akan mudah excuse dengan menyalahkan orang lain. Dia cenderung berkerja sendiri dengan egonya dan menolak efektifitas team. Tetapi kalau dia jawab, bahwa dia akan mengefektifkan team yang ada dengan mengevaluasi rencana pemasaran yang ada , dan kemudian akan membuat program kerja untuk saya setujui. Saya suka ini.
Pertanyaan berikutnya adalah apa obsesinya? Kalau dia jawab bahwa dia ingin meningkatkan penjualan sekian persen pertahun dengan program kampanye yang efektif, mengevaluasi harga jual. Memperbaiki pelayanan dan lain sebagainya. Bagi saya itu hal yang wajar. Bukanlah kontrak bisnis. Dia bukan pengusaha. Dia hanyalah profesional. Saya hanya focus bagaimana dia bisa konsiten melaksanakan obesinya itu melalui serangkaian kebijakan dan kerja kerasnya serta jujur. Soal tercapai atau tidak obesisnya, itu bukan salah dia. Tetap dari proses yang dia lalui , saya yakin obsesinya akan tercapai. Akal sehat saya bekerja efektif untuk itu. Selagi saya percaya dengan dia dan memberikan sumber daya yang cukup sesuai requirement nya, sukses itu terukur.
Dalam politik juga sama. Kalau orang sudah dicalonkan sebagai presiden. itu artinya dia sudah lolos standar kebutuhan untuk dipilih sebagai presiden. Kita semua adalah shareholder atas republik ini. President terpilih adalah profesional yang bekerja untuk kita. Bagaimana meningkatkan ekonomi Indonesia? Kalau dia jawab tidak boleh ada orang miskin selama dia berkuasa. Gaji akan naik sekian. Harga akan turun. Subsidi ditingkatkan. Seraya menyalahkan pihak lawannya. Maka yakinlah dia sedang memancing emosi anda untuk percaya kepada dia. Dia sedang berbohong kepada anda. Mengapa ?
Apa yang dia katakan itu semua adalah janji yang apabila ekonomi meningkat. Engga mungkin janji populis itu bisa terlaksana tanpa ekonomi meningkat. Seharusnya dia focus menjawab bagaimana meningkatkan ekonomi. Nah kalau dia jujur maka kita akan tahu prosesnya. Nilailah itu untuk bersikap. Walau anda tidak ahli ekonomi dan politik tetapi untuk memahami hal yang rumit jadi sederhana juga tidak sulit. Sumber income negara itu hanya dua, Pajak dan Bagi hasil migas. 90% dari pajak dan sisanya bagi hasil termasuk PNBP. Pajak meningkat karena dunia usaha bangkit. Gimana caranya dunia usaha bangkit? Bukan hanya yang besar meningkat tetapi juga yang kecil. itu harus jelas. Sebagai pemilih anda harus punya mindset sebagai shareholder, bukan sebagai budak yang berharap tangah dibawah. Yang sehingga mudah dibohongi.
Kalaupun dia berjanji ternyata tidak tercapai. Itu bukan salah dia. Dia bukan raja. Dia hanya profesional. Tetapi kalau kegagalan itu karena dia malas, lebih banyak retorika daripada kerja, tidak jujur, korup maka boleh anda tolak dia untuk pemilihan berikutnya. Bagi saya, apa yang sudah dilakukan Jokowi itu sudah sesuai dengan akal sehat. Semua program kerja dilaksanakan secara terstruktur. Secara pribadi dia tidak korup. Fakta dilapangan dia bekerja keras. Tidak punya musuh. Mudah diajak bicara dan bermusyawarah. Kalaupun obsesinya waktu kampanye dulu belum semua tercapai, saya tidak akan menyalahkannya.
Kita adalah shareholder yang seharusnya tidak menumpang hidup dari profesional. Jusru kita harus membayar mereka dan menyediakan sumber daya lewat pajak yang kita bayar. Mindset kita tidak tangan dibawah. KIta memilih Jokowi untuk future, bukan instant. Kalau yang lain masih mencoba, mengapa anda ganti yang sudah terbukti? kecuali anda kehilangan akal sehat atau memang mindset terbiasa tangan dibawah.