Ada teman bilang bahwa dia tidak setuju dengan pilihan Jokowi atas cawapres dari kalangan Ulama. Karena dia konsisten dengan aliran idiologi sekularisme. Bagi saya sejak kita mengakui falsafah negara kita adalah Pancasila maka sekularisme tidak ada tempat di Indonesia. Pancasila itu satu kesatuan dengan urutannya tidak bisa diubah. Bila diubah maka maknan philosopi nya jadi lain. Mengapa sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa? karena semua aktifitas kehidupan ini berawal dari Tuhan. Dasarnya adalah Tuhan. Orientasinya adalah Tuhan. Tanpa kepercayaan kepada Tuhan tidak mungin anda ada sila kedua , ketiga, keempat dan kelima.
Saya memahami Pancasila berakar dari pemahaman agama yang saya imanin. Sebagai warganegara sayapun bersikap atas dasar Pancasila itu. Artinya agama saya dan pancasila tidak bertentangan. Namun tentu tidak bisa dikatakan Pancasila adalah Islam. Pancasila adalah pedoman hidup berbangsa dan bernegara yang pluralis. Yang didalamnya ada seperangkat UUD dan UU serta aturan yang berlaku secara universil. Kalau UUD atau UU bertentangan dengan Pancasila , ada sistem dimana rakyat bisa menggugatnya lewat MK. Artinya negara menyediakan ruang untuk rakyat melakukan koreksi secara yudisial. Itulah demokrasi.
Kalau ada orang mengatakan dirinya sekular maka dia sedang berperang dengan Tuhan. Juga kalau ada islam indentitas, maka dia juga berperang dengan Tuhan. Mengapa ? agama apapun tidak mengajarkan orang menentang eksistensi Tuhan, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, musyawarah dan mufakat, keadialan sosial. Sekularsime adalah idiologi ekslusif. Agama indentitas juga idiologi ekslusif. Keduanya punya dasar dasar radikalisme. Merasa paling benar. Paling valid mengurus negara. Seharusnya setelah lebih 70 tahun indonesia merdeka ,tidak ada lagi dikotomi sekularisme dan islam indentitas. Yang ada adalah pancasila.
Ketika Ahok jadi Gubernur, sebagai umat islam saya bersyukur walau dia bukan islam. Mengapa ? karena Ahok menerapkan Pancasila dengan benar atas dasar agama yang dia yakini. Ketika QS Almaidah dijadikan rujukan menentang pemimpin non islam ( Ahok ) untuk dipilih saya menentang keras. Dalil agama saya punya untuk itu dan saya siap berbeda dengan islam indentitas. Bahkan banyak teman diskusi saya menjauh dari saya. Tidak apa. Ketika SBY berkuasa yang sampai memenjarakan HRS, ABB. LHI, saya menentang. Bukan karena mereka ulama. Terlepas mereka salah atau tidak. Tetapi cara pengadilan terhadap mereka cenderung nuansa kebencian dan kecurigaan yang berlebihan. Saya bisa katakan itu, karena saya hadir disebagian besar sidang pengadilan atas mereka. Perlakuan mereka sangat politis tak ubahnya dengan perlakukan terhadap Ahok.
Ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai Presiden. Walau pilihan partai saya bukan PDIP tetapi saya bersikap mendukung Jokowi. Mengapa ? Karena nuansa kebencian terhadap Jokowi dari kalangan islam indentitas begitu besar terhadapnya. Hanya karena Jokowi dicalonkan oleh PDIP. Saya engga kenal siapa Jokowi tetapi saya merasa malu berdoa dan sholat dihadapan Tuhan bila saya tidak membelanya. Islam tidak mengajarkan kebencian. Apalagi Jokowi adalah muslim. Tetapi bila Jokowi balas kebencian itu dengan retorika kebencian juga maka saya akan tinggalkan Jokowi. Artinya Jokowi berpaham sekular. Sikap Jokowi yang menerima kebencian itu dengan sabar bukan tanpa alasan. Tetapi dasarnya adalah Tuhan. Itu sila pertama Pancasila, Jantung dari Pancasila.
Puncak dari kekaguman saya adalah ketika Jokowi di demo dengan aksi 412 dan 212. Walau kekuasaan begitu besar ada ditanganya. Tetapi dia tidak gunakan itu untuk menghalau para demontran. Tidak dia lakukan seperti Pak Harto membantai umat islam dalam peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Jokowi memilih jalan persuasi secara damai. Aksi demontrasi dapat diredam dengan korban nol. Walau karena itu kekuasaanya hampir jatuh. Para aktor dibalik aksi itu diproses secara hukum namun tidak ada satupun yang dikenakan hukuman penjara. Itu artinya Jokowi tidak membalas kebencian dengan kebencian. Orang yang punya paham seperti itulah yang bisa berpikir jernih atas persoalan yang ada. Dia tidak emosional. Lebih terstruktur solusinya. Lebih konprehensif penyelesaiannya.
Dari aksi demo itu lahirlah UU Ormas dan UU anti teror. Secara hukum aksi memaksakan kehendak atas dasar idiologi selain pancasila akan berhadapan dengan pedang hukum. Selesai ?. Tidak. Jokowi terus melakukan safari kepada Pondok Pensatren. Mengundang tokoh agama ke istana. Dialogh terus mengalir diantara ulama dan Pemerintah. Sampai akhirnya Badan Pembina Idiologi Pancasila dibentuk yang anggotanya terdiri dari semua tokoh agama termasuk politisi. Itulah puncak solusi dari proses panjang perenungan dari berbagai peristiwa antara umat islam dan pemerintah.
Mengapa terjadi kecurigaan selama ini antara pemerintah dan Umat islam, karena komunikasi politik tersumbat. Kalaupun ada komunikasi politik sebelumnya tetapi hanya seremonial pelengkap saja dengan kelompok yang menjilat penguasa. Tidak sampai kepada political will pemerintah untuk memberikan ruang kepada tokoh agama duduk bersama dalam konteks Pancasila. Berpuluh tahun sejak Indonesia merdeka, seharusnya Pancasila menjadi sumber kekuatan kita sebagai bangsa untuk makmur tetapi justru kita lupa nilai nilai lama itu. Kita terjebak dengan sekularisme, dan disisi lain terjebak dengan indentitas agama. Itulah yang kini ingin diubah Jokowi.
Dia memilih Ma’ruf Amin bukan karena fatwa ulama, bukan pula karena dia kader partai. Bukan bertujuan politisasi agama. Bukan. Jokowi menarik tokoh sentral yang disegani umat islam untuk berdampingan dengannya, dan bersama sama melakukan perubahan mental umat islam. Itu tidak mudah. Tetapi dialogh yang intens selama ini membuat Ma’ruf Amin sadar pentingnya pemahaman pancasila bagi bangsa Indonesia pada umumnya dan umat islam pada khususnya. Tentu dia qualified untuk menjadi simbol sekaligus corong bagaimana islam rahmatan lilalamin itu menjadi marcusuar bagi Pancasila. Untuk kemakmuran Indonesia.