Kalau ada orang pendidikan tinggi. Pernah sekolah di luar negeri. Cerdas dan berwawasan luas. Namun tidak ada lapangan pekerjaan sesuai kapasitas dia. Kalaupun ada , pekerjaan itu hanya membayar karena dia “ngantor dan ngoceh “ selebihnya kosong. Lantas apakah negara gagal menyediakan lapangan pekerjaan untuk dia? apakah dia hanya jadi potensi SDM tanpa jadi potensi real? Jawabnya bukan terletak kepada pendidikan. Pendidikan hanyalah 30% dari potensi orang untuk mempunyai nilai. Ada 2/3 lagi potensi yang harus dilengkapinya. Apa itu ? Potensi intelektual, dan spiritual. Kalau dia punya potensi intelektual maka dia tidak perlu menunggu pekerjaan yang tersedia tetapi dia menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau dia punya pontesi spiritual , dia tidak perlu malu bila untuk memulai langkah besarnya dia harus mengambil resiko dengan pendapatan rendah atau serba tidak pasti.
Masalahnya di negeri kita sudah terbentuk mindset bahwa pendidikan tinggi punya hak mendapatkan strata sosial lebih tinggi dibandingkan orang tak punya pendidikan cukup. Merasa paling tahu dan berhak bilang orang lain salah. Berhak untuk mendapatkan kesempatan lebih besar. Kalau kesempatan tidak ada maka dia bisa menyalahkan siapapun dengan segudang teori yang dia tahu. Faktanya teori yang dia ketahui tidak bisa menghidupi dirinya sendiri kecuali berharap ada orang lain mau membayarnya. Orang seperti ini banyak. Titel S2 atau S3 tetapi income kalah sama emak emak yang jualan online dari rumah. Mereka ini ada disemua instansi pemerintah dan lapisan masyarakat. Mereka bubble value SDM dengan tingkat yield lebih rendah dari junk bond. Hebatnya mereka sangat piawai merangkai retorika menjadi bubble haters. Karenanya tatanan budaya jadi rusak. Agama jadi dagangan. Dan politik jadi gaduh.
Di China sejak tahun 2008 dikeluarkan kebijakan bahwa tidak boleh ada lagi penerimaan pegawai lebih mengutamakan sarjana atau alamamater tertentu. Bahkan di china, lulusan SMU sampai sarjana tanpa nilai di ijazahnya. Qualifikasi ditentukan dari test dimana 80% berdasarkan studi kasus lapangan dan attitude. Lantas dimana nilainya ? Pendidikan sekolah dan kampus hanyalah 10% bekal untuk qualified mendapatkan peluang di tengah masyarakat. 90% ditentukan oleh semangat kemandirian dan karakter. Apa artinya ? China percaya bahwa SDM manusia itu 90% ditentukan oleh kebudayaan dan akhlak. Agama berkata budaya memakai. Perbuatan manusia adalah manifestasi budaya dalam menerapkan hakikat agama ( = akhlak). Dan hakikat ini tidak diuji dari pengetahuan kampus tetapi dari proses ulat jadi kepompong, dimana mereka harus melewati sakit dan terluka agar mereka tahu arti bersyukur dan paham bagaimana mencintai.
Makanya jangan terkejut bila semakin tinggi pendidikan orang semakin menunduk dia. Apalagi bila seorang pengrajin di desa diumumkan oleh pemerintah berhasil menampung 10 angkatan kerja dan punya omzet miliaran tanpa sedikitpun fasilitas dari negera. Hal ini semakin membuat mereka menunduk dan sampai akhirnya mereka tidak lagi melihat capaian pendidikan yang diraih, tidak lagi melihat apa yang didapatnya tetapi apa yang dia berikan. SDM terbaik untuk peradaban tidak menghitung berapa yang didapat tetapi berapa yang diberikan, dan pasti engga baper.